"Kenapa muka kamu tiba-tiba pucat begitu, Arawinda?" bisik Kaivan sembari memperhatikan Arawinda. Kini mereka tengah makan siang bersama tiga orang lain yang harus mereka undang, karena jaraknya berdekatan, jadi mereka memutuskan untuk bertemu di salah satu restoran privat. Arawinda menggelengkan kepala, sebelah tangannya memegangi perut. "Enggak tahu.""Kamu capek? Sakit?" tanya Kaivan sembari sigap mengambil air putih.Arawinda merasa kesakitan. Amat sangat sakit di bagian perut. Entah apa ia datang bulan atau bagaimana hanya saja, rasanya tidak nyaman."Dimunum dulu." Kaivan perhatian, membantu Arawinda untuk minum dengan pelan."Kenapa Arawinda?"Salah seorang paruh baya yang hadir menanyakan. Arawinda mencoba terlihat baik-baik saja. "Saya enggak kenapa-kenapa kok. Cuma haus, makanya suami bantu saya untuk minum."Kaivan menganggukan kepala. Setelah menyimpan segelas air di meja, diam-diam ia memegang tangan Arawinda. Khawatir. "Kalau begitu, kami sangat berterimakasih atas un
Pemberhentian terakhir mereka adalah di daerah Bandung, atas keputusannya karena tak ingin Arawinda terlalu lelah akhirnya Kaivan meminta ke lima tamu undangan yang ada di kota yang sama untuk menyempatkan diri makan malam bersama. Seperti tadi siang. Akan lebih efisien dan tidak memakan waktu.Hingga akhirnya, kini Kaivan berakhir di kamar hotel yang sama. Tadinya, mereka akan membooking dua kamar hanya saja mengingat mereka adalah sepasang suami-isteri yang pastinya akan disoroti oleh banyak orang, Kaivan pun mengurungkan hal tersebut.Arawinda menatap perutnya yang terasa penuh, ia makan sangat banyak hari ini. Tak bisa dihindari karena semua teman-teman Papi sangat perhatian dan nampak menyayanginya dengan tulus. Mereka berulang kali menanyakan keadaan Arawinda dan selalu membanggakan karena Arawinda kuat bertahan padahal sudah melawati banyak hal yang menyakitkan."Kenapa?" tanya Kaivan sembari berdiri di depan Arawinda."Kenyang banget tahu.""Yaudah, istirahat sebentar, bersih-
Kini, satu-satunya orang yang tersisa dari semua tamu adalah, Pak Ridwan yang tinggal di pedalaman kota Jogja. Sosok pemilik pabrik kaca terbesar di Indonesia dengan kualitas terbaik dan sudah tersohor itu kini tinggal sederhana dan nyaman menikmati hari tau di pedalaman asli kita Jogja. Dan sesungguhnya, Arawinda sudah amat sangat lelah, empat hari tanpa henti terus berkunjung, dari satu tempat ke tempat lainnya. Dari satu orang ke orang lainnya. Ia lelah namun tak bisa berhenti begitu saja. Bagaimana pun, ia harus menyelesaikan urusannya. Ini yang terakhir, besok ia bisa kembali ke ruang kamarnya yang nyaman dan beristirahat sepuasnya, seharian."Makanan?" Arawinda menggelengkan kepala, menolak apa yang Kaivan tawarkan. Ia bahkan tak selera untuk sekedar makan sekarang. Sungguh. "Saya mau istirahat.""Sebentar lagi kita sampai.""Kenapa beliau harus tinggal di pedalaman, dengan jalan rusak dan penuh bebatuan begini? Apa hidup di perkotaan kurang nyaman untuk menikmati hari tua? Pad
Kaivan buru-buru menyalimi dengan hormat sang nenek yang kini berjalan ke arahnya. Melihat itu, Arawinda pun mencoba melakukan hal yang sama. Ia tetap bersopan santun pada orang tua di depannya. Dimana tanah dipijak di situ langit dijunjung. Arawinda diajari untuk bersopan santun pada orang yang lebih tua. Apalagi ini neneknya Kaivan. Meski perkataan dan kesan pertama mereka kurang baik."Selamat datang di rumah kami yang sederhana.""Terimakasih." Arawinda menganggukan kepala. Ini kedua kali ia bertemu dengan sosok yang seringkali disebut Mbah Putri itu."Saya kira kamu akan menolak dan enggak akan mau berkunjung ke tempat seperti ini mengingat satu tahun terakhir saja, kamu tak pernah memunculkan diri di sini.""Mbah Putri sehat?" tanya Kaivan tiba-tiba, mencoba mengalihkan pembicaraan."Mbah lagi ngobrol sama istri kamu Kaivan.""Ya ampun! Maaf banget Ibu baru tahu kamu mau datang, tadi lagi di belakang." Gendhis menyambut suka cita. Dibanding Kaivan, Gendhis malah langsung memeluk
Arawinda asik mencabuti wortel dari dalam tanah. Gadis itu nampak kesenangan sendiri bisa bermain di kebun. Tangannya kotor, di wajah gadis itu ada seoles tanah, keringat mengucur di pelipisnya. Wajah gadis itu semakin matang dari waktu ke waktu."Udah ayo pulang!""Bentar lagi!""Udah toh, biarin aja dia main kayak gitu. Jarang juga kan Arawinda main di kebun. Lagi anteng itu."Kaivan melirik sang Ibu yang malah membela Arawinda yang asik sendiri seperti anak kecil. Jiwa-jiwa marah Kaivan hampir saja keluar melihat tingkah sang istri. "Tapi dia cabutin wortel sama ambilin sayuran yang lain Bu!""Lah kan itu bagus, bantu-bantu para pekerja sini." "Ya ampun, Kaivan aja kadang enggak Ibu ijinin buat acak-acakin kebun. Ini Arawinda malah dibiarin semena-mena.""Gak apa-apa, kan dari kecil dia enggak bisa kayak gini. Kalau kamu dari kecil udah nakal tahu.""Enggak Bu. Kalau enggak dibawa ke rumah, nanti dia makin menjadi-jadi main di kebunnya.""Ih ada jamuuuur!""BERACUN!" kata Kaivan
"Saya enggak yakin kamu bisa tidur di kamar saya yang begitu."Arawinda yang saat itu tengah menggigil karena suhu pedesaan ternyata sangat sejuk pun menoleh pada sang suami. Malam sudah menjemput, bulan tengah menggantikan posisi matahari di langit. Memantulkan cahaya indah yang bisa dilihat dengan nyaman dengan mata kepala. Mengantarkan ketenangan dan kemanjaan bagi setiap insan yang melihatnya."Kenapa memangnya?""Tidak seperti di rumah atau di hotel, tidak ada AC, tidak memakai bed cover yang halus dan dingin, kasurnya pun tidak terlalu empuk."Arawinda mendengus. "Begini ya, di udara malam yang dingin memang siapa yang butuh AC? Dan masalah kenyamanan, saya tidak masalah sama sekali, sedari tadi, saya sudah beristirahat di kamar kamu dan aman-aman saja.""Ini rumah peninggalan buyut saya. Saat kami dulu merintis dan akhirnya mempunyai uang lebih, kami sempat membeli rumah baru. Tapi ya begitu, setelah semuanya hilang, hanya ini tempat kami kembali.""Kalau begitu, rumah ini suda
"Nduk kok udah bangun jam segini?" tanya Gendhis pada Kaivan yang tiba-tiba saja ada di sampingnya. Merangkul manja dan menyandarkan kepala dan nampak masih terkantuk-kantuk. "Berisik ya? Ibu lagi mau masak.""Enggak kok Bu, Kaivan emang sengaja bangun jam segini. Pengen bantu dan berduaan sama Ibu. Dari kemarin Kaivan kan enggak punya waktu. Pun karena lagi ada di rumah, jarang banget Kaivan begini.""Yo wes kalau begitu." Gendhis tersenyum. "Istrimu tidur nyenyak?""Nyenyak banget dia Bu. Sampai mangap-mangap."Mau tak mau membayangkan Arawinda yang selalu cantik dan anggun tidur dengan mulut yang terbuka membuat Gendhis tertawa. "Syukur deh kalau begitu, kamu tidur seranjang sama dia?"Kaivan melirik sang ibu yang tiba-tiba bertanya hal demikian dengan aneh. "Menurut Ibu gimana?""Seranjang?"Agak malu sebenarnya mengakui hal ini, tapi Kaivan pun menganggukan kepala."La wajar kan, namanya juga suami-istri." Gendhis terkekeh. "Tapi aneh ya? Sekarang Arawinda lebih ceria, lebih lepa
"Ya ampun Mbak, gimana? Ada yang sakit? Aduh maaf banget aku ngetawian abisnya Mbak lucu mana kelihatan polos banget lagi." Bahkan kini, Diajeng masih belum bisa berhenti tertawa melihat bagaimana keadaan Arawinda yang mengenaskan namun tetap saja, lucu sekali. "Kenapa bisa jatuh begini sih?""Kekencengan tadi ngayuh sepedanya. Jadi enggak sengaja." Arawinda mencebik, hampir menangis. Andai saja ia tidak malu pada Diajeng, mungkin memang sekarang ia sudah menangis. "Ayo pulang, saya enggak mau dilihatin sama orang-orang.""Yaudah ayo pulang, sepedanya kita tuntun aja, kita lahir ya Mbak."Arawinda menganggukan kepala dan mengikuti arahan Diajeng, keduanya segera berlari di jalanan. Lumpur-lumpur berbekas dari tapak kaki dan gerakan tubuh Arawinda. Ia tak mengerti, tapi pengamalan ini adalah yang terburuk baginya. Terburuk, unik dan sedikit menyenangkan.Kapan lagi ia bisa tercebur di pesawahan yang sangat kotor dan penuh dengan tanah becek seperti tadi?"Enggak capek kan Mbak?""Engg