Kini, satu-satunya orang yang tersisa dari semua tamu adalah, Pak Ridwan yang tinggal di pedalaman kota Jogja. Sosok pemilik pabrik kaca terbesar di Indonesia dengan kualitas terbaik dan sudah tersohor itu kini tinggal sederhana dan nyaman menikmati hari tau di pedalaman asli kita Jogja. Dan sesungguhnya, Arawinda sudah amat sangat lelah, empat hari tanpa henti terus berkunjung, dari satu tempat ke tempat lainnya. Dari satu orang ke orang lainnya. Ia lelah namun tak bisa berhenti begitu saja. Bagaimana pun, ia harus menyelesaikan urusannya. Ini yang terakhir, besok ia bisa kembali ke ruang kamarnya yang nyaman dan beristirahat sepuasnya, seharian."Makanan?" Arawinda menggelengkan kepala, menolak apa yang Kaivan tawarkan. Ia bahkan tak selera untuk sekedar makan sekarang. Sungguh. "Saya mau istirahat.""Sebentar lagi kita sampai.""Kenapa beliau harus tinggal di pedalaman, dengan jalan rusak dan penuh bebatuan begini? Apa hidup di perkotaan kurang nyaman untuk menikmati hari tua? Pad
Kaivan buru-buru menyalimi dengan hormat sang nenek yang kini berjalan ke arahnya. Melihat itu, Arawinda pun mencoba melakukan hal yang sama. Ia tetap bersopan santun pada orang tua di depannya. Dimana tanah dipijak di situ langit dijunjung. Arawinda diajari untuk bersopan santun pada orang yang lebih tua. Apalagi ini neneknya Kaivan. Meski perkataan dan kesan pertama mereka kurang baik."Selamat datang di rumah kami yang sederhana.""Terimakasih." Arawinda menganggukan kepala. Ini kedua kali ia bertemu dengan sosok yang seringkali disebut Mbah Putri itu."Saya kira kamu akan menolak dan enggak akan mau berkunjung ke tempat seperti ini mengingat satu tahun terakhir saja, kamu tak pernah memunculkan diri di sini.""Mbah Putri sehat?" tanya Kaivan tiba-tiba, mencoba mengalihkan pembicaraan."Mbah lagi ngobrol sama istri kamu Kaivan.""Ya ampun! Maaf banget Ibu baru tahu kamu mau datang, tadi lagi di belakang." Gendhis menyambut suka cita. Dibanding Kaivan, Gendhis malah langsung memeluk
Arawinda asik mencabuti wortel dari dalam tanah. Gadis itu nampak kesenangan sendiri bisa bermain di kebun. Tangannya kotor, di wajah gadis itu ada seoles tanah, keringat mengucur di pelipisnya. Wajah gadis itu semakin matang dari waktu ke waktu."Udah ayo pulang!""Bentar lagi!""Udah toh, biarin aja dia main kayak gitu. Jarang juga kan Arawinda main di kebun. Lagi anteng itu."Kaivan melirik sang Ibu yang malah membela Arawinda yang asik sendiri seperti anak kecil. Jiwa-jiwa marah Kaivan hampir saja keluar melihat tingkah sang istri. "Tapi dia cabutin wortel sama ambilin sayuran yang lain Bu!""Lah kan itu bagus, bantu-bantu para pekerja sini." "Ya ampun, Kaivan aja kadang enggak Ibu ijinin buat acak-acakin kebun. Ini Arawinda malah dibiarin semena-mena.""Gak apa-apa, kan dari kecil dia enggak bisa kayak gini. Kalau kamu dari kecil udah nakal tahu.""Enggak Bu. Kalau enggak dibawa ke rumah, nanti dia makin menjadi-jadi main di kebunnya.""Ih ada jamuuuur!""BERACUN!" kata Kaivan
"Saya enggak yakin kamu bisa tidur di kamar saya yang begitu."Arawinda yang saat itu tengah menggigil karena suhu pedesaan ternyata sangat sejuk pun menoleh pada sang suami. Malam sudah menjemput, bulan tengah menggantikan posisi matahari di langit. Memantulkan cahaya indah yang bisa dilihat dengan nyaman dengan mata kepala. Mengantarkan ketenangan dan kemanjaan bagi setiap insan yang melihatnya."Kenapa memangnya?""Tidak seperti di rumah atau di hotel, tidak ada AC, tidak memakai bed cover yang halus dan dingin, kasurnya pun tidak terlalu empuk."Arawinda mendengus. "Begini ya, di udara malam yang dingin memang siapa yang butuh AC? Dan masalah kenyamanan, saya tidak masalah sama sekali, sedari tadi, saya sudah beristirahat di kamar kamu dan aman-aman saja.""Ini rumah peninggalan buyut saya. Saat kami dulu merintis dan akhirnya mempunyai uang lebih, kami sempat membeli rumah baru. Tapi ya begitu, setelah semuanya hilang, hanya ini tempat kami kembali.""Kalau begitu, rumah ini suda
"Nduk kok udah bangun jam segini?" tanya Gendhis pada Kaivan yang tiba-tiba saja ada di sampingnya. Merangkul manja dan menyandarkan kepala dan nampak masih terkantuk-kantuk. "Berisik ya? Ibu lagi mau masak.""Enggak kok Bu, Kaivan emang sengaja bangun jam segini. Pengen bantu dan berduaan sama Ibu. Dari kemarin Kaivan kan enggak punya waktu. Pun karena lagi ada di rumah, jarang banget Kaivan begini.""Yo wes kalau begitu." Gendhis tersenyum. "Istrimu tidur nyenyak?""Nyenyak banget dia Bu. Sampai mangap-mangap."Mau tak mau membayangkan Arawinda yang selalu cantik dan anggun tidur dengan mulut yang terbuka membuat Gendhis tertawa. "Syukur deh kalau begitu, kamu tidur seranjang sama dia?"Kaivan melirik sang ibu yang tiba-tiba bertanya hal demikian dengan aneh. "Menurut Ibu gimana?""Seranjang?"Agak malu sebenarnya mengakui hal ini, tapi Kaivan pun menganggukan kepala."La wajar kan, namanya juga suami-istri." Gendhis terkekeh. "Tapi aneh ya? Sekarang Arawinda lebih ceria, lebih lepa
"Ya ampun Mbak, gimana? Ada yang sakit? Aduh maaf banget aku ngetawian abisnya Mbak lucu mana kelihatan polos banget lagi." Bahkan kini, Diajeng masih belum bisa berhenti tertawa melihat bagaimana keadaan Arawinda yang mengenaskan namun tetap saja, lucu sekali. "Kenapa bisa jatuh begini sih?""Kekencengan tadi ngayuh sepedanya. Jadi enggak sengaja." Arawinda mencebik, hampir menangis. Andai saja ia tidak malu pada Diajeng, mungkin memang sekarang ia sudah menangis. "Ayo pulang, saya enggak mau dilihatin sama orang-orang.""Yaudah ayo pulang, sepedanya kita tuntun aja, kita lahir ya Mbak."Arawinda menganggukan kepala dan mengikuti arahan Diajeng, keduanya segera berlari di jalanan. Lumpur-lumpur berbekas dari tapak kaki dan gerakan tubuh Arawinda. Ia tak mengerti, tapi pengamalan ini adalah yang terburuk baginya. Terburuk, unik dan sedikit menyenangkan.Kapan lagi ia bisa tercebur di pesawahan yang sangat kotor dan penuh dengan tanah becek seperti tadi?"Enggak capek kan Mbak?""Engg
Sampai di Jakarta menjelang sore hari, Kaivan langsung mengarahkan mobil ke hotel. Karena sore ini, ia akan langsung pergi ke lapangan. Melihat pembangunan untuk kawasan elit yang sudah ia rencanakan sejak lama. Sesaat, kala turun dari mobil, ia mendapat sambutan secara langsung dari Gio dan manager hotel yang sudah tak ia temui lima hari terakhir."Selamat datang kembali Tuan Kaivan dan Nyonya Arawinda.""Terimakasih." Kaivan mengangguk penuh wibawa. "Apa kabar kalian berdua?""Kami baik di sini.""Saya akan membantu Arawinda untuk beristirahat di kamar. Sebelum kita berbicara di ruang rapat."Gio langsung tersenyum kecut, ia pikir Kaivan juga akan ikut beristirahat, ternyata ia salah besar. Lelaki itu malah akan langsung bekerja dan akan meminta laporan beberapa hari terakhir pasti."Baik, akan kami siapkan ruang rapatnya." Manager Umum menjawab sopan.Arawinda berjalan lemas di sisi Kaivan menuju ke arah lift. "Kamu mau langsung bekerja.""Saya tidak bisa membuang waktu lebih banya
"Ini terdengar sebagai kabar yang sangat baik dan sangat bagus. Kita bisa bertemu dengan pihak-pihak itu. Tapi, saya akan melakukan penyelidikan mendalam tentang semua ini. Jadi, saya akan memberitahukan jadwal pertemuan. setelah semuanya di pastikan. Kita tahu, bahwa kita tidak bisa sembarangan mempercayai orang-orang. Saya takut ada yang mengecoh dan yang lebih menakutkan adalah, bagaimana jika saya yang terkecoh nanti?" Kaivan melirik Gio sembari menganggukan kepala. "Tolong beri saya data tentang siapa saja orang-orang itu, saya ingin membahas dan membawanya lebih jauh. Pembahasan selanjutnya apa?""Kami akan mengosongkan gedung sayap kanan lantai sepuluh untuk perombakan karena ada beberapa hal yang membuat pengunjung tidak nyaman.""Berapa hari?""Dua hari.""Saya akan cek langsung hari ini selepas pulang dari proyek pembangunan." Kaivan mencatat di buku kecilnya. "Lalu selanjutnya?""Untuk penggantian chandelier di master room, Anda menghubungi pengerajin terkenal untuk membuat