"Assalamualaikum, Ibu!" Aku berseru saat melihat Ibu membuka pintu. Ia keluar lalu memelukku yang langsung lari menubruk tubuhnya."Ya Allah, Raya? Kalian datang?" Belum aku menjawab pertanyaan Ibu, Mas Raffi menghampiri kami dan langsung mencium punggung tangan Ibuku itu."Ayo, masuk. Silahkan masuk," ujar Ibu menuntunku dan Mas Raffi.Aku masuk, dan duduk di kursi yang masih kokoh dari sewaktu aku kecil. Kupindai ruangan ini, masih sama seperti terakhir aku tinggalkan. Rak kayu, tivi kecil, gorden warna merah muda yang warnanya sudah memudar akibat terlalu sering dicuci. Semuanya tidak pernah berubah. "Ini, diminum dulu. Maaf, Ibu tidak menyiapkan apa-apa untuk menyambut kedatangan kalian. Karena Raya, tidak memberi kabar akan datang," ujar Ibu menyuguhkan dua gelas air putih padaku. "Terima kasih, Ibu. Kami memang sengaja ingin memberikan kejutan untuk Ibu," ujar Mas Raffi. Suamiku mengambil gelas berisikan air yang baru saja disuguhkan Ibu, lalu meminumnya hingga habis."Min
Keantusiasan Bibi, mengundang banyak mata untuk melihat. Akhirnya, aku jadi tontonan tetangga yang rumahnya berdekatan dengan rumah Ibu. Aku pun mengajak mereka masuk ke dalam rumah, sambil ngobrol-ngobrol. Di antara mereka yang datang ke rumah, ada yang pernah mengolok-olok wajah suamiku. Bahkan, mengatakan kalau aku ini wanita buta.Namun, sekarang dia tidak bisa lagi bicara. Mulutnya bungkam dan hanya mampu melirikku dengan ujung mata."Azriel, panggil Rahma sama Diana, ya? Bilang, Bibi Aya, mau ketemu," ujarku pada cucunya Bibi, yang tidak lain adalah anaknya Naima yang berusia tiga tahun.Balita itu mengangguk. Ia turun dari rumah dengan bersemangat. Kemudian lari ke arah rumah yang di tuju."Bibi Aya datang!!" teriak Azriel yang lari tunggang langgang.Para tetangga sudah pergi, kini hanya ada saudara-saudaraku. Aku pun mulai mengeluarkan oleh-oleh untuk mereka. Keponakan perempuanku ada dua. Yaitu Rahma dan Diana yang masing-masing masih duduk di bangku sekolah dasar. Sedangk
Aku menutup mulutku yang berseru dengan salah ucap. Tentu saja kata-kataku membuat Bu Rahmi mendelikkan mata tidak suka."Sini, Bu saya bantuin," ucapku mengulurkan tangan."Tidak usah, saya bisa sendiri. Orang saya tidak apa-apa, kok," jawab Bu Rahmi dengan sewot. Aku dan Mas Raffi pun hanya melihat tanpa membantunya. Bu Rahmi bangun dan naik dengan keadaan baju daster yang sudah basah dan sedikit ada yang sobek di bagian bawahnya. "Ibu, tidak apa-apa?" tanya suamiku.Bukannya menjawab, wanita seumuran Ibu itu malah cepat-cepat pergi dengan mengentakkan kakinya.Mas Raffi menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah Bu Rahmi yang seperti anak kecil. Kami pun kembali melanjutkan perjalanan hingga akhirnya tiba di rumah.Mas Raffi langsung mandi dengan air hangat yang sudah disiapkan Ibu. Aku pun melakukan hal yang sama, setelah suamiku itu selesai dengan ritual mandinya."Makasih, Ibuku Sayang, sudah dimasakin air panas. Jadi tidak kedinginan, deh," ujarku setelah keluar dari kamar m
Paginya, aku sudah siap dengan setelan rok payung yang dipadupadankan dengan kaus panjang serta kerudung pashmina. Rencananya, hari ini Mas Raffi akan membawaku ke restoran. Ingin bernostalgia di mana aku dan dia awal berjumpa."Sudah siap?" tanyanya saat aku tengah bercermin."Sudah. Kita berangkat sekarang?" "Terserah kamu saja. Mau sekarang, oke. Mau nanti juga gak papa. Terserah Tuan Putri.""Emmm ... gemes, deh," ujarku mencubit pipinya.Pukul tujuh pagi, aku berangkat dari rumah. Awalnya ingin mengajak Ibu untuk ikut serta, tapi beliau menolak. Katanya, masih banyak pekerjaan di sawah yang harus diselesaikan.Jarak rumah ke restoran tidaklah terlalu jauh, hanya butuh tiga menit menggunakan kendaraan. Dari depan gerbang, aku sudah melihat kalau teman-temanku tengah mengawali harinya dengan mengepel dan mengelap kaca. Sengaja aku datang lebih pagi, agar bisa punya banyak waktu untuk mengobrol dengan teman-temanku."Assalamualaikum!" Semua teman-temanku yang tengah menata kursi,
"Sampaikan maaf Ibu, kepada mertuamu di kota. Ibu tidak bisa memberikan oleh-oleh yang bagus, yang banyak untuk yang di sana. Hanya ini yang bisa Ibu berikan."Satu plastik besar kue kering khas lebaran daerah kami, Ibu simpan di atas meja makan. Aku yang melihat itu, hanya mengangguk seraya mengunyah makanan yang sama."Tidak apa-apa, Bu. Aku tidak berharap akan bawa apa-apa dari sini. Cukup doa Ibu, yang selalu aku nantikan," ujarku.Senyum Ibu terukir, namun matanya mulai mengembun. Kemudian ia duduk di kursi di sebelahku."Jangankan kamu minta, Ra. Kamu tidak meminta pun, doa Ibu selalu mengalir untuk kebahagiaan kalian," ucap Ibu sembari mengelus kepalaku.Aku tersenyum kecil menahan air mata yang menggenang di pelupuk mata. Rasanya tidak puas aku berada di sini. Rinduku masih belum terhapuskan pada Ibu.Namun, besok pagi aku harus kembali ke Jakarta. Meninggalkan Ibu seorang diri dan rumah ini. Rasanya berat, tapi harus aku lakukan. Bagaimanapun, aku seorang istri yang harus iku
Delapan jam perjalanan membuatku sangat kelelahan. Sudah beberapa kali aku tertidur di dalam mobil membiarkan Mas Raffi seorang diri. Sekarang, mobil sudah membawa kami masuk ke perumahan di mana kami tinggal. Bangunan besar dengan cat warna kuning keemasan sudah menyambutku dan Mas Raffi. "Alhamdulillah, kita sampai. Turun, Sayang." Mas Raffi memberikan instruksi. "Bentar, Mas. Pegal!" ujarku menggeliat menarik tangan ke atas.Mas Raffi terkekeh pelan. "Kamu yang hanya duduk saja pegal, apalagi aku yang nyetir? Pokoknya nanti pijitin.""Ah, gak mau. Aku juga kelelahan ini." Aku merengut dengan kepala kusandarkan pada dashboard. Suara teriakan anak kecil membuatku mengangkat kepala. Ternyata Citra sudah berdiri di teras seraya bertepuk tangan. Dia terus memanggil-manggilku dengan suara khasnya. Bukannya segera turun, Mas Raffi malah menyalakan mobil dan memundurkannya seperti akan pergi kembali. Tentu saja, hal itu membuat Citra berteriak histeris seraya mengejar kami."Jahat, de
Pukul lima sore, aku pergi ke toko yang menyediakan alat-alat lukis. Membeli cat tube, cat pilox, lengkap dengan beberapa kuas kecil serta tempat catnya. "Sudah, ya, kita pulang?""Bentar Tante, Cici mau makan itu." Telunjuk Citra mengarah pada makanan gula-gula yang tidak jauh dari toko. Meskipun lelah, aku mengabulkan keinginan Citra. Memesan gula-gula, sembari duduk di kursi panjang yang berada di depan toko."Raya?" Aku mendongak melihat orang yang memanggil namaku."Arga?" "Hai, Ra. Sedang apa?" tanyanya."Ini, sedang nunggu arumanis," kataku "Emh, Ra. Bisa bicara sebentar, gak?"Aku mengerutkan kening. Sebenarnya aku sudah tidak mau lagi berhubung dengan dia. Aku takut, nanti akan terjadi salah paham. "Maaf, Ga. Tidak bisa. Aku harus pulang.""Sebentar, saja. Aku ingin menjelaskan sesuatu padamu. Ini ada kaitannya dengan wanita masa lalu suamimu."Aku melihat wajah Arga tanpa berkedip. Apa yang dia tahu tentang suamiku?"Sebentar saja, ini untuk yang terakhir kali," ujarny
"Mas, kapan datang? Eee ... ini lho, tadi Arga—""Pulang!" ujar Mas Raffi lagi seraya mengeratkan giginya.Aku berdiri, memegang tangan Citra dengan erat. Sungguh, aku benar-benar takut jika Mas Raffi akan marah. "Maaf, Pak Raffi. Ini bukan salah Raya, tapi—""Raya, pulang!" ujar Mas Raffi lagi memotong ucapan Arga yang hendak menjelaskan. Tidak ada pilihan lain, aku pun akhirnya keluar dari kafe itu seraya menggenggam tangan Citra. Aku langsung masuk ke dalam mobil Pak Tarmin yang sudah terparkir di depan kafe. "Jalan sekarang, Bu?" tanya Pak Tarmin."Sebentar, Pak. Tunggu dulu sebentar," kataku menolak untuk pergi.Aku tidak melihat Mas Raffi keluar dari kafe itu. Jadi, aku putuskan untuk tetap di sini sampai suamiku keluar dan masuk ke mobilnya. Aku takut, jika Mas Raffi akan bertengkar dengan Arga. Sekian menit menunggu, akhirnya aku melihat Mas Raffi keluar. Entah apa yang terjadi di dalam, hingga Mas Raffi terlihat begitu emosi. Dia pun mengentakkan tangan Arga, yang menceka