"Sampaikan maaf Ibu, kepada mertuamu di kota. Ibu tidak bisa memberikan oleh-oleh yang bagus, yang banyak untuk yang di sana. Hanya ini yang bisa Ibu berikan."Satu plastik besar kue kering khas lebaran daerah kami, Ibu simpan di atas meja makan. Aku yang melihat itu, hanya mengangguk seraya mengunyah makanan yang sama."Tidak apa-apa, Bu. Aku tidak berharap akan bawa apa-apa dari sini. Cukup doa Ibu, yang selalu aku nantikan," ujarku.Senyum Ibu terukir, namun matanya mulai mengembun. Kemudian ia duduk di kursi di sebelahku."Jangankan kamu minta, Ra. Kamu tidak meminta pun, doa Ibu selalu mengalir untuk kebahagiaan kalian," ucap Ibu sembari mengelus kepalaku.Aku tersenyum kecil menahan air mata yang menggenang di pelupuk mata. Rasanya tidak puas aku berada di sini. Rinduku masih belum terhapuskan pada Ibu.Namun, besok pagi aku harus kembali ke Jakarta. Meninggalkan Ibu seorang diri dan rumah ini. Rasanya berat, tapi harus aku lakukan. Bagaimanapun, aku seorang istri yang harus iku
Delapan jam perjalanan membuatku sangat kelelahan. Sudah beberapa kali aku tertidur di dalam mobil membiarkan Mas Raffi seorang diri. Sekarang, mobil sudah membawa kami masuk ke perumahan di mana kami tinggal. Bangunan besar dengan cat warna kuning keemasan sudah menyambutku dan Mas Raffi. "Alhamdulillah, kita sampai. Turun, Sayang." Mas Raffi memberikan instruksi. "Bentar, Mas. Pegal!" ujarku menggeliat menarik tangan ke atas.Mas Raffi terkekeh pelan. "Kamu yang hanya duduk saja pegal, apalagi aku yang nyetir? Pokoknya nanti pijitin.""Ah, gak mau. Aku juga kelelahan ini." Aku merengut dengan kepala kusandarkan pada dashboard. Suara teriakan anak kecil membuatku mengangkat kepala. Ternyata Citra sudah berdiri di teras seraya bertepuk tangan. Dia terus memanggil-manggilku dengan suara khasnya. Bukannya segera turun, Mas Raffi malah menyalakan mobil dan memundurkannya seperti akan pergi kembali. Tentu saja, hal itu membuat Citra berteriak histeris seraya mengejar kami."Jahat, de
Pukul lima sore, aku pergi ke toko yang menyediakan alat-alat lukis. Membeli cat tube, cat pilox, lengkap dengan beberapa kuas kecil serta tempat catnya. "Sudah, ya, kita pulang?""Bentar Tante, Cici mau makan itu." Telunjuk Citra mengarah pada makanan gula-gula yang tidak jauh dari toko. Meskipun lelah, aku mengabulkan keinginan Citra. Memesan gula-gula, sembari duduk di kursi panjang yang berada di depan toko."Raya?" Aku mendongak melihat orang yang memanggil namaku."Arga?" "Hai, Ra. Sedang apa?" tanyanya."Ini, sedang nunggu arumanis," kataku "Emh, Ra. Bisa bicara sebentar, gak?"Aku mengerutkan kening. Sebenarnya aku sudah tidak mau lagi berhubung dengan dia. Aku takut, nanti akan terjadi salah paham. "Maaf, Ga. Tidak bisa. Aku harus pulang.""Sebentar, saja. Aku ingin menjelaskan sesuatu padamu. Ini ada kaitannya dengan wanita masa lalu suamimu."Aku melihat wajah Arga tanpa berkedip. Apa yang dia tahu tentang suamiku?"Sebentar saja, ini untuk yang terakhir kali," ujarny
"Mas, kapan datang? Eee ... ini lho, tadi Arga—""Pulang!" ujar Mas Raffi lagi seraya mengeratkan giginya.Aku berdiri, memegang tangan Citra dengan erat. Sungguh, aku benar-benar takut jika Mas Raffi akan marah. "Maaf, Pak Raffi. Ini bukan salah Raya, tapi—""Raya, pulang!" ujar Mas Raffi lagi memotong ucapan Arga yang hendak menjelaskan. Tidak ada pilihan lain, aku pun akhirnya keluar dari kafe itu seraya menggenggam tangan Citra. Aku langsung masuk ke dalam mobil Pak Tarmin yang sudah terparkir di depan kafe. "Jalan sekarang, Bu?" tanya Pak Tarmin."Sebentar, Pak. Tunggu dulu sebentar," kataku menolak untuk pergi.Aku tidak melihat Mas Raffi keluar dari kafe itu. Jadi, aku putuskan untuk tetap di sini sampai suamiku keluar dan masuk ke mobilnya. Aku takut, jika Mas Raffi akan bertengkar dengan Arga. Sekian menit menunggu, akhirnya aku melihat Mas Raffi keluar. Entah apa yang terjadi di dalam, hingga Mas Raffi terlihat begitu emosi. Dia pun mengentakkan tangan Arga, yang menceka
"Apa? Ngapain, Mas?" tanyaku lagi seraya menekuk wajah.Mendengar nama Malika, langsung membuat hatiku terkoyak. Aku memundurkan tubuhku dari Mas Raffi, lalu pergi dan meringkuk di atas tempat tidur.Cemburu, marah, benar-benar aku rasakan. Mentang-mentang tadi dia melihatku dengan Arga, kini dia membalasnya dengan pergi menemui Malika?Sungguh menyebalkan!"Ra, kamu marah padaku karena aku ke rumah Malika?" tanya Mas Raffi menghampiriku. Ia duduk di belakangku yang tengah memeluk guling."Iya," kataku singkat."Kamu tahu aku ke sana untuk apa?" Aku tidak menjawab. Kurasakan ada pergerakkan dari belakangku. Mas Raffi pergi?Penasaran ke mana suamiku, aku pun membalikkan badan untuk melihatnya. Namun, dia masih ada di kamar ini. Ia hanya mengambil celana yang tadi dia pakai, merogoh saku celananya, lalu mengambil sesuatu dari dalam sana. Sebuah kertas."Karena ini," ujarnya kembali mendekatiku.Aku beringsut duduk karena penasaran dengan apa yang ada di tangan Mas Raffi."Apa itu, M
Mendengar teriakan Mama, langsung saja aku turun dari tangga untuk membantu mertuaku mengejar dan mengumpulkan kelomang yang berhamburan merayap ke sana kemari."Oma, itu ke bawah kalpet!" "Ambil Cici, cepetan!" ujar Mama pada cucunya.Entah bagaimana awalnya, hewan kecil itu bisa merayap ke segala arah. Bukan hanya Mama dan Citra yang sibuk mengumpulkan kelomang, Bi Marni dan Papa pun ikut turun membantu mengumpulkannya."Kenapa bisa begini, Ma?" tanyaku lagi seraya terus memungut dan memasukkan makhluk itu ke dalam ember."Cici, tuh. Dia kesal karena tidak jadi mewarnai cangkang kelomang, akhirnya dia menumpahkan semuanya ke lantai. Pasirnya ikut tumpah lagi. Berantakan, deh rumah." Mama menjelaskan seraya menggerutu. Aku tidak lagi bicara, fokus memungut makhluk-makhluk kecil yang semakin merayap tidak terkendali. Semua orang sibuk, semuanya panik karena kelomang merayap ke bawah rak dan sofa yang sulit dijangkau. Di saat kami semua sibuk di lantai, Mas Raffi hanya jadi penonto
"Aduh, Bibi mah ada-ada saja. Masak, baru bentar nikah udah hamil aja. Mana mungkin, Bi," ucapku seraya mengambil segelas air minum, lalu menegaknya."Eh, tidak ada yang tidak mungkin, Mbak. Coba Mbak Raya, ingat-ingat sudah berapa lama Mbak sama Mas Raffi menikah?" Aku kembali terdiam. Mengingat dan menghitung berapa lama aku menjadi istri Mas Raffi."Hampir dua bulan, Bi.""Nah, dah lama. Dah cocok buat hamil. Ah, pokoknya Bibi yakin, kalau Mbak Raya hamil. Seratus persen yakin!" Sayur asam di mangkuk sudah hampir habis. Namun, pikiranku terus berkelana dan menerawang jauh. Mungkinkah yang dikatakan Bibi itu benar, atau hanya perasaan dia saja? Rasanya aku benar-benar penasaran. Setelah menghabiskan makananku, aku langsung pergi ke kamar. Melihat kalender kecil yang bertengger cantik di atas meja di sebelah televisi. "Telat?" ujarku menghitung tanggal terakhir aku datang bulan.Terakhir aku datang bulan saat menikah dengan Mas Raffi. Dan sampai sekarang, tamu bulananku belum jug
Di dalam kamar, aku terus bercermin seraya mengusap-usap perutku yang masih rata. Sungguh, aku tidak menyangka jika ada kehidupan di dalam sana. Aku juga tidak mengira akan diberikan kebahagiaan ini dengan begitu cepat. Seperti orang gila, aku terus senyam-senyum sendiri seraya mengangkat kaus yang aku pakai, memperhatikan perut yang belum menunjukkan ada bayi di dalam sana.Setelah puas bercermin, aku mengambil ponsel, mencari kontak dengan nama 'Mbak Kinanti'. Setelah dapat, aku langsung menghubunginya."Assalamualaikum." Suara dari seberang sana."Waalaikumsalam, Mbak. Mbak Kinan, ini Raya. Hari ini Mbak sibuk, gak?" tanyaku kepada kakak perempuan suamiku itu. "Hai, Ra. Emm ... enggak, sih. Biasa saja. Memangnya kenapa?" "Tidak ada apa-apa, mau ketemu saja. Aku mau konsultasi. Kira-kira, bisa tidak, ya?"Mbak Kinanti diam sejenak. Sepertinya ia tengah sarapan. Terdengar dia seperti tengah mengunyah sesuatu. "Bisa, Ra. Kalau mau cepat, kamu datang saja sekarang ke rumah sakit. M