"Apa? Ngapain, Mas?" tanyaku lagi seraya menekuk wajah.Mendengar nama Malika, langsung membuat hatiku terkoyak. Aku memundurkan tubuhku dari Mas Raffi, lalu pergi dan meringkuk di atas tempat tidur.Cemburu, marah, benar-benar aku rasakan. Mentang-mentang tadi dia melihatku dengan Arga, kini dia membalasnya dengan pergi menemui Malika?Sungguh menyebalkan!"Ra, kamu marah padaku karena aku ke rumah Malika?" tanya Mas Raffi menghampiriku. Ia duduk di belakangku yang tengah memeluk guling."Iya," kataku singkat."Kamu tahu aku ke sana untuk apa?" Aku tidak menjawab. Kurasakan ada pergerakkan dari belakangku. Mas Raffi pergi?Penasaran ke mana suamiku, aku pun membalikkan badan untuk melihatnya. Namun, dia masih ada di kamar ini. Ia hanya mengambil celana yang tadi dia pakai, merogoh saku celananya, lalu mengambil sesuatu dari dalam sana. Sebuah kertas."Karena ini," ujarnya kembali mendekatiku.Aku beringsut duduk karena penasaran dengan apa yang ada di tangan Mas Raffi."Apa itu, M
Mendengar teriakan Mama, langsung saja aku turun dari tangga untuk membantu mertuaku mengejar dan mengumpulkan kelomang yang berhamburan merayap ke sana kemari."Oma, itu ke bawah kalpet!" "Ambil Cici, cepetan!" ujar Mama pada cucunya.Entah bagaimana awalnya, hewan kecil itu bisa merayap ke segala arah. Bukan hanya Mama dan Citra yang sibuk mengumpulkan kelomang, Bi Marni dan Papa pun ikut turun membantu mengumpulkannya."Kenapa bisa begini, Ma?" tanyaku lagi seraya terus memungut dan memasukkan makhluk itu ke dalam ember."Cici, tuh. Dia kesal karena tidak jadi mewarnai cangkang kelomang, akhirnya dia menumpahkan semuanya ke lantai. Pasirnya ikut tumpah lagi. Berantakan, deh rumah." Mama menjelaskan seraya menggerutu. Aku tidak lagi bicara, fokus memungut makhluk-makhluk kecil yang semakin merayap tidak terkendali. Semua orang sibuk, semuanya panik karena kelomang merayap ke bawah rak dan sofa yang sulit dijangkau. Di saat kami semua sibuk di lantai, Mas Raffi hanya jadi penonto
"Aduh, Bibi mah ada-ada saja. Masak, baru bentar nikah udah hamil aja. Mana mungkin, Bi," ucapku seraya mengambil segelas air minum, lalu menegaknya."Eh, tidak ada yang tidak mungkin, Mbak. Coba Mbak Raya, ingat-ingat sudah berapa lama Mbak sama Mas Raffi menikah?" Aku kembali terdiam. Mengingat dan menghitung berapa lama aku menjadi istri Mas Raffi."Hampir dua bulan, Bi.""Nah, dah lama. Dah cocok buat hamil. Ah, pokoknya Bibi yakin, kalau Mbak Raya hamil. Seratus persen yakin!" Sayur asam di mangkuk sudah hampir habis. Namun, pikiranku terus berkelana dan menerawang jauh. Mungkinkah yang dikatakan Bibi itu benar, atau hanya perasaan dia saja? Rasanya aku benar-benar penasaran. Setelah menghabiskan makananku, aku langsung pergi ke kamar. Melihat kalender kecil yang bertengger cantik di atas meja di sebelah televisi. "Telat?" ujarku menghitung tanggal terakhir aku datang bulan.Terakhir aku datang bulan saat menikah dengan Mas Raffi. Dan sampai sekarang, tamu bulananku belum jug
Di dalam kamar, aku terus bercermin seraya mengusap-usap perutku yang masih rata. Sungguh, aku tidak menyangka jika ada kehidupan di dalam sana. Aku juga tidak mengira akan diberikan kebahagiaan ini dengan begitu cepat. Seperti orang gila, aku terus senyam-senyum sendiri seraya mengangkat kaus yang aku pakai, memperhatikan perut yang belum menunjukkan ada bayi di dalam sana.Setelah puas bercermin, aku mengambil ponsel, mencari kontak dengan nama 'Mbak Kinanti'. Setelah dapat, aku langsung menghubunginya."Assalamualaikum." Suara dari seberang sana."Waalaikumsalam, Mbak. Mbak Kinan, ini Raya. Hari ini Mbak sibuk, gak?" tanyaku kepada kakak perempuan suamiku itu. "Hai, Ra. Emm ... enggak, sih. Biasa saja. Memangnya kenapa?" "Tidak ada apa-apa, mau ketemu saja. Aku mau konsultasi. Kira-kira, bisa tidak, ya?"Mbak Kinanti diam sejenak. Sepertinya ia tengah sarapan. Terdengar dia seperti tengah mengunyah sesuatu. "Bisa, Ra. Kalau mau cepat, kamu datang saja sekarang ke rumah sakit. M
Aku pun mulai mengatakan maksud kedatanganku ke sini. Yang pastinya, Mbak Kinan turut bahagia saat aku mengatakan kalau ada dua garis merah saat melakukan tes pagi tadi. Untuk meyakinkan kalau aku benar-benar hamil, Mbak Kinan menyuruhku untuk melakukan USG. Aku pun mengiyakan. Karena memang aku tidak paham persoalan seperti ini, aku menurut saja apa yang dikatakan kakak Iparku itu. Dan hasilnya, sungguh mengejutkan. Ternyata aku sudah mengandung empat minggu. "Ini belum kelihatan jelas, ya, Ra. Masih kecil banget. Tapi, alhamdulillah sehat. Selamat, Raya," ujar Mbak Kinan dengan wajah berbinarnya. Aku hanya bisa menutup mulut menahan tawa dan air mata saat melihat layar yang menampilkan sebuah janin di dalam perutku. Sungguh ajaib. Hanya dengan cairan jel dan benda yang ditempelkan ke permukaan perut, aku bisa melihat penampakan di dalam perutku. "Aku masih belum percaya, Mbak. Aku seneng banget." "Raffi, sudah tahu?" Aku menggelengkan kepala."Kenapa?" tanya Mbak Kinanti lagi.
"Ya Allah, Mas Raffi!!"Aku menutup mulut dengan mata yang membulat sempurna.Pria yang kupanggil namanya dengan keras, langsung menatapku dan menghampiriku. Ia melepaskan barang yang ada di tangannya, beralih memegang kedua pipiku, kemudian memelukku dengan begitu hangat."Kejutanmu membuatku teramat sangat bahagia, Ra. Aku mencintaimu, sangat. Kita akan punya anak," ujarnya berbisik. Namun, aku masih bergeming. Menatap menyaksikan apa yang di depan mata saat ini, membuatku benar-benar tidak menyangka jika Mas Raffi akan menyambut kabar baik dariku dengan seheboh ini. "Mas.""Apa, Sayang?" jawabnya masih memelukku. Mencium pucuk kepalaku berkali-kali."Ini apa-apaan?" kataku membuat dia melepaskan pelukan.Tangan Mas Raffi memeluk pundakku. Berdiri sejajar melihat barang-barang yang diturunkan Pak Tarmin."Ini untuk anakku, bayi kita," ujarnya dengan begitu yakin.Aku dan Bi Marni saling pandang. Rasanya dadaku benar-benar sesak. Bukan ini yang aku inginkan. Mas Raffi, membawa per
Drama rujak sudah selesai, perutku terasa kenyang dan pikiranku kembali segar. Aku mengambil ponsel, kemudian memotret perlengkapan bayi serta rujak yang hanya tinggal bumbunya saja. Setelah itu, aku mengunggahnya ke dalam story WhatsApp.Tidak lama kemudian, ponselku terus berbunyi menandakan ada pesan yang masuk. Aku membukanya, membaca satu per satu pesan yang datang dari ipar-iparku.[Aduh, yang hamil baru empat minggu saja, sudah beli perlengkapan bayi. Mana motif cowok, lagi. Kalau anaknya cewek gimana?] Pesan dari Mbak Kinanti yang pertama aku baca.[Itu perbuatan adikmu, Mbak. Bikin bete,] balasku dengan emoticon kesal.Selanjutnya, aku membaca pesan dari Mbak Kinara yang baru tahu jika aku tengah hamil. Kata selamat, dan doa dia berikan padaku. Beda dengan kedua kakaknya Mas Raffi, Mbak Syahida justru memberikan pesan penting padaku, mengenai Mama.[Selamat adikku atas kehamilannya. Ra, jangan aneh lagi, ya kalau Mama tiba-tiba protektif dan segala mengatur ruang gerakmu. It
"Pak Tarmin, mau ke mana?" Saat pulang dari rumah tetangga, kulihat Pak Tarmin bersiap untuk pergi dengan mobilnya."Disuruh Ibu buat jemput ke Yayasan," jawabnya seraya menurunkan kaca mobil."Oh, yasudah hati-hati di jalan, Pak Tarmin."Pria paruh baya itu mengangguk hormat seraya melajukan mobilnya keluar dari halaman. Aku melanjutkan langkahku hingga akhirnya berhenti saat melihat seorang pria tengah berdiri menatapku di atas balkon."Dari mana?" tanyanya. Mas Raffi membungkuk dengan kedua sikut ia tempelkan pada railing balkon."Dari rumah tetangga, habis main," ucapku dengan kepala mengadah ke atas. Melihat pria si pemilik dua wajah. Melihat Mas Raffi, senyumku memudar kala teringat ucapan adiknya Mbak Lani tadi. Mungkinkah jika apa yang dia katakan akan menimpaku juga?Jujur dari hati yang paling dalam, ada rasa takut jika nantinya putra atau putriku akan memiliki wajah yang sama dengan ayahnya. Aku tidak akan sekuat Mama. Sehebat mertuaku yang bisa membuat putranya jadi pri