Mendengar teriakan Mama, langsung saja aku turun dari tangga untuk membantu mertuaku mengejar dan mengumpulkan kelomang yang berhamburan merayap ke sana kemari."Oma, itu ke bawah kalpet!" "Ambil Cici, cepetan!" ujar Mama pada cucunya.Entah bagaimana awalnya, hewan kecil itu bisa merayap ke segala arah. Bukan hanya Mama dan Citra yang sibuk mengumpulkan kelomang, Bi Marni dan Papa pun ikut turun membantu mengumpulkannya."Kenapa bisa begini, Ma?" tanyaku lagi seraya terus memungut dan memasukkan makhluk itu ke dalam ember."Cici, tuh. Dia kesal karena tidak jadi mewarnai cangkang kelomang, akhirnya dia menumpahkan semuanya ke lantai. Pasirnya ikut tumpah lagi. Berantakan, deh rumah." Mama menjelaskan seraya menggerutu. Aku tidak lagi bicara, fokus memungut makhluk-makhluk kecil yang semakin merayap tidak terkendali. Semua orang sibuk, semuanya panik karena kelomang merayap ke bawah rak dan sofa yang sulit dijangkau. Di saat kami semua sibuk di lantai, Mas Raffi hanya jadi penonto
"Aduh, Bibi mah ada-ada saja. Masak, baru bentar nikah udah hamil aja. Mana mungkin, Bi," ucapku seraya mengambil segelas air minum, lalu menegaknya."Eh, tidak ada yang tidak mungkin, Mbak. Coba Mbak Raya, ingat-ingat sudah berapa lama Mbak sama Mas Raffi menikah?" Aku kembali terdiam. Mengingat dan menghitung berapa lama aku menjadi istri Mas Raffi."Hampir dua bulan, Bi.""Nah, dah lama. Dah cocok buat hamil. Ah, pokoknya Bibi yakin, kalau Mbak Raya hamil. Seratus persen yakin!" Sayur asam di mangkuk sudah hampir habis. Namun, pikiranku terus berkelana dan menerawang jauh. Mungkinkah yang dikatakan Bibi itu benar, atau hanya perasaan dia saja? Rasanya aku benar-benar penasaran. Setelah menghabiskan makananku, aku langsung pergi ke kamar. Melihat kalender kecil yang bertengger cantik di atas meja di sebelah televisi. "Telat?" ujarku menghitung tanggal terakhir aku datang bulan.Terakhir aku datang bulan saat menikah dengan Mas Raffi. Dan sampai sekarang, tamu bulananku belum jug
Di dalam kamar, aku terus bercermin seraya mengusap-usap perutku yang masih rata. Sungguh, aku tidak menyangka jika ada kehidupan di dalam sana. Aku juga tidak mengira akan diberikan kebahagiaan ini dengan begitu cepat. Seperti orang gila, aku terus senyam-senyum sendiri seraya mengangkat kaus yang aku pakai, memperhatikan perut yang belum menunjukkan ada bayi di dalam sana.Setelah puas bercermin, aku mengambil ponsel, mencari kontak dengan nama 'Mbak Kinanti'. Setelah dapat, aku langsung menghubunginya."Assalamualaikum." Suara dari seberang sana."Waalaikumsalam, Mbak. Mbak Kinan, ini Raya. Hari ini Mbak sibuk, gak?" tanyaku kepada kakak perempuan suamiku itu. "Hai, Ra. Emm ... enggak, sih. Biasa saja. Memangnya kenapa?" "Tidak ada apa-apa, mau ketemu saja. Aku mau konsultasi. Kira-kira, bisa tidak, ya?"Mbak Kinanti diam sejenak. Sepertinya ia tengah sarapan. Terdengar dia seperti tengah mengunyah sesuatu. "Bisa, Ra. Kalau mau cepat, kamu datang saja sekarang ke rumah sakit. M
Aku pun mulai mengatakan maksud kedatanganku ke sini. Yang pastinya, Mbak Kinan turut bahagia saat aku mengatakan kalau ada dua garis merah saat melakukan tes pagi tadi. Untuk meyakinkan kalau aku benar-benar hamil, Mbak Kinan menyuruhku untuk melakukan USG. Aku pun mengiyakan. Karena memang aku tidak paham persoalan seperti ini, aku menurut saja apa yang dikatakan kakak Iparku itu. Dan hasilnya, sungguh mengejutkan. Ternyata aku sudah mengandung empat minggu. "Ini belum kelihatan jelas, ya, Ra. Masih kecil banget. Tapi, alhamdulillah sehat. Selamat, Raya," ujar Mbak Kinan dengan wajah berbinarnya. Aku hanya bisa menutup mulut menahan tawa dan air mata saat melihat layar yang menampilkan sebuah janin di dalam perutku. Sungguh ajaib. Hanya dengan cairan jel dan benda yang ditempelkan ke permukaan perut, aku bisa melihat penampakan di dalam perutku. "Aku masih belum percaya, Mbak. Aku seneng banget." "Raffi, sudah tahu?" Aku menggelengkan kepala."Kenapa?" tanya Mbak Kinanti lagi.
"Ya Allah, Mas Raffi!!"Aku menutup mulut dengan mata yang membulat sempurna.Pria yang kupanggil namanya dengan keras, langsung menatapku dan menghampiriku. Ia melepaskan barang yang ada di tangannya, beralih memegang kedua pipiku, kemudian memelukku dengan begitu hangat."Kejutanmu membuatku teramat sangat bahagia, Ra. Aku mencintaimu, sangat. Kita akan punya anak," ujarnya berbisik. Namun, aku masih bergeming. Menatap menyaksikan apa yang di depan mata saat ini, membuatku benar-benar tidak menyangka jika Mas Raffi akan menyambut kabar baik dariku dengan seheboh ini. "Mas.""Apa, Sayang?" jawabnya masih memelukku. Mencium pucuk kepalaku berkali-kali."Ini apa-apaan?" kataku membuat dia melepaskan pelukan.Tangan Mas Raffi memeluk pundakku. Berdiri sejajar melihat barang-barang yang diturunkan Pak Tarmin."Ini untuk anakku, bayi kita," ujarnya dengan begitu yakin.Aku dan Bi Marni saling pandang. Rasanya dadaku benar-benar sesak. Bukan ini yang aku inginkan. Mas Raffi, membawa per
Drama rujak sudah selesai, perutku terasa kenyang dan pikiranku kembali segar. Aku mengambil ponsel, kemudian memotret perlengkapan bayi serta rujak yang hanya tinggal bumbunya saja. Setelah itu, aku mengunggahnya ke dalam story WhatsApp.Tidak lama kemudian, ponselku terus berbunyi menandakan ada pesan yang masuk. Aku membukanya, membaca satu per satu pesan yang datang dari ipar-iparku.[Aduh, yang hamil baru empat minggu saja, sudah beli perlengkapan bayi. Mana motif cowok, lagi. Kalau anaknya cewek gimana?] Pesan dari Mbak Kinanti yang pertama aku baca.[Itu perbuatan adikmu, Mbak. Bikin bete,] balasku dengan emoticon kesal.Selanjutnya, aku membaca pesan dari Mbak Kinara yang baru tahu jika aku tengah hamil. Kata selamat, dan doa dia berikan padaku. Beda dengan kedua kakaknya Mas Raffi, Mbak Syahida justru memberikan pesan penting padaku, mengenai Mama.[Selamat adikku atas kehamilannya. Ra, jangan aneh lagi, ya kalau Mama tiba-tiba protektif dan segala mengatur ruang gerakmu. It
"Pak Tarmin, mau ke mana?" Saat pulang dari rumah tetangga, kulihat Pak Tarmin bersiap untuk pergi dengan mobilnya."Disuruh Ibu buat jemput ke Yayasan," jawabnya seraya menurunkan kaca mobil."Oh, yasudah hati-hati di jalan, Pak Tarmin."Pria paruh baya itu mengangguk hormat seraya melajukan mobilnya keluar dari halaman. Aku melanjutkan langkahku hingga akhirnya berhenti saat melihat seorang pria tengah berdiri menatapku di atas balkon."Dari mana?" tanyanya. Mas Raffi membungkuk dengan kedua sikut ia tempelkan pada railing balkon."Dari rumah tetangga, habis main," ucapku dengan kepala mengadah ke atas. Melihat pria si pemilik dua wajah. Melihat Mas Raffi, senyumku memudar kala teringat ucapan adiknya Mbak Lani tadi. Mungkinkah jika apa yang dia katakan akan menimpaku juga?Jujur dari hati yang paling dalam, ada rasa takut jika nantinya putra atau putriku akan memiliki wajah yang sama dengan ayahnya. Aku tidak akan sekuat Mama. Sehebat mertuaku yang bisa membuat putranya jadi pri
Aku menggelengkan kepala tanda menolak. Sebentar lagi akan maghrib. Dan Mama pasti akan melarang kita keluar rumah di malam hari. Sebelum mendapatkan teguran, lebih baik aku diam mencari jalan aman."Terus, maunya ke mana?" Mas Raffi kembali bertanya."Ke kamar sajalah. Aku mau rebahan saja. Mau jadi istri yang pemalas," ujarku kemudian meninggalkan Mas Raffi.Kesal sekali aku dilarang ini itu oleh mertuaku. Jika seperti ini, aku bagaikan burung dalam sangkar emas. Terlihat indah, namun menyedihkan."Astaghfirullah ...," lirihku seraya mengusap wajah.Aku mengusir pikiran buruk yang bersarang. Aku harus ingat pesan Ibu. Apa pun yang dilakukan mertuaku, selama itu yang terbaik untukku, aku tidak boleh mengeluh. Bisa saja, kehidupan yang aku jalani ini adalah kehidupan yang diimpikan orang lain di luar sana."Mas Raffi, mana, ya?" ucapku saat tidak aku dapati suamiku itu berada di kamar. Sudah setengah jam aku mengurung diri, tapi Mas Raffi tidak datang menyusulku. Dia pun tidak menen
"Raihanum." Aku menyebut nama dari bayi perempuan yang sedang menggeliat di tempat tidurnya. Bibirku tersenyum manis menatap sepasang mata yang mulai melihat dunia. "Selamat pagi, Sayang ...." Aku mengusap pelan pipinya dengan jari telunjukku. Dia menggoyangkan kepalanya seolah merasa terganggu dengan sentuhan lembutku. Bibirnya bergerak seperti mengemut sesuatu. Dan aku semakin gemas melihat itu. "Hey, princess Papa sudah bangun ternyata?" Aku menoleh pada Mas Raffi yang baru saja datang, dan langsung menghampiriku. Bukan. Bukan aku yang dia datangi, melainkan putri kecilnya. "Sepertinya dia haus, Sayang," ujarnya lagi. "Iya. Dia cari sesuatu.""Kasihlah. Kasihan dia."Aku pun mengambil bayi perempuan berusia empat puluh hari itu. Kini, dia menggeliat dalam gendongan, lalu kepalanya ke kanan dan kiri mencari sarapan paginya. Aku membuka kancing piyamaku, kemudian memberikan asupan gizi untuk putriku tercinta. "Persiapan di bawah gimana, Mas?" Aku melihat pada Mas Raffi. "
"Sayang ... udah belum?" "Belum!" Aku berteriak menjawab pertanyaan Mas Raffi. Saat ini aku tengah mondar-mandir di kamar mandi seraya memegang testpack. Sudah lima belas menit aku di dalam sini, tapi benda kecil itu belum menyentuh urinku. Rasanya campur aduk antara takut tidak sesuai dengan ekspektasi, juga penasaran yang luar biasa. "Sayang, ayo, dong! Masa dari tadi belum terus!" Mas Raffi kembali berujar. "Iya, bentar, Mas!"Dengan tangan yang bergetar, aku memasukkan testpack ke dalam urin yang sudah aku tampung dalam wadah. Setelah beberapa detik menunggu, aku mengangkatnya dengan mata terpejam. Sebelah mata aku buka sedikit, mencari garis yang menjadi penentu aku hamil atau tidaknya. Samar-samar aku melihat garis itu, hingga akhirnya mata kubuka lebar-lebar untuk memastikan penglihatanku tidaklah salah. "Dua?" gumamku, kemudian bibir tersenyum. Aku menutup mulut dengan mata yang berkaca-kaca. Ini memang bukan kehamilan pertama, tapi rasanya masih sama seperti waktu tah
"Pagi, Sayang ...."Sepasang tangan melingkar di pinggang, disusul dengan kecupan kecil di pipi. Aku yang tengah berkutat dengan alat masak, membalas sapaan Mas Raffi dengan usapan pelan di lengannya. Hal seperti ini bukan terjadi sekarang, tapi setiap pagi datang. Sikap Mas Raffi selalu hangat dan tambah romantis sejak kami tinggal di rumah ini. Itu mengapa, aku memperkejakan asisten rumah tangga yang pulang pergi. Aku tidak ingin melewatkan keromantisan ini karena ada orang lain di istana kami. "Sudah aku siapkan teh di atas meja. Mas duduk, sebentar lagi gorengan yang aku buat akan matang," ujarku. "Emh ... enggak mau. Aku mau tetap meluk kamu sampai gorengan itu pindah ke meja makan." Mas Raffi berucap manja. "Nanti kamu kecipratan minyak, Mas.""Biarin. Jangankan minyak, percikan api asmara dari luar pun bisa aku padamkan demi kamu.""Hah, gimana-gimana?" Aku menoleh, mencari wajah Mas Raffi yang menyusup di tengkuk leherku. Dia tidak berani mengangkat kepala. Malah semaki
"Gini aja, deh, Fi. Daripada kamu jual perhiasan Raya, mendingan kamu pinjem uang aja dari Mama." Aku yang tadi sudah berpikiran buruk, merasa lebih tenang saat mendengar suara Mama. Ternyata yang masuk tadi bukan Reyhan, melainkan Mama dan Mas Raffi yang membahas perhiasan. Oh, ya ampun. Mas Raffi ketahuan Mama akan menjual perhiasan? Aku berjalan mendekati mereka yang berada di ruang tamu. Pandanganku mengarah pada Mas Raffi yang memberikan isyarat dengan menempelkan jari telunjuk di bibirnya. Aku mengangguk kecil, lalu meraih tangan Mama dan menciumnya. "Rayyan mana, Ra?" tanya Mama tanpa melepaskan tanganku. "Lagi main di ruang tengah, Mah.""Kalau gitu, kamu duduk di sini, Mama mau bicara dengan kalian."Aku dan Mas Raffi saling pandang, lalu aku pun duduk di samping Mama. Begitu pun Mas Raffi. Kami mengapit Mama yang berada di tengah-tengah. "Fi, Ra, kalian ini masih punya orang tua. Ada Mama dan Papa, yang masih bisa bantu kalian. Bukan Mama mau sombong, soal uang, insya
"Semalam aku kaget banget, loh saat Mas Bayu membekap mulutku. Aku kira itu Reyhan."Aku menyeruput jus alpukat seraya memperhatikan Rayyan yang bermain. "Tadi malam, saat aku menyuruh kamu tidur, emang sudah merasakan ketidakberesan di rumah kita. Yang kata aku melihat kucing di kosan, itu sebenarnya yang aku lihat emang manusia.""Kok, gak bilang ke aku?" tanyaku. Saat ini, aku dan Mas Raffi masih membahas kejadian semalam yang membuat tubuh ini bergetar ketakutan. Kami duduk lesehan di teras depan seraya mengasuh Rayyan yang bermain di halaman. "Aku tidak mau kamu takut, Ra. Makanya aku menyuruh kamu tidur cepat. Dan setelah kami tidur, aku langsung menelepon polisi untuk datang secara diam-diam. Dan Bayu juga.""Terus, saat aku bangun dan ke lantai bawah, kamu kan tidak ada. Itu ke mana?" Aku masih bertanya karena penasaran. "Aku di luar. Secara tidak langsung, aku menggiring Reyhan masuk ke kamar tamu lewat jendela. Dan Bayu, saat itu sudah ada di dalam rumah ini. Dia aku su
"Mas Bayu ngapain di sini?" tanyaku, saat dia melepaskan tangannya dari bibirku. "Aku diminta Raffi datang ke sini. Dan kamu tahu, yang ada di kamar itu siapa? Si Reyhan. Dia nyusup masuk ke rumahmu lewat jendela kamar yang tidak dikunci.""Apa?" Rasa terkejutku bertambah berkali lipat. Jika saja tadi aku masuk ke sana, habislah riwayatku. Reyhan pasti akan dengan mudah melakukan perbuatan jahatnya padaku. Suara gagang pintu yang diputar dari dalam kamar tamu, membuatku dan Bayu menoleh. Semakin lama, suara di sana semakin keras. Karena mungkin Reyhan sudah menyadari jika dia masuk perangkap. "Mas Raffi, mana?" tanyaku, karena tak kulihat keberadaan suamiku. "Dia di luar.""Sendirian?" tanyaku lagi. "Temenin, Mas. Aku takut Reyhan menyerang Mas Raffi. Dia belum pulih." Aku panik. Bayu hendak melangkah menjauh dariku, tapi dia urungkan saat ada bayangan yang berjalan mendekat ke arah kami. Tidak lama kemudian, lampu pun menyala membuat ruangan yang gelap menjadi terang. Aku lan
"Mas, kenapa liatin aku terus?" Mama dan Papa, serta semua kakak Mas Raffi sudah pergi beberapa menit yang lalu. Sekarang, tinggallah kami berdua, dan Rayyan yang sudah tidur. Hari memang sudah malam. Perabot pemberian kakak-kakak Mas Raffi pun, sudah disimpan ke tempat yang semestinya. Dibantu kakak dan kakak iparku tentunya. Saat ini, aku dan Mas Raffi tengah duduk berdua di lantai dua rumah kami. Aku dan dia sedang menikmati malam, melihat bintang dan bulan yang bersinar bersamaan. Gorden kaca sengaja dibuka agar langit terlihat jelas. Di depan kami, dua cangkir teh menjadi pelengkap kebersamaanku dengan Mas Raffi. "Malu, ih diliatin terus," kataku lagi, memalingkan wajah ke arah lampu hias berbentuk hati yang berada di sudut ruangan. Mas Raffi menyentuh daguku. Menariknya sangat pelan, agar tatapanku kembali padanya. "Karena aku kagum pada kecantikan istriku ini. Makanya, aku pandang terus.""Ih, gombal, deh," ujarku. Padahal dalam hati, aku bahagia mendapatkan pujian dari
"Saat di hotel waktu itu, sebenarnya Mbak percaya jika kamu tidak melakukan apa-apa dengan Reyhan. Kalau kamu selingkuh dengan Reyhan, untuk apa kamu meminta Mbak datang? Iya, kan?"Aku mengangguk saat Mbak Kinara menjeda ucapannya. Saat ini, hanya ada aku dan dia. Kami duduk berhadapan di meja makan, setelah tadi Mbak Nara memintaku bicara berdua. "Saat kamu pergi dari hotel itu, sebenarnya Mbak masih ada di sana. Mbak menemui Reyhan setelah melihatmu benar-benar keluar dan pergi. Aku meminta Reyhan mengatakan apa yang terjadi antara kami dengannya, versi dia. Meskipun aku tidak percaya pada Reyhan, tapi aku tetap mendengarkan dan merekam pengakuannya. Kamu tahu kenapa?" Mbak Kinara melempar tanya. Aku menggelengkan kepala. Aku tidak mau menduga-duga dan mengatakan yang tidak ada dalam pikiran."Aku cemburu padamu, Ra. Aku iri melihat kedekatan kamu dengan Mama, juga perhatian Mama pada Rayyan.""Ya Allah, Mbak ...." Aku menatap sendu pada Mbak Kinara yang menunduk. "Maafkan Mbak
"Ini untuk kami, Mah?" tanyaku pada Mama, yang tengah membereskan sayuran serta buah segar ke dalam kulkas. Tidak hanya itu, Mama juga membeli bermacam bumbu dapur, juga perlengkapan lainnya. "Iya, Ra. Kalau untuk Mama, tidak mungkin dikeluarkan dari mobil. Ini semua untuk kalian. Mama juga beli vitamin penambah nafsu makan untuk kamu. Tapi, Raffi enggak boleh minum vitamin ini, ya? Dia punya vitamin sendiri dari dokternya," ujar Mama. Aku mengiyakan. Meskipun malu karena keluar dari kamar dalam keadaan rambut yang basah, aku tetap menemui ibu mertua yang tengah berbenah di dapur. Sedangkan Mas Raffi, dia masih di kamar. Sedang berpakaian setelah pada akhir tadi kami mandi bersama. Untunglah, kedua mertuaku paham situasi. Dari mereka tidak ada yang mengetuk pintu kamar sejak kedatangannya. Keduanya kompak membawa bermain Rayyan agar tidak mencari keberadaan orang tuanya. Ck, malu ... aku malu. Tapi, mau gimana lagi? Semuanya gara-gara ... ah, masa iya aku harus menyalahkan Mas