"Selamat pagi, Ibu Hamil?" Sambutan yang hangat aku dapatkan saat baru saja tiba di ruang makan."Pagi, Mah," ucapku seraya menarik kursi, lalu duduk di depan Mama."Mau ke mana, sih? Pagi-pagi sekali kamu sudah turun? Jangan pergi-pergi, ah. Di rumah saja, ya?" "Enggak ke mana-mana, cuma ingin siapin makan saja untuk Mas Raffi," ucapku lagi.Ini adalah satu keharusan. Sebelum Mas Raffi turun, sarapan paginya sudah harus siap di piring. Serta air putih yang menjadi minumannya.Biasanya tidak seperti ini. Kita biasa turun bersama, dan makan bersama. Kadang, aku selalu disuapinya dan makan satu piring dengannya. Namun, tidak untuk sekarang. Dia menentang itu sampai bayiku ini lahir. Sungguh membuatku sesak. "Pagi, Mah. Pagi, Sayang!" seru Mas Raffi yang baru saja datang.Aku ingin mendongak, namun kutahan. Lebih baik menurut daripada nanti aku akan kena marahnya. "Tunggu, sepertinya ada yang salah dengan kalian." Mama melihatku dan Mas Raffi bergantian."Apa itu, Ma?" tanyaku.Wani
Mas Raffi terdiam. Tidak ada kata, tidak ada pergerakan darinya. Mungkinkah dia jatuh pingsan? Aku tidak peduli. Dia pun tidak mempedulikan perasaanku, kesehatan jiwaku, yang tidak baik-baik saja akibat ulahnya. Setiap hari, setiap saat aku selalu merutuki diri ini. Menyesali adanya benih dalam perutku. Rasanya, aku ingin menghilangkan kehamilan ini yang telah menyebabkan masalah datang dalam rumah tanggaku."Jangan bicara seperti itu, Raya. Sampai kapan pun, aku tidak akan mengijinkanmu pergi dan tinggal di sana tanpa aku. Aku di sini, itu artinya kamu pun harus tetap di sini," ujar Mas Raffi dengan suara tegasnya.Aku tidak mempedulikan dia. Dengan meraba-raba sekitar, aku bangun dan berjalan ke kamar mandi. Masa bodoh berapa kali kaki ini terbentur sofa dan lemari saat menuju pintu kamar mandi, aku terus berjalan. Setelah sampai, aku mengguyur tubuhku dengan air dingin. Air mataku mengalir semakin deras seiring air shower yang jatuh membasahi tubuhku."Raya! Jangan mandi malam-ma
"Astaghfirullahaladzim, astaghfirullahaladzim," ucapku seraya menjauhkan benda tajam itu dariku.Aku sangat terkejut saat tidak sengaja pisau itu melukai jariku hingga berdarah.Bi Marni yang melihatku, ia berseru kaget dan langsung menghampiriku. Ia menghentikan darah dengan menempelkan tisu pada luka yang tidak seberapa besar. "Mbak Raya, tidak apa-apa?" tanyanya dengan khawatir."Aku tidak apa-apa, Bi. Terima kasih," ucapku."Lho, Raya kenapa?" Mama datang dan langsung menghampiriku yang sudah berkeringat dingin karena melihat darah dari jari. Ini tidak begitu sakit, tapi mampu menyadarkanku, betapa bodohnya diri ini jika tadi aku sampai menancapkan pisau itu ke perut. Aku hampir dikuasai setan. Aku hampir hilang kendali. Namun, Allah masih menyelamatkanku dengan cara yang ringan dan sederhana."Ini, Bu, kena pisau," ujar Bi Marni menjawab pertanyaan Mama."Pisau? Siapa yang kena pisau?" Aku menoleh ke arah sumber suara. Ternyata Mas Raffi yang baru saja turun dari kamar. Ia su
Setelah perut terasa lebih baik, aku memutuskan untuk pergi memeriksakan kandungan ke rumah sakit. Aku takut terjadi apa-apa pada bayiku dan akan menyesal jika hanya diam tanpa melakukan apa-apa.Rencananya, pemeriksaan kedua ini aku ingin ditemani Mas Raffi, tapi karena ada kejadian pagi ini, membuatku harus pergi sendiri. Aku tidak mau menunggu Mas Raffi yang masih berada di kamar Mama. "Mau ke mana, Bu?" tanya Pak Tarmin saat aku menghampirinya."Ke rumah sakit, Pak.""Silahkan, masuk," ucap pria itu seraya membukakan pintu untukku.Pak Tarmin melajukan mobilnya membelah jalanan Ibu Kota. Kali ini perjalananku diiringi oleh rintik hujan yang menambah rasa pilu dalam dadaku. Sebenarnya aku rapuh, lemah, tapi aku harus berusaha kuat demi kehidupan yang ada di dalam perutku. Aku adalah calon ibu, aku harus tegar, supaya anakku menjadi anak yang kuat dan hebat. Meskipun, ujian datang silih berganti di kehamilan pertamaku, tapi aku yakin akan ada pelangi indah setelah ini."Ah, gimana
"Hay, apa kabar, Raya?" Mbak Cindy, wanita itu tersenyum manis padaku. Rasanya aku takut sekali melihat dia ada di sini. Takut jika rasa tidak sukanya padaku, masih melekat dalam hatinya."Kabar baik, Mbak," ucapku dengan tercekat.Aku menghampiri keluarga kecil itu dan ikut duduk berkumpul bersama mereka. Namun, mataku menelisik mencari tuan rumah. Tidak aku dapati Mama di ruangan ini."Kapan datang?" tanyaku berbasa-basi."Baru saja. Kamu dari mana?" "Aku dari rumah sakit, lebih tepatnya habis ketemu Mbak Kinanti. Oh, iya, Mama ke mana?" Aku kembali bertanya. "Kami tidak tahu. Saat kami pulang pun, rumah sudah sepi seperti ini. Hanya ada Bibi, itu pun dia tidak tahu ke mana perginya Mama. Aku telepon juga, tidak diangkat." Mas Raffa menjelaskan.Aku memindai penampilan Mbak Cindy yang sangat jauh berbeda dari penampilan dia sebelum pergi ke pesantren. Kini dia lebih tertutup dengan memakai pakaian syar'i yang membalut tubuh indahnya.Harapanku, bukan hanya penampilan dia yang ber
Mama menjelaskan jika tadi dia dan Mas Raffi pergi untuk mencariku. Mereka panik saat tahu jika aku tidak ada di kamar. Kata Mama, tadi mereka sempat berpikir jika aku kabur dan pulang ke kampung. "Maafkan aku, ya. Seharusnya aku tidak melakukan hal itu. Secara tidak langsung, aku sudah membuat bayiku tidak baik-baik saja. Aku sudah menyakiti kalian dengan sikapku."Mas Raffi menyentuh dan mengusap perutku. Aku hanya diam melihat wajah dia yang aku rindukan. "Kamu masih marah?" tanya Mas Raffi lagi menatapku dengan lekat.Aku menggeleng. Tanganku terulur mengusap pipinya yang hitam. "Jangan lakukan itu lagi, Mas.""Tidak akan. Itu yang terakhir. Aku tidak peduli bagaimanapun keadaan anakku nanti, yang jelas aku tidak mau kehilangan kalian. Maafkan aku yang bodoh ini," ujarnya menatapku lekat.Aku hanya mengangguk dan tersenyum. Kusandarkan kepalaku di dadanya, menikmati degup jantungnya yang terdengar jelas di telingaku.Melihatku dan Mas Raffi yang sudah kembali baik-baik saja, Ma
LIMA BULAN KEMUDIAN"Memang beda kalau jadi orang kaya. Tujuh bulanan saja seperti nikahan. Pake dekor, ada katering. Dikasih bingkisan, pula."Aku tertawa kecil melihat Mimi yang melihat takjub acara tujuh bulanan yang aku gelar. Dia sampai menggeleng-gelengkan kepala seraya berdecak kagum. Seperti yang sudah-sudah, Mimi datang pasti dengan Ibu. Mereka dijemput satu hari sebelum acara tujuh bulananku. "Ra, kamu bosan tidak, jadi orang kaya?" Aku mengerutkan kening saat pertanyaan itu Mimi lontarkan. "Tidak, Mi. Kenapa nanya gitu?" ujarku seraya mengusap perut yang membuncit."Kalau kamu bosan, rencananya aku mau gantiin kamu. Enggak apa-apa bekasan, asal hidup enak."Tentu saja Mimi aku hadiahi cubitan di lengan kanannya sambil melotot ke arah dia."Kamu doain aku mati?" tanyaku tanpa melepaskan tangan darinya. "T–tidak, Ra. Ampun ampun, aduh ibu hamil bengal banget, ya? Dibecandain gitu aja langsung melotot." Mimi merengut sambil tangan mengusap lengannya yang aku cubit.Tidak
DUA BULAN KEMUDIAN"Sayang, kalau nanti bayi ini sudah lahir, dan badan aku tidak kembali ke semula, gimana?" Sambil merengut di depan cermin, aku bertanya hal yang begitu sensitif. Pasalnya, jika melihat tubuhku sekarang dan tubuhku sewaktu belum hamil, sangat jauh berbeda. Aku semakin gendut dengan perut yang membuncit.Mas Raffi yang tengah bergelut dengan laptopnya, seketika langsung mengalihkan perhatiannya padaku. Kedua tangannya menyusup mengusap perutku dari belakang."Sayang, apa pernah aku meminta kamu untuk berdandan biar cantik?" tanyanya dengan dagu di pundakku.Aku menggelengkan kepala. Karena itu tidak pernah dia lakukan. Mas Raffi tidak pernah protes meskipun aku tidak menyisir rambut sekalipun. "Itu yang akan aku lakukan jika tubuh kamu tetap seperti ini. Aku akan menikmati apa pun yang aku miliki. Termasuk, seorang istri. Malu sekali aku ini, bila meminta lebih darimu. Kamu saja tidak pernah memintaku menghapus noda hitam di wajahku, lalu kenapa aku harus meminta k