Di dalam kamar, aku terus bercermin seraya mengusap-usap perutku yang masih rata. Sungguh, aku tidak menyangka jika ada kehidupan di dalam sana. Aku juga tidak mengira akan diberikan kebahagiaan ini dengan begitu cepat. Seperti orang gila, aku terus senyam-senyum sendiri seraya mengangkat kaus yang aku pakai, memperhatikan perut yang belum menunjukkan ada bayi di dalam sana.Setelah puas bercermin, aku mengambil ponsel, mencari kontak dengan nama 'Mbak Kinanti'. Setelah dapat, aku langsung menghubunginya."Assalamualaikum." Suara dari seberang sana."Waalaikumsalam, Mbak. Mbak Kinan, ini Raya. Hari ini Mbak sibuk, gak?" tanyaku kepada kakak perempuan suamiku itu. "Hai, Ra. Emm ... enggak, sih. Biasa saja. Memangnya kenapa?" "Tidak ada apa-apa, mau ketemu saja. Aku mau konsultasi. Kira-kira, bisa tidak, ya?"Mbak Kinanti diam sejenak. Sepertinya ia tengah sarapan. Terdengar dia seperti tengah mengunyah sesuatu. "Bisa, Ra. Kalau mau cepat, kamu datang saja sekarang ke rumah sakit. M
Aku pun mulai mengatakan maksud kedatanganku ke sini. Yang pastinya, Mbak Kinan turut bahagia saat aku mengatakan kalau ada dua garis merah saat melakukan tes pagi tadi. Untuk meyakinkan kalau aku benar-benar hamil, Mbak Kinan menyuruhku untuk melakukan USG. Aku pun mengiyakan. Karena memang aku tidak paham persoalan seperti ini, aku menurut saja apa yang dikatakan kakak Iparku itu. Dan hasilnya, sungguh mengejutkan. Ternyata aku sudah mengandung empat minggu. "Ini belum kelihatan jelas, ya, Ra. Masih kecil banget. Tapi, alhamdulillah sehat. Selamat, Raya," ujar Mbak Kinan dengan wajah berbinarnya. Aku hanya bisa menutup mulut menahan tawa dan air mata saat melihat layar yang menampilkan sebuah janin di dalam perutku. Sungguh ajaib. Hanya dengan cairan jel dan benda yang ditempelkan ke permukaan perut, aku bisa melihat penampakan di dalam perutku. "Aku masih belum percaya, Mbak. Aku seneng banget." "Raffi, sudah tahu?" Aku menggelengkan kepala."Kenapa?" tanya Mbak Kinanti lagi.
"Ya Allah, Mas Raffi!!"Aku menutup mulut dengan mata yang membulat sempurna.Pria yang kupanggil namanya dengan keras, langsung menatapku dan menghampiriku. Ia melepaskan barang yang ada di tangannya, beralih memegang kedua pipiku, kemudian memelukku dengan begitu hangat."Kejutanmu membuatku teramat sangat bahagia, Ra. Aku mencintaimu, sangat. Kita akan punya anak," ujarnya berbisik. Namun, aku masih bergeming. Menatap menyaksikan apa yang di depan mata saat ini, membuatku benar-benar tidak menyangka jika Mas Raffi akan menyambut kabar baik dariku dengan seheboh ini. "Mas.""Apa, Sayang?" jawabnya masih memelukku. Mencium pucuk kepalaku berkali-kali."Ini apa-apaan?" kataku membuat dia melepaskan pelukan.Tangan Mas Raffi memeluk pundakku. Berdiri sejajar melihat barang-barang yang diturunkan Pak Tarmin."Ini untuk anakku, bayi kita," ujarnya dengan begitu yakin.Aku dan Bi Marni saling pandang. Rasanya dadaku benar-benar sesak. Bukan ini yang aku inginkan. Mas Raffi, membawa per
Drama rujak sudah selesai, perutku terasa kenyang dan pikiranku kembali segar. Aku mengambil ponsel, kemudian memotret perlengkapan bayi serta rujak yang hanya tinggal bumbunya saja. Setelah itu, aku mengunggahnya ke dalam story WhatsApp.Tidak lama kemudian, ponselku terus berbunyi menandakan ada pesan yang masuk. Aku membukanya, membaca satu per satu pesan yang datang dari ipar-iparku.[Aduh, yang hamil baru empat minggu saja, sudah beli perlengkapan bayi. Mana motif cowok, lagi. Kalau anaknya cewek gimana?] Pesan dari Mbak Kinanti yang pertama aku baca.[Itu perbuatan adikmu, Mbak. Bikin bete,] balasku dengan emoticon kesal.Selanjutnya, aku membaca pesan dari Mbak Kinara yang baru tahu jika aku tengah hamil. Kata selamat, dan doa dia berikan padaku. Beda dengan kedua kakaknya Mas Raffi, Mbak Syahida justru memberikan pesan penting padaku, mengenai Mama.[Selamat adikku atas kehamilannya. Ra, jangan aneh lagi, ya kalau Mama tiba-tiba protektif dan segala mengatur ruang gerakmu. It
"Pak Tarmin, mau ke mana?" Saat pulang dari rumah tetangga, kulihat Pak Tarmin bersiap untuk pergi dengan mobilnya."Disuruh Ibu buat jemput ke Yayasan," jawabnya seraya menurunkan kaca mobil."Oh, yasudah hati-hati di jalan, Pak Tarmin."Pria paruh baya itu mengangguk hormat seraya melajukan mobilnya keluar dari halaman. Aku melanjutkan langkahku hingga akhirnya berhenti saat melihat seorang pria tengah berdiri menatapku di atas balkon."Dari mana?" tanyanya. Mas Raffi membungkuk dengan kedua sikut ia tempelkan pada railing balkon."Dari rumah tetangga, habis main," ucapku dengan kepala mengadah ke atas. Melihat pria si pemilik dua wajah. Melihat Mas Raffi, senyumku memudar kala teringat ucapan adiknya Mbak Lani tadi. Mungkinkah jika apa yang dia katakan akan menimpaku juga?Jujur dari hati yang paling dalam, ada rasa takut jika nantinya putra atau putriku akan memiliki wajah yang sama dengan ayahnya. Aku tidak akan sekuat Mama. Sehebat mertuaku yang bisa membuat putranya jadi pri
Aku menggelengkan kepala tanda menolak. Sebentar lagi akan maghrib. Dan Mama pasti akan melarang kita keluar rumah di malam hari. Sebelum mendapatkan teguran, lebih baik aku diam mencari jalan aman."Terus, maunya ke mana?" Mas Raffi kembali bertanya."Ke kamar sajalah. Aku mau rebahan saja. Mau jadi istri yang pemalas," ujarku kemudian meninggalkan Mas Raffi.Kesal sekali aku dilarang ini itu oleh mertuaku. Jika seperti ini, aku bagaikan burung dalam sangkar emas. Terlihat indah, namun menyedihkan."Astaghfirullah ...," lirihku seraya mengusap wajah.Aku mengusir pikiran buruk yang bersarang. Aku harus ingat pesan Ibu. Apa pun yang dilakukan mertuaku, selama itu yang terbaik untukku, aku tidak boleh mengeluh. Bisa saja, kehidupan yang aku jalani ini adalah kehidupan yang diimpikan orang lain di luar sana."Mas Raffi, mana, ya?" ucapku saat tidak aku dapati suamiku itu berada di kamar. Sudah setengah jam aku mengurung diri, tapi Mas Raffi tidak datang menyusulku. Dia pun tidak menen
"Selamat pagi, Ibu Hamil?" Sambutan yang hangat aku dapatkan saat baru saja tiba di ruang makan."Pagi, Mah," ucapku seraya menarik kursi, lalu duduk di depan Mama."Mau ke mana, sih? Pagi-pagi sekali kamu sudah turun? Jangan pergi-pergi, ah. Di rumah saja, ya?" "Enggak ke mana-mana, cuma ingin siapin makan saja untuk Mas Raffi," ucapku lagi.Ini adalah satu keharusan. Sebelum Mas Raffi turun, sarapan paginya sudah harus siap di piring. Serta air putih yang menjadi minumannya.Biasanya tidak seperti ini. Kita biasa turun bersama, dan makan bersama. Kadang, aku selalu disuapinya dan makan satu piring dengannya. Namun, tidak untuk sekarang. Dia menentang itu sampai bayiku ini lahir. Sungguh membuatku sesak. "Pagi, Mah. Pagi, Sayang!" seru Mas Raffi yang baru saja datang.Aku ingin mendongak, namun kutahan. Lebih baik menurut daripada nanti aku akan kena marahnya. "Tunggu, sepertinya ada yang salah dengan kalian." Mama melihatku dan Mas Raffi bergantian."Apa itu, Ma?" tanyaku.Wani
Mas Raffi terdiam. Tidak ada kata, tidak ada pergerakan darinya. Mungkinkah dia jatuh pingsan? Aku tidak peduli. Dia pun tidak mempedulikan perasaanku, kesehatan jiwaku, yang tidak baik-baik saja akibat ulahnya. Setiap hari, setiap saat aku selalu merutuki diri ini. Menyesali adanya benih dalam perutku. Rasanya, aku ingin menghilangkan kehamilan ini yang telah menyebabkan masalah datang dalam rumah tanggaku."Jangan bicara seperti itu, Raya. Sampai kapan pun, aku tidak akan mengijinkanmu pergi dan tinggal di sana tanpa aku. Aku di sini, itu artinya kamu pun harus tetap di sini," ujar Mas Raffi dengan suara tegasnya.Aku tidak mempedulikan dia. Dengan meraba-raba sekitar, aku bangun dan berjalan ke kamar mandi. Masa bodoh berapa kali kaki ini terbentur sofa dan lemari saat menuju pintu kamar mandi, aku terus berjalan. Setelah sampai, aku mengguyur tubuhku dengan air dingin. Air mataku mengalir semakin deras seiring air shower yang jatuh membasahi tubuhku."Raya! Jangan mandi malam-ma