"Pak Tarmin, mau ke mana?" Saat pulang dari rumah tetangga, kulihat Pak Tarmin bersiap untuk pergi dengan mobilnya."Disuruh Ibu buat jemput ke Yayasan," jawabnya seraya menurunkan kaca mobil."Oh, yasudah hati-hati di jalan, Pak Tarmin."Pria paruh baya itu mengangguk hormat seraya melajukan mobilnya keluar dari halaman. Aku melanjutkan langkahku hingga akhirnya berhenti saat melihat seorang pria tengah berdiri menatapku di atas balkon."Dari mana?" tanyanya. Mas Raffi membungkuk dengan kedua sikut ia tempelkan pada railing balkon."Dari rumah tetangga, habis main," ucapku dengan kepala mengadah ke atas. Melihat pria si pemilik dua wajah. Melihat Mas Raffi, senyumku memudar kala teringat ucapan adiknya Mbak Lani tadi. Mungkinkah jika apa yang dia katakan akan menimpaku juga?Jujur dari hati yang paling dalam, ada rasa takut jika nantinya putra atau putriku akan memiliki wajah yang sama dengan ayahnya. Aku tidak akan sekuat Mama. Sehebat mertuaku yang bisa membuat putranya jadi pri
Aku menggelengkan kepala tanda menolak. Sebentar lagi akan maghrib. Dan Mama pasti akan melarang kita keluar rumah di malam hari. Sebelum mendapatkan teguran, lebih baik aku diam mencari jalan aman."Terus, maunya ke mana?" Mas Raffi kembali bertanya."Ke kamar sajalah. Aku mau rebahan saja. Mau jadi istri yang pemalas," ujarku kemudian meninggalkan Mas Raffi.Kesal sekali aku dilarang ini itu oleh mertuaku. Jika seperti ini, aku bagaikan burung dalam sangkar emas. Terlihat indah, namun menyedihkan."Astaghfirullah ...," lirihku seraya mengusap wajah.Aku mengusir pikiran buruk yang bersarang. Aku harus ingat pesan Ibu. Apa pun yang dilakukan mertuaku, selama itu yang terbaik untukku, aku tidak boleh mengeluh. Bisa saja, kehidupan yang aku jalani ini adalah kehidupan yang diimpikan orang lain di luar sana."Mas Raffi, mana, ya?" ucapku saat tidak aku dapati suamiku itu berada di kamar. Sudah setengah jam aku mengurung diri, tapi Mas Raffi tidak datang menyusulku. Dia pun tidak menen
"Selamat pagi, Ibu Hamil?" Sambutan yang hangat aku dapatkan saat baru saja tiba di ruang makan."Pagi, Mah," ucapku seraya menarik kursi, lalu duduk di depan Mama."Mau ke mana, sih? Pagi-pagi sekali kamu sudah turun? Jangan pergi-pergi, ah. Di rumah saja, ya?" "Enggak ke mana-mana, cuma ingin siapin makan saja untuk Mas Raffi," ucapku lagi.Ini adalah satu keharusan. Sebelum Mas Raffi turun, sarapan paginya sudah harus siap di piring. Serta air putih yang menjadi minumannya.Biasanya tidak seperti ini. Kita biasa turun bersama, dan makan bersama. Kadang, aku selalu disuapinya dan makan satu piring dengannya. Namun, tidak untuk sekarang. Dia menentang itu sampai bayiku ini lahir. Sungguh membuatku sesak. "Pagi, Mah. Pagi, Sayang!" seru Mas Raffi yang baru saja datang.Aku ingin mendongak, namun kutahan. Lebih baik menurut daripada nanti aku akan kena marahnya. "Tunggu, sepertinya ada yang salah dengan kalian." Mama melihatku dan Mas Raffi bergantian."Apa itu, Ma?" tanyaku.Wani
Mas Raffi terdiam. Tidak ada kata, tidak ada pergerakan darinya. Mungkinkah dia jatuh pingsan? Aku tidak peduli. Dia pun tidak mempedulikan perasaanku, kesehatan jiwaku, yang tidak baik-baik saja akibat ulahnya. Setiap hari, setiap saat aku selalu merutuki diri ini. Menyesali adanya benih dalam perutku. Rasanya, aku ingin menghilangkan kehamilan ini yang telah menyebabkan masalah datang dalam rumah tanggaku."Jangan bicara seperti itu, Raya. Sampai kapan pun, aku tidak akan mengijinkanmu pergi dan tinggal di sana tanpa aku. Aku di sini, itu artinya kamu pun harus tetap di sini," ujar Mas Raffi dengan suara tegasnya.Aku tidak mempedulikan dia. Dengan meraba-raba sekitar, aku bangun dan berjalan ke kamar mandi. Masa bodoh berapa kali kaki ini terbentur sofa dan lemari saat menuju pintu kamar mandi, aku terus berjalan. Setelah sampai, aku mengguyur tubuhku dengan air dingin. Air mataku mengalir semakin deras seiring air shower yang jatuh membasahi tubuhku."Raya! Jangan mandi malam-ma
"Astaghfirullahaladzim, astaghfirullahaladzim," ucapku seraya menjauhkan benda tajam itu dariku.Aku sangat terkejut saat tidak sengaja pisau itu melukai jariku hingga berdarah.Bi Marni yang melihatku, ia berseru kaget dan langsung menghampiriku. Ia menghentikan darah dengan menempelkan tisu pada luka yang tidak seberapa besar. "Mbak Raya, tidak apa-apa?" tanyanya dengan khawatir."Aku tidak apa-apa, Bi. Terima kasih," ucapku."Lho, Raya kenapa?" Mama datang dan langsung menghampiriku yang sudah berkeringat dingin karena melihat darah dari jari. Ini tidak begitu sakit, tapi mampu menyadarkanku, betapa bodohnya diri ini jika tadi aku sampai menancapkan pisau itu ke perut. Aku hampir dikuasai setan. Aku hampir hilang kendali. Namun, Allah masih menyelamatkanku dengan cara yang ringan dan sederhana."Ini, Bu, kena pisau," ujar Bi Marni menjawab pertanyaan Mama."Pisau? Siapa yang kena pisau?" Aku menoleh ke arah sumber suara. Ternyata Mas Raffi yang baru saja turun dari kamar. Ia su
Setelah perut terasa lebih baik, aku memutuskan untuk pergi memeriksakan kandungan ke rumah sakit. Aku takut terjadi apa-apa pada bayiku dan akan menyesal jika hanya diam tanpa melakukan apa-apa.Rencananya, pemeriksaan kedua ini aku ingin ditemani Mas Raffi, tapi karena ada kejadian pagi ini, membuatku harus pergi sendiri. Aku tidak mau menunggu Mas Raffi yang masih berada di kamar Mama. "Mau ke mana, Bu?" tanya Pak Tarmin saat aku menghampirinya."Ke rumah sakit, Pak.""Silahkan, masuk," ucap pria itu seraya membukakan pintu untukku.Pak Tarmin melajukan mobilnya membelah jalanan Ibu Kota. Kali ini perjalananku diiringi oleh rintik hujan yang menambah rasa pilu dalam dadaku. Sebenarnya aku rapuh, lemah, tapi aku harus berusaha kuat demi kehidupan yang ada di dalam perutku. Aku adalah calon ibu, aku harus tegar, supaya anakku menjadi anak yang kuat dan hebat. Meskipun, ujian datang silih berganti di kehamilan pertamaku, tapi aku yakin akan ada pelangi indah setelah ini."Ah, gimana
"Hay, apa kabar, Raya?" Mbak Cindy, wanita itu tersenyum manis padaku. Rasanya aku takut sekali melihat dia ada di sini. Takut jika rasa tidak sukanya padaku, masih melekat dalam hatinya."Kabar baik, Mbak," ucapku dengan tercekat.Aku menghampiri keluarga kecil itu dan ikut duduk berkumpul bersama mereka. Namun, mataku menelisik mencari tuan rumah. Tidak aku dapati Mama di ruangan ini."Kapan datang?" tanyaku berbasa-basi."Baru saja. Kamu dari mana?" "Aku dari rumah sakit, lebih tepatnya habis ketemu Mbak Kinanti. Oh, iya, Mama ke mana?" Aku kembali bertanya. "Kami tidak tahu. Saat kami pulang pun, rumah sudah sepi seperti ini. Hanya ada Bibi, itu pun dia tidak tahu ke mana perginya Mama. Aku telepon juga, tidak diangkat." Mas Raffa menjelaskan.Aku memindai penampilan Mbak Cindy yang sangat jauh berbeda dari penampilan dia sebelum pergi ke pesantren. Kini dia lebih tertutup dengan memakai pakaian syar'i yang membalut tubuh indahnya.Harapanku, bukan hanya penampilan dia yang ber
Mama menjelaskan jika tadi dia dan Mas Raffi pergi untuk mencariku. Mereka panik saat tahu jika aku tidak ada di kamar. Kata Mama, tadi mereka sempat berpikir jika aku kabur dan pulang ke kampung. "Maafkan aku, ya. Seharusnya aku tidak melakukan hal itu. Secara tidak langsung, aku sudah membuat bayiku tidak baik-baik saja. Aku sudah menyakiti kalian dengan sikapku."Mas Raffi menyentuh dan mengusap perutku. Aku hanya diam melihat wajah dia yang aku rindukan. "Kamu masih marah?" tanya Mas Raffi lagi menatapku dengan lekat.Aku menggeleng. Tanganku terulur mengusap pipinya yang hitam. "Jangan lakukan itu lagi, Mas.""Tidak akan. Itu yang terakhir. Aku tidak peduli bagaimanapun keadaan anakku nanti, yang jelas aku tidak mau kehilangan kalian. Maafkan aku yang bodoh ini," ujarnya menatapku lekat.Aku hanya mengangguk dan tersenyum. Kusandarkan kepalaku di dadanya, menikmati degup jantungnya yang terdengar jelas di telingaku.Melihatku dan Mas Raffi yang sudah kembali baik-baik saja, Ma