"Hati-hati, ya, Mi? Ingat, jangan macam-macam kalau nanti sudah di kampung.""Siap, Ra. Kamu juga hati-hati di sini, ya? Dan makasih buat hadiah pernikahan yang belum terjadi," ujar Mimi sebelum masuk ke dalam taksi online yang aku pesankan untuknya."Harus jadi. Pernikahan kamu dan Yudis harus terjadi. Oke?"Temanku itu mengangguk, lalu masuk dan menutup pintu mobil. Aku melambaikan tangan sebagai tanda perpisahan, dan mobil pun melaju menjauhiku. "Yah ... Tante Mimi-nya sudah pulang, deh. Sekarang kita masuk, yuk!" kataku, pada Rayyan yang sedari tadi di sampingku.Saat akan masuk ke rumah, Mas Raffi keluar dengan kunci mobil di tangannya. Seketika Rayyan langsung merengek minta ikut pada ayahnya yang akan pergi bekerja. "Papa mau kerja, Nak. Rayyan main dulu sama Bunda di sini, ya?" ujar Mas Raffi membujuk.Namun, putraku malah semakin merengek dan sekarang menangis seraya memeluk kaki ayahnya. "Astagfirullah ... kok, malah nangis? Ra, ambil Rayyan dan bawa ke dalam," titah Mas
"Ada yang lucu?" tanyaku seraya menatapnya. "Enggak, enggak ada yang lucu, kok. Maaf. Warung kopi juga bagus, kok. Sama-sama usaha, kan?" Reyhan berujar ragu-ragu. Dia takut menyinggungku, padahal aku sama sekali tidak tersinggung. "Terus gimana? Mau bantuin, gak?" "Mau. Tenang saja, nanti aku akan cari tempat yang bagus dan strategis untuk warung kopinya. Eh, kafe maksudku," ujar Reyhan dengan sisa tawa di bibirnya. Ah, seandainya saja Mas Raffi semenyenangkan Reyhan, mungkin sekarang ini aku berdiskusi dengan dia, bukan dengan orang lain yang menjelma seperti malaikat penolong. Namun, sayangnya suamiku lebih sibuk dengan dunianya dan tidak sama sekali memberikanku kesempatan untuk mengembangkan diri di bidang usaha. Bekerja pun harus di bawah naungan Mama. Beberapa saat perjalanan, kami sampai di tempat tujuan. Kali ini tempat bermain yang menyatu dengan toko mainan itu terlihat penuh. Aku sampai ragu untuk masuk karena tidak nyaman berada satu tempat dengan orang banyak. "K
"Oh, Tante Rianti akan pulang dari luar kota?" Aku menganggukkan kepala. Mama mengirimkan pesan yang memberitahukan akan segera tiba di rumah. Makanya, aku meminta Reyhan untuk putar balik dan pulang ke rumah sebelum kedua mertuaku tiba duluan di sana. Bukan takut akan dimarahi Mama, aku hanya tidak ingin mereka mencurigaiku, menganggap aku dan Reyhan ada apa-apa karena datang bersama. Bagaimanapun, ada hati yang harus aku jaga. "Beneran putar balik, nih?" Reyhan bertanya saat laju mobil berhenti. "Iya, Rey. Makan siangnya lain waktu saja," kataku yakin. Reyhan tidak lagi bicara. Dia menuruti mauku yang meminta pulang padahal belum sampai ke tempat tujuan.Beberapa saat perjalanan, kami sampai di depan rumah, dana ku segera turun dari kendaraan Reyhan. Tanpa basa-basi lagi, aku langsung masuk setelah mengucapkan terima kasih pada Reyhan. "Bibi, Mama akan pulang sekarang!" Aku berteriak memanggil asisten rumah tangga seraya berjalan ke ruang tengah. "Bibi sudah tahu, Mbak. In
"Sekarang mah sudah kebukti, ya? Aduh, gak kebayang jika foto itu tersebar dan dilihat keluarga si pria. Pasti sakit hati dan kecewa sekali, y?" timpal yang lainnya. Entah gambar apa yang mereka lihat, dan entah siapa yang jadi pembahasan, tapi perasaanku tiba-tiba tak enak. Mungkinkah mereka membicarakan aku? Ah, kurasa tidak. Aku pun jarang sekali bertegur sapa dengan ibu-ibu di perumahan ini. Bukan jarang lagi, nyaris tidak pernah. Apalagi kumpul-kumpul di warung sambil bergibah ria. Itu hal yang tidak penting bagiku. "Assalamualaikum," ucapku kemudian, membuat semua mata ibu-ibu tertuju padaku. Ponsel yang jadi pusat perhatian, langsung diambil oleh siempunya. Aku yang datang karena butuh sesuatu, langsung mengatakan maksud dan tujuanku. Mirisnya, salamku tidak dijawab oleh mereka semua. "Apalagi, Neng?" tanya pemilik warung. "Sudah, Bu, itu saja," kataku seraya memberikan satu lembar uang pecahan lima puluh ribu. "Kembaliannya enggak mau dijajanin aja, Neng?" Pemilik wa
"Aduuuh .... Si paling sibuk, si paling kerja keras, baru pulang, nih!" Mas Daffa berseru. Aku yang baru saja keluar dari kamar Rayyan, langsung tahu pada siapa kakak iparku itu berucap. Mas Raffi. Suamiku baru saja sampai dan langsung diledeki oleh saudara-saudaranya. "Aku ambilkan minum, ya, Mas?" kataku, seraya mengusap pundaknya sebentar. Lalu aku pergi ke dapur walaupun yang ditawari tidak menjawab. Satu minuman kaleng dingin aku bawa untuk Mas Raffi. Aku langsung memberikannya, lalu duduk di samping dia. Tidak ada kata yang keluar dari bibirku untuk Mas Raffi. Dia pun demikian. Kami masih sama-sama saling tidak menyapa, gara-gara masalah aku yang membelanjakan Mimi. "Gimana perkembangan pembangunan kos-kosan, Fi?" Kakak tertua Mas Raffi kembali bicara. "Yah, gitu aja, Mas. Masih banyak butuh segalanya.""Butuh segalanya gimana? Perasaan jawabannya gitu-gitu aja. Apa jangan-jangan sudah selesai, tapi kamu masih merahasiakannya?" "Enggak, Mas. Emang belum selesai," jawab
"Buka usaha apa?" Mas Raffi bertanya seraya mengerutkan kening. "Apa aja, Mas," jawabku, "kan, sekarang Mama sudah pulang, otomatis Rayyan pasti nempel lagi sama Mama. Dan ... aku akan kesepian.""Kenapa gak kerja lagi di restoran Mama?" Mas Raffi kembali bertanya. Wajahnya masih sama. Seperti keberatan dengan rencanaku. Dan itu membuatku meneguk ludah secara kasar. Demi Tuhan aku deg-degan. "Aku ingin mandiri, Mas. Aku malu jika semua ada campur tangan Mama. Aku merasa rendah diri di depan saudara-saudara kita yang punya usaha dan karir. Aku juga mau seperti mereka, Mas. Meskipun hanya sebagai penjual gorengan, aku tak apa, kok. Yang penting usaha sendiri." Akhirnya aku menjelaskan. Mas Raffi yang duduk di sebelahku, ia tidak bicara. Tangannya mengusap wajah, lalu pandangannya lurus ke depan. Aku tidak tahu apa yang ada dalam pikiran dia saat ini, aku tidak bisa menebaknya. "Mas ...." Tangannya aku pegang, tapi Mas Raffi masih bergeming. Kamar ini menjadi hening. Suamiku masi
"Pah, Raya ...."Demi Tuhan, tenggorokanku terasa tercekat, tak mampu berucap dengan sempurna ketika melihat wajah Mama yang datar tanpa ekspresi. Sedangkan suamiku, pria itu hanya duduk dengan pandangan lurus ke depan, tidak sama sekali membantuku menjawab pertanyaan Papa. "Mau buat usaha apa?" tanya Papa lagi. Aku berdehem. Kemudian menegakkan tubuh yang tegang ini. "Belum pasti, Pah. Pengennya, sih masih seputar kuliner. Kalau tidak kafe, ya toko kue, mungkin." Akhirnya aku menjawab. Mataku memindai wajah Mas Raffi dan Mama. Mereka sama-sama tanpa ekspresi, seperti tidak yakin dengan kemampuanku. Beda lagi dengan Papa yang memberikan respon baik, bahkan mendukung apa pun usaha yang aku geluti nantinya. "Papa tidak akan menghalangi keinginan kamu, Papa juga tidak akan menyuruh kamu untuk tidak menjadi diri kamu. Kalau kamu suka dan ingin berbisnis, ya silahkan. Raffi pun mendukung, kan?"Aku mengangguk mendengar ucapan Papa. "Tapi ... Raya harus tahu, nih. Jika Raya ini buka
Entah berapa lama aku menangis, dan entah berapa kali juga Mas Raffi mencium pucuk kepalaku dalam dekapan hangatnya. Ini yang aku mau. Berada dalam pelukannya seperti awal kami menikah. Namun, suasananya berbeda. Kami tidak berada dalam kebahagiaan, tapi malah dalam kesedihan karena aku menuntutnya tidak berubah. "Berhenti menangis, Ra. Aku minta maaf jika sikapku membuatmu terluka," ujar Mas Raffi lagi. "Percayalah, aku seperti ini karena lelah bekerja, bukan karena ada yang lain."Aku tidak menjawab. Aku memilih menikmati harum parfum Mas Raffi yang aku rindukan. "Lihat sini." Mas Raffi mengangkat wajahku, lalu mengusap kedua pipiku yang basah. Tatapan matanya masih sama, tapi kenapa sikapnya berbeda? Dia suamiku, tapi terasa asing di mataku. "Mas ....""Apa?" tanyanya. "Pekerjaan mana yang membuatmu jadi suami yang dingin untukku? Aku ingin membantumu bekerja, Mas. Aku ingin mengurangi rasa lelahmu.""Sssttt .... Pekerjaanku tidak cocok untukmu. Kamu lakukan apa saja yang m