"Aduuuh .... Si paling sibuk, si paling kerja keras, baru pulang, nih!" Mas Daffa berseru. Aku yang baru saja keluar dari kamar Rayyan, langsung tahu pada siapa kakak iparku itu berucap. Mas Raffi. Suamiku baru saja sampai dan langsung diledeki oleh saudara-saudaranya. "Aku ambilkan minum, ya, Mas?" kataku, seraya mengusap pundaknya sebentar. Lalu aku pergi ke dapur walaupun yang ditawari tidak menjawab. Satu minuman kaleng dingin aku bawa untuk Mas Raffi. Aku langsung memberikannya, lalu duduk di samping dia. Tidak ada kata yang keluar dari bibirku untuk Mas Raffi. Dia pun demikian. Kami masih sama-sama saling tidak menyapa, gara-gara masalah aku yang membelanjakan Mimi. "Gimana perkembangan pembangunan kos-kosan, Fi?" Kakak tertua Mas Raffi kembali bicara. "Yah, gitu aja, Mas. Masih banyak butuh segalanya.""Butuh segalanya gimana? Perasaan jawabannya gitu-gitu aja. Apa jangan-jangan sudah selesai, tapi kamu masih merahasiakannya?" "Enggak, Mas. Emang belum selesai," jawab
"Buka usaha apa?" Mas Raffi bertanya seraya mengerutkan kening. "Apa aja, Mas," jawabku, "kan, sekarang Mama sudah pulang, otomatis Rayyan pasti nempel lagi sama Mama. Dan ... aku akan kesepian.""Kenapa gak kerja lagi di restoran Mama?" Mas Raffi kembali bertanya. Wajahnya masih sama. Seperti keberatan dengan rencanaku. Dan itu membuatku meneguk ludah secara kasar. Demi Tuhan aku deg-degan. "Aku ingin mandiri, Mas. Aku malu jika semua ada campur tangan Mama. Aku merasa rendah diri di depan saudara-saudara kita yang punya usaha dan karir. Aku juga mau seperti mereka, Mas. Meskipun hanya sebagai penjual gorengan, aku tak apa, kok. Yang penting usaha sendiri." Akhirnya aku menjelaskan. Mas Raffi yang duduk di sebelahku, ia tidak bicara. Tangannya mengusap wajah, lalu pandangannya lurus ke depan. Aku tidak tahu apa yang ada dalam pikiran dia saat ini, aku tidak bisa menebaknya. "Mas ...." Tangannya aku pegang, tapi Mas Raffi masih bergeming. Kamar ini menjadi hening. Suamiku masi
"Pah, Raya ...."Demi Tuhan, tenggorokanku terasa tercekat, tak mampu berucap dengan sempurna ketika melihat wajah Mama yang datar tanpa ekspresi. Sedangkan suamiku, pria itu hanya duduk dengan pandangan lurus ke depan, tidak sama sekali membantuku menjawab pertanyaan Papa. "Mau buat usaha apa?" tanya Papa lagi. Aku berdehem. Kemudian menegakkan tubuh yang tegang ini. "Belum pasti, Pah. Pengennya, sih masih seputar kuliner. Kalau tidak kafe, ya toko kue, mungkin." Akhirnya aku menjawab. Mataku memindai wajah Mas Raffi dan Mama. Mereka sama-sama tanpa ekspresi, seperti tidak yakin dengan kemampuanku. Beda lagi dengan Papa yang memberikan respon baik, bahkan mendukung apa pun usaha yang aku geluti nantinya. "Papa tidak akan menghalangi keinginan kamu, Papa juga tidak akan menyuruh kamu untuk tidak menjadi diri kamu. Kalau kamu suka dan ingin berbisnis, ya silahkan. Raffi pun mendukung, kan?"Aku mengangguk mendengar ucapan Papa. "Tapi ... Raya harus tahu, nih. Jika Raya ini buka
Entah berapa lama aku menangis, dan entah berapa kali juga Mas Raffi mencium pucuk kepalaku dalam dekapan hangatnya. Ini yang aku mau. Berada dalam pelukannya seperti awal kami menikah. Namun, suasananya berbeda. Kami tidak berada dalam kebahagiaan, tapi malah dalam kesedihan karena aku menuntutnya tidak berubah. "Berhenti menangis, Ra. Aku minta maaf jika sikapku membuatmu terluka," ujar Mas Raffi lagi. "Percayalah, aku seperti ini karena lelah bekerja, bukan karena ada yang lain."Aku tidak menjawab. Aku memilih menikmati harum parfum Mas Raffi yang aku rindukan. "Lihat sini." Mas Raffi mengangkat wajahku, lalu mengusap kedua pipiku yang basah. Tatapan matanya masih sama, tapi kenapa sikapnya berbeda? Dia suamiku, tapi terasa asing di mataku. "Mas ....""Apa?" tanyanya. "Pekerjaan mana yang membuatmu jadi suami yang dingin untukku? Aku ingin membantumu bekerja, Mas. Aku ingin mengurangi rasa lelahmu.""Sssttt .... Pekerjaanku tidak cocok untukmu. Kamu lakukan apa saja yang m
"Raya itu punya suami, Rey. Kalau kamu mau minta ijin, ijinlah pada Raffi, bukan pada Tante," jawab Mama. Dalam hati, aku membenarkan jawaban ibu mertuaku itu. Ah, kurasa Reyhan tidak perlu izin segala. Untuk apa? Lagian, aku sudah mendapatkan izin dari Mas Raffi, kok. Apa hanya untuk mencari muka dan kepercayaan Mama saja? Astagfirullah .... Pikiranku selalu berpikir buruk pada semua orang. "Raffi susah sekali dihubungi, Tan. Sekarang pun aku sengaja datang pagi-pagi ke sini dengan harapan bisa bertemu dengan dia. Eh, ternyata kata Bibi, Raffi sudah berangkat kerja. Dia sibuk sekali sekarang," tutur Reyhan lagi. Mama manggut-manggut. Ibu mertuaku membenarkan jika putra bungsunya itu sangat sibuk hingga waktunya di rumah hanya numpang tidur saja. "Tante, sih tidak keberatan kalian menjalin hubungan kerja sama, atau bisnis bersama. Tapi ... harus ingat satu hal. Jangan sampai kejauhan. Ingat, Raya ini punya suami, dan suaminya itu sahabat kamu. Kamu paham, kan, Rey?" ujar Mama k
"Hey! Liat apa, sih?" Aku berdehem seraya membernarkan kerudung yang aku yakini masih rapi. Senyum aku berikan pada Reyhan yang tiba-tiba sudah duduk di sampingku. Entahlah kapan dia datang, aku tidak menyadarinya. "Kenapa bengong?" tanya Reyhan lagi. "Enggak," kataku gugup. "Siapa juga yang bengong. Aku lagi lihat-lihat sekitar aja.""Bohong banget. Tadi aku bicara panjang lebar, loh. Coba sekarang kamu katakan apa yang aku ucapkan tadi."Aku meneguk ludah dengan kasar seraya menatap Reyhan yang menaikkan kedua alisnya. Dengan pelan, kepala aku gelengkan sebagai jawaban. "Kan ... emang kamu ngelamun, Ra. Mikirin apa, sih? Sampai-sampai aku bicara enggak direspon sama sekali. Kenapa?" "Enggak apa-apa, Rey. Aku ... aku hanya sedikit ngantuk, nih." Lagi-lagi aku berbohong. Padahal, sebenarnya aku memang tidak menyadari keberadaan Reyhan, karena fokus pada mobil yang melaju pelan setelah beberapa saat berhenti di samping mobil Reyhan. Bukan saking bagusnya kendaraan tersebut yan
"Aku antar kamu pulang saja, ya, Ra?" tutur Reyhan saat kami sudah kembali ke mobil. "Loh, kok pulang? Bukannya kita harus membeli bahan dan alat untuk membuat kue? Kita juga harus membeli kursi dan tempat duduk untuk pengunjung, bukan?" "Iya, tapi biarkan semuanya aku yang urus. Kamu pulang saja, istirahat, karena aku lihat kamu tidak baik-baik saja. Jangan menyanggah!" ujar Reyhan saat aku membuka mulut hendak bicara. Akhirnya aku menutup mulutku kembali, lalu membiarkan Reyhan membawaku pergi. Seperti yang dia katakan, Reyhan benar-benar membawaku pulang ke rumah. Malas sebenarnya, karena pasti aku akan sendirian, dan mengingat kembali tentang Mas Raffi tadi. Akan tetapi, aku tidak punya alasan untuk menolak. Ikut Reyhan pun, takutnya malah menyusahkan karena suasana hati yang tidak baik-baik saja. "Istirahat, ya? Biar besok bisa kembali beraktivitas," ujar Reyhan sebelum aku turun. Setelah memastikan tidak ada barangku yang tertinggal, Reyhan pun pergi melanjutkan aktivita
Susah payah aku menahan air mata untuk tidak keluar, tapi nyatanya tidak bisa. Aku menangis seraya berdiri di pinggir jalan setelah keluar dari pintu gerbang rental mobil. Kakiku berjalan tak tentu arah. Pandangan bahkan mengabur terhalang air mata. Entah ke mana aku akan pergi membawa luka hati yang teramat sakit ini. Pada siapa aku harus mengadu, jika di sini aku hanya seorang diri. Hidupku di kelilingi keluarga dan kerabat Mas Raffi, yang pasti mereka akan membela suamiku. Tidak ada yang peduli padaku. "Hei, jalan pake mata!""Ma–maaf," kataku saat tubuh ini tak sengaja menubruk pejalan kaki dari arah berlawanan. Tidak ingin mengundang masalah dengan orang banyak karena berjalan tidak pada jalurnya, aku pun memutuskan untuk duduk sebentar di taman kecil yang letaknya tak jauh dari tempat rental Mas Raffi. Kuusap mata dengan kedua tangan hingga tak ada lagi air yang menggenang. Beberapa kali aku menarik napas panjang, menghirup udara segar sebanyak mungkin agar dada terasa le
"Raihanum." Aku menyebut nama dari bayi perempuan yang sedang menggeliat di tempat tidurnya. Bibirku tersenyum manis menatap sepasang mata yang mulai melihat dunia. "Selamat pagi, Sayang ...." Aku mengusap pelan pipinya dengan jari telunjukku. Dia menggoyangkan kepalanya seolah merasa terganggu dengan sentuhan lembutku. Bibirnya bergerak seperti mengemut sesuatu. Dan aku semakin gemas melihat itu. "Hey, princess Papa sudah bangun ternyata?" Aku menoleh pada Mas Raffi yang baru saja datang, dan langsung menghampiriku. Bukan. Bukan aku yang dia datangi, melainkan putri kecilnya. "Sepertinya dia haus, Sayang," ujarnya lagi. "Iya. Dia cari sesuatu.""Kasihlah. Kasihan dia."Aku pun mengambil bayi perempuan berusia empat puluh hari itu. Kini, dia menggeliat dalam gendongan, lalu kepalanya ke kanan dan kiri mencari sarapan paginya. Aku membuka kancing piyamaku, kemudian memberikan asupan gizi untuk putriku tercinta. "Persiapan di bawah gimana, Mas?" Aku melihat pada Mas Raffi. "
"Sayang ... udah belum?" "Belum!" Aku berteriak menjawab pertanyaan Mas Raffi. Saat ini aku tengah mondar-mandir di kamar mandi seraya memegang testpack. Sudah lima belas menit aku di dalam sini, tapi benda kecil itu belum menyentuh urinku. Rasanya campur aduk antara takut tidak sesuai dengan ekspektasi, juga penasaran yang luar biasa. "Sayang, ayo, dong! Masa dari tadi belum terus!" Mas Raffi kembali berujar. "Iya, bentar, Mas!"Dengan tangan yang bergetar, aku memasukkan testpack ke dalam urin yang sudah aku tampung dalam wadah. Setelah beberapa detik menunggu, aku mengangkatnya dengan mata terpejam. Sebelah mata aku buka sedikit, mencari garis yang menjadi penentu aku hamil atau tidaknya. Samar-samar aku melihat garis itu, hingga akhirnya mata kubuka lebar-lebar untuk memastikan penglihatanku tidaklah salah. "Dua?" gumamku, kemudian bibir tersenyum. Aku menutup mulut dengan mata yang berkaca-kaca. Ini memang bukan kehamilan pertama, tapi rasanya masih sama seperti waktu tah
"Pagi, Sayang ...."Sepasang tangan melingkar di pinggang, disusul dengan kecupan kecil di pipi. Aku yang tengah berkutat dengan alat masak, membalas sapaan Mas Raffi dengan usapan pelan di lengannya. Hal seperti ini bukan terjadi sekarang, tapi setiap pagi datang. Sikap Mas Raffi selalu hangat dan tambah romantis sejak kami tinggal di rumah ini. Itu mengapa, aku memperkejakan asisten rumah tangga yang pulang pergi. Aku tidak ingin melewatkan keromantisan ini karena ada orang lain di istana kami. "Sudah aku siapkan teh di atas meja. Mas duduk, sebentar lagi gorengan yang aku buat akan matang," ujarku. "Emh ... enggak mau. Aku mau tetap meluk kamu sampai gorengan itu pindah ke meja makan." Mas Raffi berucap manja. "Nanti kamu kecipratan minyak, Mas.""Biarin. Jangankan minyak, percikan api asmara dari luar pun bisa aku padamkan demi kamu.""Hah, gimana-gimana?" Aku menoleh, mencari wajah Mas Raffi yang menyusup di tengkuk leherku. Dia tidak berani mengangkat kepala. Malah semaki
"Gini aja, deh, Fi. Daripada kamu jual perhiasan Raya, mendingan kamu pinjem uang aja dari Mama." Aku yang tadi sudah berpikiran buruk, merasa lebih tenang saat mendengar suara Mama. Ternyata yang masuk tadi bukan Reyhan, melainkan Mama dan Mas Raffi yang membahas perhiasan. Oh, ya ampun. Mas Raffi ketahuan Mama akan menjual perhiasan? Aku berjalan mendekati mereka yang berada di ruang tamu. Pandanganku mengarah pada Mas Raffi yang memberikan isyarat dengan menempelkan jari telunjuk di bibirnya. Aku mengangguk kecil, lalu meraih tangan Mama dan menciumnya. "Rayyan mana, Ra?" tanya Mama tanpa melepaskan tanganku. "Lagi main di ruang tengah, Mah.""Kalau gitu, kamu duduk di sini, Mama mau bicara dengan kalian."Aku dan Mas Raffi saling pandang, lalu aku pun duduk di samping Mama. Begitu pun Mas Raffi. Kami mengapit Mama yang berada di tengah-tengah. "Fi, Ra, kalian ini masih punya orang tua. Ada Mama dan Papa, yang masih bisa bantu kalian. Bukan Mama mau sombong, soal uang, insya
"Semalam aku kaget banget, loh saat Mas Bayu membekap mulutku. Aku kira itu Reyhan."Aku menyeruput jus alpukat seraya memperhatikan Rayyan yang bermain. "Tadi malam, saat aku menyuruh kamu tidur, emang sudah merasakan ketidakberesan di rumah kita. Yang kata aku melihat kucing di kosan, itu sebenarnya yang aku lihat emang manusia.""Kok, gak bilang ke aku?" tanyaku. Saat ini, aku dan Mas Raffi masih membahas kejadian semalam yang membuat tubuh ini bergetar ketakutan. Kami duduk lesehan di teras depan seraya mengasuh Rayyan yang bermain di halaman. "Aku tidak mau kamu takut, Ra. Makanya aku menyuruh kamu tidur cepat. Dan setelah kami tidur, aku langsung menelepon polisi untuk datang secara diam-diam. Dan Bayu juga.""Terus, saat aku bangun dan ke lantai bawah, kamu kan tidak ada. Itu ke mana?" Aku masih bertanya karena penasaran. "Aku di luar. Secara tidak langsung, aku menggiring Reyhan masuk ke kamar tamu lewat jendela. Dan Bayu, saat itu sudah ada di dalam rumah ini. Dia aku su
"Mas Bayu ngapain di sini?" tanyaku, saat dia melepaskan tangannya dari bibirku. "Aku diminta Raffi datang ke sini. Dan kamu tahu, yang ada di kamar itu siapa? Si Reyhan. Dia nyusup masuk ke rumahmu lewat jendela kamar yang tidak dikunci.""Apa?" Rasa terkejutku bertambah berkali lipat. Jika saja tadi aku masuk ke sana, habislah riwayatku. Reyhan pasti akan dengan mudah melakukan perbuatan jahatnya padaku. Suara gagang pintu yang diputar dari dalam kamar tamu, membuatku dan Bayu menoleh. Semakin lama, suara di sana semakin keras. Karena mungkin Reyhan sudah menyadari jika dia masuk perangkap. "Mas Raffi, mana?" tanyaku, karena tak kulihat keberadaan suamiku. "Dia di luar.""Sendirian?" tanyaku lagi. "Temenin, Mas. Aku takut Reyhan menyerang Mas Raffi. Dia belum pulih." Aku panik. Bayu hendak melangkah menjauh dariku, tapi dia urungkan saat ada bayangan yang berjalan mendekat ke arah kami. Tidak lama kemudian, lampu pun menyala membuat ruangan yang gelap menjadi terang. Aku lan
"Mas, kenapa liatin aku terus?" Mama dan Papa, serta semua kakak Mas Raffi sudah pergi beberapa menit yang lalu. Sekarang, tinggallah kami berdua, dan Rayyan yang sudah tidur. Hari memang sudah malam. Perabot pemberian kakak-kakak Mas Raffi pun, sudah disimpan ke tempat yang semestinya. Dibantu kakak dan kakak iparku tentunya. Saat ini, aku dan Mas Raffi tengah duduk berdua di lantai dua rumah kami. Aku dan dia sedang menikmati malam, melihat bintang dan bulan yang bersinar bersamaan. Gorden kaca sengaja dibuka agar langit terlihat jelas. Di depan kami, dua cangkir teh menjadi pelengkap kebersamaanku dengan Mas Raffi. "Malu, ih diliatin terus," kataku lagi, memalingkan wajah ke arah lampu hias berbentuk hati yang berada di sudut ruangan. Mas Raffi menyentuh daguku. Menariknya sangat pelan, agar tatapanku kembali padanya. "Karena aku kagum pada kecantikan istriku ini. Makanya, aku pandang terus.""Ih, gombal, deh," ujarku. Padahal dalam hati, aku bahagia mendapatkan pujian dari
"Saat di hotel waktu itu, sebenarnya Mbak percaya jika kamu tidak melakukan apa-apa dengan Reyhan. Kalau kamu selingkuh dengan Reyhan, untuk apa kamu meminta Mbak datang? Iya, kan?"Aku mengangguk saat Mbak Kinara menjeda ucapannya. Saat ini, hanya ada aku dan dia. Kami duduk berhadapan di meja makan, setelah tadi Mbak Nara memintaku bicara berdua. "Saat kamu pergi dari hotel itu, sebenarnya Mbak masih ada di sana. Mbak menemui Reyhan setelah melihatmu benar-benar keluar dan pergi. Aku meminta Reyhan mengatakan apa yang terjadi antara kami dengannya, versi dia. Meskipun aku tidak percaya pada Reyhan, tapi aku tetap mendengarkan dan merekam pengakuannya. Kamu tahu kenapa?" Mbak Kinara melempar tanya. Aku menggelengkan kepala. Aku tidak mau menduga-duga dan mengatakan yang tidak ada dalam pikiran."Aku cemburu padamu, Ra. Aku iri melihat kedekatan kamu dengan Mama, juga perhatian Mama pada Rayyan.""Ya Allah, Mbak ...." Aku menatap sendu pada Mbak Kinara yang menunduk. "Maafkan Mbak
"Ini untuk kami, Mah?" tanyaku pada Mama, yang tengah membereskan sayuran serta buah segar ke dalam kulkas. Tidak hanya itu, Mama juga membeli bermacam bumbu dapur, juga perlengkapan lainnya. "Iya, Ra. Kalau untuk Mama, tidak mungkin dikeluarkan dari mobil. Ini semua untuk kalian. Mama juga beli vitamin penambah nafsu makan untuk kamu. Tapi, Raffi enggak boleh minum vitamin ini, ya? Dia punya vitamin sendiri dari dokternya," ujar Mama. Aku mengiyakan. Meskipun malu karena keluar dari kamar dalam keadaan rambut yang basah, aku tetap menemui ibu mertua yang tengah berbenah di dapur. Sedangkan Mas Raffi, dia masih di kamar. Sedang berpakaian setelah pada akhir tadi kami mandi bersama. Untunglah, kedua mertuaku paham situasi. Dari mereka tidak ada yang mengetuk pintu kamar sejak kedatangannya. Keduanya kompak membawa bermain Rayyan agar tidak mencari keberadaan orang tuanya. Ck, malu ... aku malu. Tapi, mau gimana lagi? Semuanya gara-gara ... ah, masa iya aku harus menyalahkan Mas