"Aku antar kamu pulang saja, ya, Ra?" tutur Reyhan saat kami sudah kembali ke mobil. "Loh, kok pulang? Bukannya kita harus membeli bahan dan alat untuk membuat kue? Kita juga harus membeli kursi dan tempat duduk untuk pengunjung, bukan?" "Iya, tapi biarkan semuanya aku yang urus. Kamu pulang saja, istirahat, karena aku lihat kamu tidak baik-baik saja. Jangan menyanggah!" ujar Reyhan saat aku membuka mulut hendak bicara. Akhirnya aku menutup mulutku kembali, lalu membiarkan Reyhan membawaku pergi. Seperti yang dia katakan, Reyhan benar-benar membawaku pulang ke rumah. Malas sebenarnya, karena pasti aku akan sendirian, dan mengingat kembali tentang Mas Raffi tadi. Akan tetapi, aku tidak punya alasan untuk menolak. Ikut Reyhan pun, takutnya malah menyusahkan karena suasana hati yang tidak baik-baik saja. "Istirahat, ya? Biar besok bisa kembali beraktivitas," ujar Reyhan sebelum aku turun. Setelah memastikan tidak ada barangku yang tertinggal, Reyhan pun pergi melanjutkan aktivita
Susah payah aku menahan air mata untuk tidak keluar, tapi nyatanya tidak bisa. Aku menangis seraya berdiri di pinggir jalan setelah keluar dari pintu gerbang rental mobil. Kakiku berjalan tak tentu arah. Pandangan bahkan mengabur terhalang air mata. Entah ke mana aku akan pergi membawa luka hati yang teramat sakit ini. Pada siapa aku harus mengadu, jika di sini aku hanya seorang diri. Hidupku di kelilingi keluarga dan kerabat Mas Raffi, yang pasti mereka akan membela suamiku. Tidak ada yang peduli padaku. "Hei, jalan pake mata!""Ma–maaf," kataku saat tubuh ini tak sengaja menubruk pejalan kaki dari arah berlawanan. Tidak ingin mengundang masalah dengan orang banyak karena berjalan tidak pada jalurnya, aku pun memutuskan untuk duduk sebentar di taman kecil yang letaknya tak jauh dari tempat rental Mas Raffi. Kuusap mata dengan kedua tangan hingga tak ada lagi air yang menggenang. Beberapa kali aku menarik napas panjang, menghirup udara segar sebanyak mungkin agar dada terasa le
"Cantiknya istri aku."Wajah kupalingkan ke lain arah, menghindari tatapan Mas Raffi. Bibirnya tak henti memuji sejak kami keluar dari rumah tadi. Saat ini, aku dan dia tengah berada di salah satu restoran ternama, yang terkenal dengan suasana romantisnya. Lilin menyala di tengah-tengah meja dengan tarian indah karena tertiup angin malam. Berbagai menu makanan pun sudah tersaji, tapi belum ada yang aku sentuh sama sekali. Aku tidak ingin makan, tapi ingin mendapatkan penjelasan dari dia yang menoreh luka. Perutku tidak lapar, tapi perasaanku yang haus perhatian. Sayangnya, hatiku sudah terlanjur sakit oleh kebohongan yang bertubi-tubi dia berikan. Apakah sekarang aku harus tersanjung dengan adanya makan malam yang terlihat romantis ini?"Sayang ...." Mas Raffi memanggil dengan sebelah tangan menggenggam tanganku. Aku melihatnya. Menatap dia yang mengangkat kedua alis, menatapku manis. "Apa, Mas?" tanyaku. "Dengarkan aku, ya? Aku mau bicara sama kamu, dan ini benar-benar dari
Jadi, aku harus pura-pura bahagia dengan makan malam yang penuh dengan drama tadi? Ah, Mas Raffi. Kenapa dia jadi pria tidak berperasaan seperti itu? Tanpa menjawab permintaannya, aku langsung turun dan membanting pintu mobil dengan lumayan keras. Aku pun langsung masuk sendirian, tidak menunggu Mas Raffi yang masih berada di dalam mobil. "Gimana makan malamnya, Bunda? Menyenangkan?"Niat hati yang ingin langsung ke kamar, aku tunda saat melihat Mama dan Rayyan di ruang tengah. Padahal sudah pukul sebelas malam, tapi Rayyan belum tidur. Mungkin karena tadi dia tidur sesudah maghrib. "Menyenangkan, dong. Eh, Rayyan belum bobok, ya?" Aku menghampiri mereka, lalu duduk di sofa seraya berbasa-basi. Tidak berapa lama, Mas Raffi datang dan menjatuhkan bokong di sampingku. Lagi-lagi aku dituntut bersandiwara. Harus berperan sebagai wanita bahagia di depan semua mata. "Kok, Rayyan belum tidur, Mah?" tanya Mas Raffi pada ibunya. "Sudah tidur, kan tadi. Cuma bangun lagi, malah main sa
Aku masuk tanpa suara. Dan tentu saja kedatangnku mengagetkan Mas Raffi yang sedang bertelepon ria dengan sepupunya. Sadar jika keberadaanku membuatnya tak aman, Mas Raffi langsung mengakhiri panggilan dengan Bayu. "Hei, aku kira kamu akan lama di bawah. Tadinya aku mau ke sana lagi," ujarnya. Aku tahu itu bukan ucapan dari hatinya. Melainkan hanya basa-basi untuk menutupi rasa gugup dari dirinya. "Untuk apa ke bawah? Mama pun sudah tidur.""Rayyan?" Dia pura-pura perhatian pada putranya. "Kalau Mama sudah tidur, itu artinya Rayyan juga sudah tidur," jawabku malas. "Kamu dingin banget jawabnya, Ra. Kamu masih menganggapku selingkuh?" "Bagaimana aku tidak menganggap kamu selingkuh, jika kamu pun tidak menyanggah tuduhanku tentang itu? Yang kamu katakan cuma maaf dan maaf. Tidak ada, tuh kamu menjelaskan siapa wanita yang tadi satu mobil bersamamu. Kamu malah melempar kata dengan membawa-bawa Reyhan, kan tadi?" "Ya Allah ... apa ini masih sambungan dari perdebatan di restoran ta
Aku tertegun seraya memandangi dua benda pipih milik Mas Raffi bergantian. Aku benar-benar tidak menyangka jika suamiku akan melakukan hal sejauh ini. Penasaran dengan isi ponsel yang baru saja aku temukan, aku pun menekan tombol kecil yang ada di samping ponsel tersebut untuk menyalakan layarnya. Berhasil. Akan tetapi ...."Pakai password?" kataku saat layar terkunci. Aku pun menekan beberapa angka berharap kunci layar tersebut dapat terbuka. Namun, sayangnya gagal terus. Padahal aku mencoba banyak angka dari mulai tanggal lahir Mas Raffi, aku, dan putra kami. "Apa yang kamu simpan di sini, Mas?" gumamku lagi seraya tak mengalihkan pandangan dari ponsel di tangan. Detik berikutnya, mataku beralih pada Mas Raffi yang sudah terlelap di atas ranjang. Hatiku berdenyut nyeri membayangkan pria itu bertukar pesan mesra dengan wanita lain. Pasti. Aku yakin sekali jika Mas Raffi memang selingkuh. Kalau tidak, tidak mungkin ada ponsel lain yang tidak aku ketahui. Semakin aku melihat ben
"Maksudnya, usia pernikahan di bawah lima tahun, akan banyak ujian. Dari mulai ekonomi, hubungan antara keluarga, juga kesetiaan dan kepercayaan.""Eh, Mama ...," ucapku saat menyadari ada ibu mertua yang ikut nimbrung dalam obrolanku dan Bi Marni. Wanita paruh baya yang masih memakai setelan kimono itu tersenyum seraya bersidekap dada di ambang penyekat dapur dan ruang makan. Kemudian dia berjalan mendekat ke arahku."Bakwannya sudah ada yang matang, Ra?" tanyanya. "Ada, Mah." Aku menjawab seraya membalikkan bakwan yang ada di dalam penggorengan. Setelah memastikan bakwan dalam wajan terhindar dari gosong seperti tadi, aku pun memberikan bakwan yang sudah tersaji di atas piring, kepada Mama. "Itu kenapa dipisah?" Mama bertanya lagi seraya menunjuk bakwan yang berwarna gelap. "Anu, Mah. Itu ....""Gosong, Bu." Bi Marni menjawab pertanyaan Mama. "Aduh, kokinya pada ngerumpi, makanya jadi gosong. Tolong buatkan kopi tiga gelas, lalu antar ke depan, ya, Ra. Mama sama Papa mau makan
"Kamu gak apa-apa, nunggu sendirian di sini?" "Gak apa-apa, Mas. Paling sebentar lagi Reyhan juga datang, kok," jawabku. Sekarang aku sudah berada di depan ruko yang baru disewa Reyhan. Aku tidak sendiri, tapi dengan Mas Raffi. Entah ada angin apa atau ada bisikan dari jin mana, tiba-tiba Mas Raffi ingin mengantarku. Alasannya agar dia tahu tempat bekerja istrinya, tapi menurutku bukan itu alasannya. Mas Raffi pasti cemburu karena aku bekerja dengan pria lain. Yang di mana pria itu lajang, belum memiliki pasangan. Suamiku sepertinya takut tersaingi. Baguslah jika dia cemburu. Aku bisa menjadikan Reyhan sebagai alat untuk memainkan perasaan Mas Raffi, seperti dia yang juga mempermainkan perasaanku. Aku dibuat tidak mengerti dengan sikap Mas Raffi. Kadang baik, perhatian, lembut dan penyayang. Namun, tak jarang juga dia bersikap dingin, tak peduli dan marah-marah gak jelas. "Coba aku telepon. Enak banget nyuruh-nyuruh istri orang datang pagi, tapi dianya malah telat. Dia pikir di