"Bentar, aku lihat dulu." Reyhan berjalan ke arah pintu, meninggalkan aku yang beridiri seraya memikirkan sesuatu. Mungkinkah ada orang yang sedang mengintai kami? Oh, apa jangan-jangan orang suruhan Mas Raffi? Seketika aku jadi teringat obrolan suamiku dengan seseorang lewat sambungan telepon tadi pagi. Rasa khawatir akan kemarahan Mas Raffi menari di dalam kepala saat ini. Aku takut orang itu melebihkan apa yang dia lihat antara aku dan Reyhan. Aku juga takut jika Mas Raffi lebih percaya pada orang suruhannya ketimbang aku istrinya. "Siapa, Rey?" tanyaku kemudian, saat pria itu kembali. "Itu, tetangga sebelah membawa bangku, terus tidak sengaja jatuh dan mengenai pintu ruko kita.""Oh ...." Aku manggut-manggut. "Yuk, lanjutkan lagi," ujar Reyhan mendekatiku. "Biar aku saja yang kerjakan, Rey. Sebaiknya kamu buat beberapa sampel minuman saja."Reyhan terlihat berpikir, kemudian dia menganggukkan kepala tanda setuju. Pria yang mengenakan kemeja motif salur itu mengambil beb
"Ra, kamu gak salah, bawa semua ini ke rumah?" Aku menggelengkan kepala menjawab pertanyaan Mama. Ibu mertuaku itu melempar pandangan pada suaminya, yang tengah melihat meja seraya meneguk ludah. "Aku sengaja bawa semua ini pulang, karena ingin Mama dan Papa cobain kue bolu buatanku. Ini sampel, Mah. Kalau kata Mama enak, berarti layak dijual. Tap, kalau kata Mama enggak enak, aku akan perbaiki dan buat kue yang lebih enak dari ini," ujarku optimis. "Banyak banget sampelnya, Raya ...." "Enggak, ah. Cuma tujuh jenis bolu, Pah," kataku, "ada bolu kukus karakter, bolu pelangi, ice milo roll cake, brownies lumer, bolu pisang, bolu tape, dan mille crepes." Aku menyebutkan satu per satu bolu yang aku buat. Tadi, aku dan Reyhan keasikan mencoba alat dan resep bolu, hingga tak sadar membuat beberapa macam bolu yang aku sebutkan barusan. Karena belum dibuka untuk pengunjung, akhirnya aku membawa pulang bolu-bolu tersebut ke rumah. Dan di sinilah aku sekarang. Duduk di depan Mama dan Pa
"Latihan? Latihan apa?" Aku bergumam seraya memikirkan arti dari pesan tersebut. Layar ponsel di tangan sudah padam, aku pun menyalakannya lagi, lalu mencoba membuka kunci untuk membaca dan mengetahui apa saja yang Mas Raffi sembunyikan di ponsel tersebut. Namun, seperti yang sudah-sudah. Aku gagal, tidak tahu angka berapa saja yang dipakai Mas Raffi untuk mengunci ponsel itu. "Allah ... apa yang disembunyikan suamiku?" Berulang kali aku menarik napas panjang untuk menghilangkan perasaan tak nyaman di dalam lubuk hati. Aku ingin berpikir positif, tapi yang muncul justru pikiran negatif. Apa itu pesan dari selingkuhan Mas Raffi? Tapi, tidak ada namanya. Hanya nomor saja. Tidak ingin kecurigaanku diketahui Mas Raffi, aku pun segera keluar dari kamar setelah menyimpan ponsel di tempat semula. Kolam renang adalah tempat yang tepat untukku menenangkan diri seraya mencari tahu arti dari kalimat yang tadi aku baca. Latihan. Kata kunci yang membuatku penasaran. Latihan apa? Siapa ya
"Barusan, Raffi bilang sama kita, kalau teman kamu yang bernama Mimi, akan menikah. Jadi ... Mama sama Papa mau memberikan sedikit hadiah untuk dia," cetus Mama membuatku tidak percaya. Mata ini menatap kedua mertuaku bergantian. Benarkah yang mereka katakan? "Ha–hadiah apa, Mah?" tanyaku akhirnya. "Bukan sesuatu yang mahal dan berharga, tapi insya Allah berguna bagi mereka. Nanti Mama sama Papa akan pergi untuk membeli beberapa barang, dan nanti pada hari pernikahan dia, biar Pak Tarmin yang antar ke sana. Itu sebagai permintaan maaf juga, karena kamu dan Raffi tidak bisa datang ke sana.""Mama ... terima kasih. Mama baik banget sama orang-orang di sekitar aku, terutama sama Mimi," ujarku terharu. Demi Allah, aku tidak menyangka kedua mertuaku akan mau memberikan sedikit hartanya untuk sahabatku itu. Meskipun belum tahu apa yang akan Mama beli, tapi rasanya hatiku sungguh bahagia. "Sama-sama, Raya. Mama sama Papa mengingat kebaikan Mimi pada kamu dan Bu Fatimah. Dan sebagai ora
"Apa, Fi?" "Ah, tidak apa-apa. Jika ada waktu, siang nanti baca pesan dariku," ucap Mas Raffi. "Aku kerja dulu. Kamu baik-baik di sini," lanjutnya lagi, bicara padaku. Aku menganggukkan kepala dan membiarkan Mas Raffi keluar dari ruko ini. Tidak aku antar dia, hanya melihatnya pergi seraya memakai kacamata hitam yang jadi barang wajibnya. "Apa suamimu sedang sakit, Ra?"Pertanyaan itu meluncur dari Reyhan. Pria yang tengah memasukkan bahan kue ke dalam wadah besar itu tidak melihatku, tapi kata-katanya jelas untukku. "Tidak, Rey. Entahlah, aku juga tidak tahu ada apa dengan Mas Raffi," kataku seraya mengedikkan bahu. Tas yang masih tersampir di pundak, aku simpan di salah satu bufet yang ada di belakang Reyhan. Aku juga mengambil celemek, lalu memakainya. "Kalian ada masalah? Atau ... Raffi mencari-cari kesalahanmu demi menutupi kesalahannya?" Aku mengerutkan kening seraya melihat ke arah Reyhan yang memunggungiku. Kaki aku langkahkan agar bisa lebih dekat dengan dia, dan melih
"Mas Raffi?" Aku menyebut pria tersebut. "Kenapa dalam pikiranmu selalu Reyhan, Ra? Sampai-sampai tak mengenali suamimu sendiri.""Bukan gitu, Mas. Ya, aku pikir Reyhan, karena dia yang kerja di sini. Lagian, Mas ngapain ke sini? Tumben, bisa keluyuran di jam kerja," kataku seraya memperhatikan Mas Raffi. Suamiku itu mengambil minuman kemasan dari lemari pendingin, lalu menghampiriku di balik meja dapur. "Sengaja aku sayang, mau ada yang ingin dibicarakan dengan Reyhan.""Bicara apa?" tanyaku seraya mengernyitkan kening. "Ada lah. Urusan laki-laki.""Jangan bilang kamu akan membahas soal uang modal dengan Reyhan, Mas. Aku gak mau, ya toko yang baru buka harus tutup gara-gara kamu ikut campur dalam bisnisku.""Salah, jika aku ikut campur?" Aku membuka plastik yang membungkus jari-jari tanganku, kemudian melihat Mas Raffi yang berdiri tak jauh dariku. Pria itu menegak minuman di tangannya, lalu membuang botol kosong dengan kasar ke tempat sampah. "Kali ini salah, Mas," ujarku mem
Tanganku terkepal menahan gejolak di dalam dada. Apalagi jika aku perhatikan baik-baik, wanita itu terlihat muda dan cantik. Pantas, jika Mas Raffi jatuh hati pada dia. Penampilannya pun anggun, tidak asal-asalan sepertiku. Melihatku diam saja, wanita itu pergi menghampiri Reyhan yang sedang melayani pembeli lain. Aku membalikkan badan, masih menatap dia dari kejauhan. Sisi buruk dari diriku mengatakan, aku harus menarik kerudung wanita itu hingga ia jatuh terjerembab ke lantai. Lalu aku maki, bahkan memukulnya sampai dia sadar, jika Mas Raffi hanya milikku. Namun, kutepis pikiran buruk itu. Aku tidak boleh gegabah dan membuat masalah di sini. Aku tidak mau bisnis yang baru aku rintis, berakhir tragis. "Ra, kenapa ngelamun? Pembeli protes, tuh." Aku mengerjapkan mata berulang kali saat Reyhan berbisik. Kemudian aku langsung pergi ke belakang, mengambil stok mille crepes yang wanita itu minta. "Ini, Rey!" Aku berujar pada Reyhan. Pria itu mengambilnya, lalu memberikan pada wan
"Sebaiknya kamu jangan dulu melunasi uang modal pada Reyhan, Ra."Aku yang tengah mengoleskan krim malam di wajah, langsung menoleh pada Mas Raffi yang baru saja bicara. Masih tentang uang. Mas Raffi terus saja membahas modal yang menurutnya tidak masuk akal. Padahal, itu sangat wajar menurutku. Di zaman sekarang yang serba mahal dan canggih, masa iya membuka toko cukup dengan biaya lima puluh juta saja? Pasti tidak akan cukup. Dan aku yakin, Reyhan sudah menghitung semua pengeluaran, sebelum dia mengatakan jumlah yang diminta. Mas Raffi-nya saja yang tidak percaya. "Kenapa, sih, Mas? Kamu, tuh masih saja mempersalahkan modal toko kue. Sudahlah, toko itu usahaku, sebaiknya kamu jangan ikut campur," kataku seraya kembali mengaplikasikan krim di wajah. "Ada yang tidak beres dengan Reyhan, Ra. Dia seperti ingin memeras kamu, dan membuat kita hancur.""Ahahahaha ...." Aku terbahak mendengar ucapan Mas Raffi. Demi menutupi kesalahannya, dia rela menjatuhkan temannya sendiri. Aku tida
"Raihanum." Aku menyebut nama dari bayi perempuan yang sedang menggeliat di tempat tidurnya. Bibirku tersenyum manis menatap sepasang mata yang mulai melihat dunia. "Selamat pagi, Sayang ...." Aku mengusap pelan pipinya dengan jari telunjukku. Dia menggoyangkan kepalanya seolah merasa terganggu dengan sentuhan lembutku. Bibirnya bergerak seperti mengemut sesuatu. Dan aku semakin gemas melihat itu. "Hey, princess Papa sudah bangun ternyata?" Aku menoleh pada Mas Raffi yang baru saja datang, dan langsung menghampiriku. Bukan. Bukan aku yang dia datangi, melainkan putri kecilnya. "Sepertinya dia haus, Sayang," ujarnya lagi. "Iya. Dia cari sesuatu.""Kasihlah. Kasihan dia."Aku pun mengambil bayi perempuan berusia empat puluh hari itu. Kini, dia menggeliat dalam gendongan, lalu kepalanya ke kanan dan kiri mencari sarapan paginya. Aku membuka kancing piyamaku, kemudian memberikan asupan gizi untuk putriku tercinta. "Persiapan di bawah gimana, Mas?" Aku melihat pada Mas Raffi. "
"Sayang ... udah belum?" "Belum!" Aku berteriak menjawab pertanyaan Mas Raffi. Saat ini aku tengah mondar-mandir di kamar mandi seraya memegang testpack. Sudah lima belas menit aku di dalam sini, tapi benda kecil itu belum menyentuh urinku. Rasanya campur aduk antara takut tidak sesuai dengan ekspektasi, juga penasaran yang luar biasa. "Sayang, ayo, dong! Masa dari tadi belum terus!" Mas Raffi kembali berujar. "Iya, bentar, Mas!"Dengan tangan yang bergetar, aku memasukkan testpack ke dalam urin yang sudah aku tampung dalam wadah. Setelah beberapa detik menunggu, aku mengangkatnya dengan mata terpejam. Sebelah mata aku buka sedikit, mencari garis yang menjadi penentu aku hamil atau tidaknya. Samar-samar aku melihat garis itu, hingga akhirnya mata kubuka lebar-lebar untuk memastikan penglihatanku tidaklah salah. "Dua?" gumamku, kemudian bibir tersenyum. Aku menutup mulut dengan mata yang berkaca-kaca. Ini memang bukan kehamilan pertama, tapi rasanya masih sama seperti waktu tah
"Pagi, Sayang ...."Sepasang tangan melingkar di pinggang, disusul dengan kecupan kecil di pipi. Aku yang tengah berkutat dengan alat masak, membalas sapaan Mas Raffi dengan usapan pelan di lengannya. Hal seperti ini bukan terjadi sekarang, tapi setiap pagi datang. Sikap Mas Raffi selalu hangat dan tambah romantis sejak kami tinggal di rumah ini. Itu mengapa, aku memperkejakan asisten rumah tangga yang pulang pergi. Aku tidak ingin melewatkan keromantisan ini karena ada orang lain di istana kami. "Sudah aku siapkan teh di atas meja. Mas duduk, sebentar lagi gorengan yang aku buat akan matang," ujarku. "Emh ... enggak mau. Aku mau tetap meluk kamu sampai gorengan itu pindah ke meja makan." Mas Raffi berucap manja. "Nanti kamu kecipratan minyak, Mas.""Biarin. Jangankan minyak, percikan api asmara dari luar pun bisa aku padamkan demi kamu.""Hah, gimana-gimana?" Aku menoleh, mencari wajah Mas Raffi yang menyusup di tengkuk leherku. Dia tidak berani mengangkat kepala. Malah semaki
"Gini aja, deh, Fi. Daripada kamu jual perhiasan Raya, mendingan kamu pinjem uang aja dari Mama." Aku yang tadi sudah berpikiran buruk, merasa lebih tenang saat mendengar suara Mama. Ternyata yang masuk tadi bukan Reyhan, melainkan Mama dan Mas Raffi yang membahas perhiasan. Oh, ya ampun. Mas Raffi ketahuan Mama akan menjual perhiasan? Aku berjalan mendekati mereka yang berada di ruang tamu. Pandanganku mengarah pada Mas Raffi yang memberikan isyarat dengan menempelkan jari telunjuk di bibirnya. Aku mengangguk kecil, lalu meraih tangan Mama dan menciumnya. "Rayyan mana, Ra?" tanya Mama tanpa melepaskan tanganku. "Lagi main di ruang tengah, Mah.""Kalau gitu, kamu duduk di sini, Mama mau bicara dengan kalian."Aku dan Mas Raffi saling pandang, lalu aku pun duduk di samping Mama. Begitu pun Mas Raffi. Kami mengapit Mama yang berada di tengah-tengah. "Fi, Ra, kalian ini masih punya orang tua. Ada Mama dan Papa, yang masih bisa bantu kalian. Bukan Mama mau sombong, soal uang, insya
"Semalam aku kaget banget, loh saat Mas Bayu membekap mulutku. Aku kira itu Reyhan."Aku menyeruput jus alpukat seraya memperhatikan Rayyan yang bermain. "Tadi malam, saat aku menyuruh kamu tidur, emang sudah merasakan ketidakberesan di rumah kita. Yang kata aku melihat kucing di kosan, itu sebenarnya yang aku lihat emang manusia.""Kok, gak bilang ke aku?" tanyaku. Saat ini, aku dan Mas Raffi masih membahas kejadian semalam yang membuat tubuh ini bergetar ketakutan. Kami duduk lesehan di teras depan seraya mengasuh Rayyan yang bermain di halaman. "Aku tidak mau kamu takut, Ra. Makanya aku menyuruh kamu tidur cepat. Dan setelah kami tidur, aku langsung menelepon polisi untuk datang secara diam-diam. Dan Bayu juga.""Terus, saat aku bangun dan ke lantai bawah, kamu kan tidak ada. Itu ke mana?" Aku masih bertanya karena penasaran. "Aku di luar. Secara tidak langsung, aku menggiring Reyhan masuk ke kamar tamu lewat jendela. Dan Bayu, saat itu sudah ada di dalam rumah ini. Dia aku su
"Mas Bayu ngapain di sini?" tanyaku, saat dia melepaskan tangannya dari bibirku. "Aku diminta Raffi datang ke sini. Dan kamu tahu, yang ada di kamar itu siapa? Si Reyhan. Dia nyusup masuk ke rumahmu lewat jendela kamar yang tidak dikunci.""Apa?" Rasa terkejutku bertambah berkali lipat. Jika saja tadi aku masuk ke sana, habislah riwayatku. Reyhan pasti akan dengan mudah melakukan perbuatan jahatnya padaku. Suara gagang pintu yang diputar dari dalam kamar tamu, membuatku dan Bayu menoleh. Semakin lama, suara di sana semakin keras. Karena mungkin Reyhan sudah menyadari jika dia masuk perangkap. "Mas Raffi, mana?" tanyaku, karena tak kulihat keberadaan suamiku. "Dia di luar.""Sendirian?" tanyaku lagi. "Temenin, Mas. Aku takut Reyhan menyerang Mas Raffi. Dia belum pulih." Aku panik. Bayu hendak melangkah menjauh dariku, tapi dia urungkan saat ada bayangan yang berjalan mendekat ke arah kami. Tidak lama kemudian, lampu pun menyala membuat ruangan yang gelap menjadi terang. Aku lan
"Mas, kenapa liatin aku terus?" Mama dan Papa, serta semua kakak Mas Raffi sudah pergi beberapa menit yang lalu. Sekarang, tinggallah kami berdua, dan Rayyan yang sudah tidur. Hari memang sudah malam. Perabot pemberian kakak-kakak Mas Raffi pun, sudah disimpan ke tempat yang semestinya. Dibantu kakak dan kakak iparku tentunya. Saat ini, aku dan Mas Raffi tengah duduk berdua di lantai dua rumah kami. Aku dan dia sedang menikmati malam, melihat bintang dan bulan yang bersinar bersamaan. Gorden kaca sengaja dibuka agar langit terlihat jelas. Di depan kami, dua cangkir teh menjadi pelengkap kebersamaanku dengan Mas Raffi. "Malu, ih diliatin terus," kataku lagi, memalingkan wajah ke arah lampu hias berbentuk hati yang berada di sudut ruangan. Mas Raffi menyentuh daguku. Menariknya sangat pelan, agar tatapanku kembali padanya. "Karena aku kagum pada kecantikan istriku ini. Makanya, aku pandang terus.""Ih, gombal, deh," ujarku. Padahal dalam hati, aku bahagia mendapatkan pujian dari
"Saat di hotel waktu itu, sebenarnya Mbak percaya jika kamu tidak melakukan apa-apa dengan Reyhan. Kalau kamu selingkuh dengan Reyhan, untuk apa kamu meminta Mbak datang? Iya, kan?"Aku mengangguk saat Mbak Kinara menjeda ucapannya. Saat ini, hanya ada aku dan dia. Kami duduk berhadapan di meja makan, setelah tadi Mbak Nara memintaku bicara berdua. "Saat kamu pergi dari hotel itu, sebenarnya Mbak masih ada di sana. Mbak menemui Reyhan setelah melihatmu benar-benar keluar dan pergi. Aku meminta Reyhan mengatakan apa yang terjadi antara kami dengannya, versi dia. Meskipun aku tidak percaya pada Reyhan, tapi aku tetap mendengarkan dan merekam pengakuannya. Kamu tahu kenapa?" Mbak Kinara melempar tanya. Aku menggelengkan kepala. Aku tidak mau menduga-duga dan mengatakan yang tidak ada dalam pikiran."Aku cemburu padamu, Ra. Aku iri melihat kedekatan kamu dengan Mama, juga perhatian Mama pada Rayyan.""Ya Allah, Mbak ...." Aku menatap sendu pada Mbak Kinara yang menunduk. "Maafkan Mbak
"Ini untuk kami, Mah?" tanyaku pada Mama, yang tengah membereskan sayuran serta buah segar ke dalam kulkas. Tidak hanya itu, Mama juga membeli bermacam bumbu dapur, juga perlengkapan lainnya. "Iya, Ra. Kalau untuk Mama, tidak mungkin dikeluarkan dari mobil. Ini semua untuk kalian. Mama juga beli vitamin penambah nafsu makan untuk kamu. Tapi, Raffi enggak boleh minum vitamin ini, ya? Dia punya vitamin sendiri dari dokternya," ujar Mama. Aku mengiyakan. Meskipun malu karena keluar dari kamar dalam keadaan rambut yang basah, aku tetap menemui ibu mertua yang tengah berbenah di dapur. Sedangkan Mas Raffi, dia masih di kamar. Sedang berpakaian setelah pada akhir tadi kami mandi bersama. Untunglah, kedua mertuaku paham situasi. Dari mereka tidak ada yang mengetuk pintu kamar sejak kedatangannya. Keduanya kompak membawa bermain Rayyan agar tidak mencari keberadaan orang tuanya. Ck, malu ... aku malu. Tapi, mau gimana lagi? Semuanya gara-gara ... ah, masa iya aku harus menyalahkan Mas