Sebenarnya aku ingin pergi ke rumah sakit untuk melihat keadaan Papa, tapi bagaimana dengan Rayyan di sini? Masa iya, aku menitipkannya pada Bi Marni?Kalau anakku bangun dan nangis, gimana?Banyak kekhawatiran yang membuatku bingung harus melakukan apa saat ini. Di satu sisi ingin pergi, tapi di sisi lain menahanku untuk tetap di sini. "Kok, Mas Raffi sama Mama belum ngasih kabar, ya?" kataku gusar. Mataku terus melirik ponsel yang layarnya masih padam. Tidak ada tanda-tanda pesan masuk, atau juga bunyi telepon dari seseorang. Akhirnya, rasa penasaran akan keadaan ayah mertua membuatku nekad menghubungi Mas Raffi, meskipun aku masih marah padanya.Kusingkirkan ego demi memastikan jika Papa baik-baik saja. "Apa?" tanya dari seberang sana dengan nada dingin. "Gimana keadaan Papa, Mas?" Bukannya menjawab, Mas Raffi malah mengembuskan napas kasar. Hingga suara napasnya pun terdengar di telingaku. "Tidak begitu mengkhawatirkan. Papa cedera di bagian kepala serta dadanya. Dia akan
"Mama, tuh terlalu memanjakan Raya. Semua tentang dia pasti diistimewakan. Ngapain juga Pak Tarmin harus ke Garut demi nganterin barang buat temannya Raya? Yang nikah siapa, yang seserahan siapa?" Deg!Dadaku berdetak kencang saat tak sengaja mendengar ucapan yang terlontar dari bibir seorang wanita. Langkah kaki aku hentikan, lalu berdiri di tempat untuk mendengarkan obrolan mereka. "Iya, sih. Kalau dipikir-pikir, Mama lebay. Tapi, ya gimana? Kita tidak punya hak untuk melarang. Ya ... walaupun kita anaknya, kalau Mama sudah ada mau, gak bisa diganggu." Satu wanita lainnya menimpali. Bohong jika aku merasa baik-baik saja. Tentu hatiku terasa sakit. Rasa bersalah akan kecelakaan Papa membuatku semakin rendah diri. Siapa aku, yang harus diistimewakan? Aku sama sekali tidak punya pikiran sampai sana. Lagipula, aku juga tidak tahu jika hadiah yang Mama berikan untuk Mimi akan sebanyak itu. Semuanya di luar dugaanku. "Kenapa berhenti?" "Sssttt ...." Aku menempelkan telunjuk di bib
"Becanda, Ra. Sensitif banget ibu-ibu yang satu ini," ujar Reyhan, meralat ucapannya. Aku kembali melangkah dan berhenti di samping mobil Reyhan. Setelah pria itu membuka pintu mobilnya, aku dan Rayyan pun masuk. "Kita akan ke mana?" tanya Reyhan kemudian. "Pulang ke rumah, atau mau bawa Rayyan ke toko? Atau ... hari ini kita pergi ke Playground saja?" "Ke toko saja, Rey. Aku bisa, kok kerja sambil momong Rayyan. Sayang, kalau harus tutup toko. Masih baru, juga." Reyhan tidak lagi bicara. Dia pun membawa mobilnya ke arah di mana toko kue berada. Sesampainya di sana, aku yang sembari kerepotan mengasuh Rayyan yang aktif, mempersiapkan bahan kue yang akan dibuat. Jangan tanyakan bagaimana sibuknya aku, saat Rayyan mengambil barang yang dia lihat. Dan itu membuat perhatianku terbagi. "Hey, Jagoan. Gimana, kalau kita bermain saja? Kita cari mainan di luar, yuk!" Reyhan yang sudah membersihkan toko, mengajak putraku pergi. Rayyan tidak menolak. Dia bersedia dibawa Reyhan meninggalk
Suasana terasa panas. Baik aku maupun Mbak Kinara tidak ada lagi yang bicara. Aku sibuk mengatur napas yang sedikit sesak setelah menjawab ucapan kakak iparku itu. Tidak mungkin Mbak Kinara bicara seperti itu, jika tidak ada yang mengompori sebelumnya. Jangan-jangan ... Mas Raffi curhat dengan membalikkan fakta pada kakaknya ini? Tega sekali Mas Raffi jika benar melakukan hal tersebut."Maaf, Mbak. Jika ucapanku barusan membuat perasaan Mbak tidak enak. Aku hanya mengatakan yang ada dalam pikiranku saja," ujarku akhirnya. Mbak Kinara manggut-manggut seraya memainkan cincin yang melingkar di jari manisnya. "Mbak hanya mengingatkan, Ra.""Terima kasih. Itu artinya Mbak sayang padaku dan Mas Raffi.""Itu pasti," katanya, "kalian adik Mbak. Dan Mbak tidak ingin ada masalah dalam rumah tangga kalian."Hening kembali. Aku hanya mengangguk menanggapi ucapan Mbak Kinara. Hingga akhirnya, wanita itu pun pamit dari toko sebelum sempat mencicipi kue buatanku. Aku bahkan belum sempat membua
"Sampaikan salam aku pada kedua mertuamu, Ra. Aku gak nyangka banget jika mereka akan sebaik itu padaku.""Akan aku sampaikan, Mi. Sekali lagi, selamat menempuh hidup baru, semoga bahagia selalu, ya. Maaf, aku gak bisa datang, Mi," ucapku dengan kesungguhan hati. Obrolan dengan Mimi berakhir, dan aku memutuskan untuk membersihkan diri. Rayyan yang tidur di lantai satu, aku titipkan pada Bi Marni. Takutnya aku tidak mendengar dia saat bangun nanti. Sedikit lama aku berada di kamar mandi, hingga kemudian menyudahi berendam dan segera memakai pakaian lengkap. Aku turun lagi ke lantai satu, karena perut yang terasa perih minta diisi. "Rayyan bangun, gak, Bi?" tanyaku ketika melihat Bi Marni dari arah kamar Rayyan. "Tidak, Mbak. Barusan saya lihat masih tidur nyenyak.""Yasudah, biarkan saja. Bi Marni temani saya makan, yuk! Sekarang perut terasa lapar.""Mbak Raya saja yang makan, saya sudah makan sebelum Mbak Raya pulang. Tapi, kalau mau ditemani di meja makan, ayo, Mbak. Kebetulan
"Assalamualaikum."Aku membuka pintu ruang rawat inap Papa. Kedua mertuaku melihat ke arahku yang tersenyum pada mereka. "Waalaikumsalam. Raya ...? Kamu, kok ke sini lagi? Rayyan sama siapa di rumah?" tanya Mama. "Sama Mas Raffi, Mah. Barusan Mas Raffi nganterin aku ke sini, lalu pulang lagi.""Syukurlah kalau Rayyan ada temannya. Tadi siang rewel, gak?" Aku menghampiri ranjang Papa, melihat kondisi ayah mertua yang sekarang sudah bisa duduk. "Awalnya enggak, Mah. Tadi pagi, Rayyan juga ikut ke toko. Tapi ya gitu, semakin siang semakin rewel karena gak ada teman.""Papa di sini baik-baik saja, Ra. Kamu tidak usah khawatirkan Papa. Fokus saja sama Rayyan," ujar ayah mertua kemudian. Aku tersenyum tipis, kemudian menanyakan bagian tubuh mana yang sakit pada Papa. Aku juga mendengarkan penjelasan tentang kronologi kejadian yang membuat ayah mertua harus dirawat di rumah sakit. Katanya Papa capek dan mengantuk pada malam itu, hingga dia tidak fokus pada jalanan yang dilewatinya. Dan
"Rayyan rewel, gak, Bi?" "Tidak, Mbak. Dari tadi di anteng main sama saya," ujar Bi Marni. Rasanya lega sekali jika putraku tidak membuat wanita yang usianya sudah tak lagi muda itu kerepotan. Itu artinya, Bi Marni memang mampu mengimbangi keaktifan Rayyan. "Den Raffi, mana, Mbak? Kok, barusan saya lihat Mbak Raya pulang diantar taksi?" Aku mengembuskan napas kasar seraya menatap Bi Marni yang melihat ke pintu gerbang yang terbuka. Taksi yang membawaku baru saja pergi, dan karena Bi Marni sedang mengajak Rayyan bermain di teras, pastilah dia melihat mobil apa yang barusan berhenti di depan rumah. "Emh .... Mungkin Mas Raffi ke tempat kerjanya dulu, jadi lama. Dan karena saya khawatir pada Rayyan, makanya saya memutuskan pulang tanpa Mas Raffi," jawabku dengan seulas senyum. Bi Marni membulatkan mulut seraya manggut-manggut. Wanita itu pun kembali ke dalam, dan sekarang akulah yang menemani putraku bermain. Mainan milik Rayyan berserakan di teras rumah. Aku pun memungutnya sera
"Ya, jangan orang lain juga, Pah," ujar Mas Daffa. "Menurutku, Raffa lebih cocok, Pah.""Ah, tidak Mas. Kamu saja. Aku mana mampu.""Kenapa gak dua-duanya saja, sih? Mama jadi pusing melihat kalian saling lempar tanggung jawab. Kenapa pada gak yakin sama kemampuan diri sendiri, sih?" Mama yang sedari tadi hanya diam, kini mulai mengeluarkan suara karena mungkin jengkel pada anak-anaknya. Mereka seolah-olah menganggap remeh permintaan Papa, dan terus saja saling menolak mendapatkan amanah berat. "Tidak bisa, Mah. Ya, secara logis, rumah sakit itu memang milik kita, harusnya kita bahu membahu memajukan serta menjaga kepercayaan masyarakat. Namun, dalam bisnis tidak bisa satu perusahaan memiliki dua pemimpin. Harus ada satu yang ditinggikan," tutur Papa. "Kalau menurut Kinanti, lebih baik Papa bicarakan ini dengan yang lain. Direksi serta jajaran penting rumah sakit. Iya, rumah sakit itu milik Papa, Papa yang bangun dari hanya satu ruangan, menjadi beberapa lantai. Namun, rumah sakit j
"Raihanum." Aku menyebut nama dari bayi perempuan yang sedang menggeliat di tempat tidurnya. Bibirku tersenyum manis menatap sepasang mata yang mulai melihat dunia. "Selamat pagi, Sayang ...." Aku mengusap pelan pipinya dengan jari telunjukku. Dia menggoyangkan kepalanya seolah merasa terganggu dengan sentuhan lembutku. Bibirnya bergerak seperti mengemut sesuatu. Dan aku semakin gemas melihat itu. "Hey, princess Papa sudah bangun ternyata?" Aku menoleh pada Mas Raffi yang baru saja datang, dan langsung menghampiriku. Bukan. Bukan aku yang dia datangi, melainkan putri kecilnya. "Sepertinya dia haus, Sayang," ujarnya lagi. "Iya. Dia cari sesuatu.""Kasihlah. Kasihan dia."Aku pun mengambil bayi perempuan berusia empat puluh hari itu. Kini, dia menggeliat dalam gendongan, lalu kepalanya ke kanan dan kiri mencari sarapan paginya. Aku membuka kancing piyamaku, kemudian memberikan asupan gizi untuk putriku tercinta. "Persiapan di bawah gimana, Mas?" Aku melihat pada Mas Raffi. "
"Sayang ... udah belum?" "Belum!" Aku berteriak menjawab pertanyaan Mas Raffi. Saat ini aku tengah mondar-mandir di kamar mandi seraya memegang testpack. Sudah lima belas menit aku di dalam sini, tapi benda kecil itu belum menyentuh urinku. Rasanya campur aduk antara takut tidak sesuai dengan ekspektasi, juga penasaran yang luar biasa. "Sayang, ayo, dong! Masa dari tadi belum terus!" Mas Raffi kembali berujar. "Iya, bentar, Mas!"Dengan tangan yang bergetar, aku memasukkan testpack ke dalam urin yang sudah aku tampung dalam wadah. Setelah beberapa detik menunggu, aku mengangkatnya dengan mata terpejam. Sebelah mata aku buka sedikit, mencari garis yang menjadi penentu aku hamil atau tidaknya. Samar-samar aku melihat garis itu, hingga akhirnya mata kubuka lebar-lebar untuk memastikan penglihatanku tidaklah salah. "Dua?" gumamku, kemudian bibir tersenyum. Aku menutup mulut dengan mata yang berkaca-kaca. Ini memang bukan kehamilan pertama, tapi rasanya masih sama seperti waktu tah
"Pagi, Sayang ...."Sepasang tangan melingkar di pinggang, disusul dengan kecupan kecil di pipi. Aku yang tengah berkutat dengan alat masak, membalas sapaan Mas Raffi dengan usapan pelan di lengannya. Hal seperti ini bukan terjadi sekarang, tapi setiap pagi datang. Sikap Mas Raffi selalu hangat dan tambah romantis sejak kami tinggal di rumah ini. Itu mengapa, aku memperkejakan asisten rumah tangga yang pulang pergi. Aku tidak ingin melewatkan keromantisan ini karena ada orang lain di istana kami. "Sudah aku siapkan teh di atas meja. Mas duduk, sebentar lagi gorengan yang aku buat akan matang," ujarku. "Emh ... enggak mau. Aku mau tetap meluk kamu sampai gorengan itu pindah ke meja makan." Mas Raffi berucap manja. "Nanti kamu kecipratan minyak, Mas.""Biarin. Jangankan minyak, percikan api asmara dari luar pun bisa aku padamkan demi kamu.""Hah, gimana-gimana?" Aku menoleh, mencari wajah Mas Raffi yang menyusup di tengkuk leherku. Dia tidak berani mengangkat kepala. Malah semaki
"Gini aja, deh, Fi. Daripada kamu jual perhiasan Raya, mendingan kamu pinjem uang aja dari Mama." Aku yang tadi sudah berpikiran buruk, merasa lebih tenang saat mendengar suara Mama. Ternyata yang masuk tadi bukan Reyhan, melainkan Mama dan Mas Raffi yang membahas perhiasan. Oh, ya ampun. Mas Raffi ketahuan Mama akan menjual perhiasan? Aku berjalan mendekati mereka yang berada di ruang tamu. Pandanganku mengarah pada Mas Raffi yang memberikan isyarat dengan menempelkan jari telunjuk di bibirnya. Aku mengangguk kecil, lalu meraih tangan Mama dan menciumnya. "Rayyan mana, Ra?" tanya Mama tanpa melepaskan tanganku. "Lagi main di ruang tengah, Mah.""Kalau gitu, kamu duduk di sini, Mama mau bicara dengan kalian."Aku dan Mas Raffi saling pandang, lalu aku pun duduk di samping Mama. Begitu pun Mas Raffi. Kami mengapit Mama yang berada di tengah-tengah. "Fi, Ra, kalian ini masih punya orang tua. Ada Mama dan Papa, yang masih bisa bantu kalian. Bukan Mama mau sombong, soal uang, insya
"Semalam aku kaget banget, loh saat Mas Bayu membekap mulutku. Aku kira itu Reyhan."Aku menyeruput jus alpukat seraya memperhatikan Rayyan yang bermain. "Tadi malam, saat aku menyuruh kamu tidur, emang sudah merasakan ketidakberesan di rumah kita. Yang kata aku melihat kucing di kosan, itu sebenarnya yang aku lihat emang manusia.""Kok, gak bilang ke aku?" tanyaku. Saat ini, aku dan Mas Raffi masih membahas kejadian semalam yang membuat tubuh ini bergetar ketakutan. Kami duduk lesehan di teras depan seraya mengasuh Rayyan yang bermain di halaman. "Aku tidak mau kamu takut, Ra. Makanya aku menyuruh kamu tidur cepat. Dan setelah kami tidur, aku langsung menelepon polisi untuk datang secara diam-diam. Dan Bayu juga.""Terus, saat aku bangun dan ke lantai bawah, kamu kan tidak ada. Itu ke mana?" Aku masih bertanya karena penasaran. "Aku di luar. Secara tidak langsung, aku menggiring Reyhan masuk ke kamar tamu lewat jendela. Dan Bayu, saat itu sudah ada di dalam rumah ini. Dia aku su
"Mas Bayu ngapain di sini?" tanyaku, saat dia melepaskan tangannya dari bibirku. "Aku diminta Raffi datang ke sini. Dan kamu tahu, yang ada di kamar itu siapa? Si Reyhan. Dia nyusup masuk ke rumahmu lewat jendela kamar yang tidak dikunci.""Apa?" Rasa terkejutku bertambah berkali lipat. Jika saja tadi aku masuk ke sana, habislah riwayatku. Reyhan pasti akan dengan mudah melakukan perbuatan jahatnya padaku. Suara gagang pintu yang diputar dari dalam kamar tamu, membuatku dan Bayu menoleh. Semakin lama, suara di sana semakin keras. Karena mungkin Reyhan sudah menyadari jika dia masuk perangkap. "Mas Raffi, mana?" tanyaku, karena tak kulihat keberadaan suamiku. "Dia di luar.""Sendirian?" tanyaku lagi. "Temenin, Mas. Aku takut Reyhan menyerang Mas Raffi. Dia belum pulih." Aku panik. Bayu hendak melangkah menjauh dariku, tapi dia urungkan saat ada bayangan yang berjalan mendekat ke arah kami. Tidak lama kemudian, lampu pun menyala membuat ruangan yang gelap menjadi terang. Aku lan
"Mas, kenapa liatin aku terus?" Mama dan Papa, serta semua kakak Mas Raffi sudah pergi beberapa menit yang lalu. Sekarang, tinggallah kami berdua, dan Rayyan yang sudah tidur. Hari memang sudah malam. Perabot pemberian kakak-kakak Mas Raffi pun, sudah disimpan ke tempat yang semestinya. Dibantu kakak dan kakak iparku tentunya. Saat ini, aku dan Mas Raffi tengah duduk berdua di lantai dua rumah kami. Aku dan dia sedang menikmati malam, melihat bintang dan bulan yang bersinar bersamaan. Gorden kaca sengaja dibuka agar langit terlihat jelas. Di depan kami, dua cangkir teh menjadi pelengkap kebersamaanku dengan Mas Raffi. "Malu, ih diliatin terus," kataku lagi, memalingkan wajah ke arah lampu hias berbentuk hati yang berada di sudut ruangan. Mas Raffi menyentuh daguku. Menariknya sangat pelan, agar tatapanku kembali padanya. "Karena aku kagum pada kecantikan istriku ini. Makanya, aku pandang terus.""Ih, gombal, deh," ujarku. Padahal dalam hati, aku bahagia mendapatkan pujian dari
"Saat di hotel waktu itu, sebenarnya Mbak percaya jika kamu tidak melakukan apa-apa dengan Reyhan. Kalau kamu selingkuh dengan Reyhan, untuk apa kamu meminta Mbak datang? Iya, kan?"Aku mengangguk saat Mbak Kinara menjeda ucapannya. Saat ini, hanya ada aku dan dia. Kami duduk berhadapan di meja makan, setelah tadi Mbak Nara memintaku bicara berdua. "Saat kamu pergi dari hotel itu, sebenarnya Mbak masih ada di sana. Mbak menemui Reyhan setelah melihatmu benar-benar keluar dan pergi. Aku meminta Reyhan mengatakan apa yang terjadi antara kami dengannya, versi dia. Meskipun aku tidak percaya pada Reyhan, tapi aku tetap mendengarkan dan merekam pengakuannya. Kamu tahu kenapa?" Mbak Kinara melempar tanya. Aku menggelengkan kepala. Aku tidak mau menduga-duga dan mengatakan yang tidak ada dalam pikiran."Aku cemburu padamu, Ra. Aku iri melihat kedekatan kamu dengan Mama, juga perhatian Mama pada Rayyan.""Ya Allah, Mbak ...." Aku menatap sendu pada Mbak Kinara yang menunduk. "Maafkan Mbak
"Ini untuk kami, Mah?" tanyaku pada Mama, yang tengah membereskan sayuran serta buah segar ke dalam kulkas. Tidak hanya itu, Mama juga membeli bermacam bumbu dapur, juga perlengkapan lainnya. "Iya, Ra. Kalau untuk Mama, tidak mungkin dikeluarkan dari mobil. Ini semua untuk kalian. Mama juga beli vitamin penambah nafsu makan untuk kamu. Tapi, Raffi enggak boleh minum vitamin ini, ya? Dia punya vitamin sendiri dari dokternya," ujar Mama. Aku mengiyakan. Meskipun malu karena keluar dari kamar dalam keadaan rambut yang basah, aku tetap menemui ibu mertua yang tengah berbenah di dapur. Sedangkan Mas Raffi, dia masih di kamar. Sedang berpakaian setelah pada akhir tadi kami mandi bersama. Untunglah, kedua mertuaku paham situasi. Dari mereka tidak ada yang mengetuk pintu kamar sejak kedatangannya. Keduanya kompak membawa bermain Rayyan agar tidak mencari keberadaan orang tuanya. Ck, malu ... aku malu. Tapi, mau gimana lagi? Semuanya gara-gara ... ah, masa iya aku harus menyalahkan Mas