"Sebaiknya kamu jangan dulu melunasi uang modal pada Reyhan, Ra."Aku yang tengah mengoleskan krim malam di wajah, langsung menoleh pada Mas Raffi yang baru saja bicara. Masih tentang uang. Mas Raffi terus saja membahas modal yang menurutnya tidak masuk akal. Padahal, itu sangat wajar menurutku. Di zaman sekarang yang serba mahal dan canggih, masa iya membuka toko cukup dengan biaya lima puluh juta saja? Pasti tidak akan cukup. Dan aku yakin, Reyhan sudah menghitung semua pengeluaran, sebelum dia mengatakan jumlah yang diminta. Mas Raffi-nya saja yang tidak percaya. "Kenapa, sih, Mas? Kamu, tuh masih saja mempersalahkan modal toko kue. Sudahlah, toko itu usahaku, sebaiknya kamu jangan ikut campur," kataku seraya kembali mengaplikasikan krim di wajah. "Ada yang tidak beres dengan Reyhan, Ra. Dia seperti ingin memeras kamu, dan membuat kita hancur.""Ahahahaha ...." Aku terbahak mendengar ucapan Mas Raffi. Demi menutupi kesalahannya, dia rela menjatuhkan temannya sendiri. Aku tida
Sebenarnya aku ingin pergi ke rumah sakit untuk melihat keadaan Papa, tapi bagaimana dengan Rayyan di sini? Masa iya, aku menitipkannya pada Bi Marni?Kalau anakku bangun dan nangis, gimana?Banyak kekhawatiran yang membuatku bingung harus melakukan apa saat ini. Di satu sisi ingin pergi, tapi di sisi lain menahanku untuk tetap di sini. "Kok, Mas Raffi sama Mama belum ngasih kabar, ya?" kataku gusar. Mataku terus melirik ponsel yang layarnya masih padam. Tidak ada tanda-tanda pesan masuk, atau juga bunyi telepon dari seseorang. Akhirnya, rasa penasaran akan keadaan ayah mertua membuatku nekad menghubungi Mas Raffi, meskipun aku masih marah padanya.Kusingkirkan ego demi memastikan jika Papa baik-baik saja. "Apa?" tanya dari seberang sana dengan nada dingin. "Gimana keadaan Papa, Mas?" Bukannya menjawab, Mas Raffi malah mengembuskan napas kasar. Hingga suara napasnya pun terdengar di telingaku. "Tidak begitu mengkhawatirkan. Papa cedera di bagian kepala serta dadanya. Dia akan
"Mama, tuh terlalu memanjakan Raya. Semua tentang dia pasti diistimewakan. Ngapain juga Pak Tarmin harus ke Garut demi nganterin barang buat temannya Raya? Yang nikah siapa, yang seserahan siapa?" Deg!Dadaku berdetak kencang saat tak sengaja mendengar ucapan yang terlontar dari bibir seorang wanita. Langkah kaki aku hentikan, lalu berdiri di tempat untuk mendengarkan obrolan mereka. "Iya, sih. Kalau dipikir-pikir, Mama lebay. Tapi, ya gimana? Kita tidak punya hak untuk melarang. Ya ... walaupun kita anaknya, kalau Mama sudah ada mau, gak bisa diganggu." Satu wanita lainnya menimpali. Bohong jika aku merasa baik-baik saja. Tentu hatiku terasa sakit. Rasa bersalah akan kecelakaan Papa membuatku semakin rendah diri. Siapa aku, yang harus diistimewakan? Aku sama sekali tidak punya pikiran sampai sana. Lagipula, aku juga tidak tahu jika hadiah yang Mama berikan untuk Mimi akan sebanyak itu. Semuanya di luar dugaanku. "Kenapa berhenti?" "Sssttt ...." Aku menempelkan telunjuk di bib
"Becanda, Ra. Sensitif banget ibu-ibu yang satu ini," ujar Reyhan, meralat ucapannya. Aku kembali melangkah dan berhenti di samping mobil Reyhan. Setelah pria itu membuka pintu mobilnya, aku dan Rayyan pun masuk. "Kita akan ke mana?" tanya Reyhan kemudian. "Pulang ke rumah, atau mau bawa Rayyan ke toko? Atau ... hari ini kita pergi ke Playground saja?" "Ke toko saja, Rey. Aku bisa, kok kerja sambil momong Rayyan. Sayang, kalau harus tutup toko. Masih baru, juga." Reyhan tidak lagi bicara. Dia pun membawa mobilnya ke arah di mana toko kue berada. Sesampainya di sana, aku yang sembari kerepotan mengasuh Rayyan yang aktif, mempersiapkan bahan kue yang akan dibuat. Jangan tanyakan bagaimana sibuknya aku, saat Rayyan mengambil barang yang dia lihat. Dan itu membuat perhatianku terbagi. "Hey, Jagoan. Gimana, kalau kita bermain saja? Kita cari mainan di luar, yuk!" Reyhan yang sudah membersihkan toko, mengajak putraku pergi. Rayyan tidak menolak. Dia bersedia dibawa Reyhan meninggalk
Suasana terasa panas. Baik aku maupun Mbak Kinara tidak ada lagi yang bicara. Aku sibuk mengatur napas yang sedikit sesak setelah menjawab ucapan kakak iparku itu. Tidak mungkin Mbak Kinara bicara seperti itu, jika tidak ada yang mengompori sebelumnya. Jangan-jangan ... Mas Raffi curhat dengan membalikkan fakta pada kakaknya ini? Tega sekali Mas Raffi jika benar melakukan hal tersebut."Maaf, Mbak. Jika ucapanku barusan membuat perasaan Mbak tidak enak. Aku hanya mengatakan yang ada dalam pikiranku saja," ujarku akhirnya. Mbak Kinara manggut-manggut seraya memainkan cincin yang melingkar di jari manisnya. "Mbak hanya mengingatkan, Ra.""Terima kasih. Itu artinya Mbak sayang padaku dan Mas Raffi.""Itu pasti," katanya, "kalian adik Mbak. Dan Mbak tidak ingin ada masalah dalam rumah tangga kalian."Hening kembali. Aku hanya mengangguk menanggapi ucapan Mbak Kinara. Hingga akhirnya, wanita itu pun pamit dari toko sebelum sempat mencicipi kue buatanku. Aku bahkan belum sempat membua
"Sampaikan salam aku pada kedua mertuamu, Ra. Aku gak nyangka banget jika mereka akan sebaik itu padaku.""Akan aku sampaikan, Mi. Sekali lagi, selamat menempuh hidup baru, semoga bahagia selalu, ya. Maaf, aku gak bisa datang, Mi," ucapku dengan kesungguhan hati. Obrolan dengan Mimi berakhir, dan aku memutuskan untuk membersihkan diri. Rayyan yang tidur di lantai satu, aku titipkan pada Bi Marni. Takutnya aku tidak mendengar dia saat bangun nanti. Sedikit lama aku berada di kamar mandi, hingga kemudian menyudahi berendam dan segera memakai pakaian lengkap. Aku turun lagi ke lantai satu, karena perut yang terasa perih minta diisi. "Rayyan bangun, gak, Bi?" tanyaku ketika melihat Bi Marni dari arah kamar Rayyan. "Tidak, Mbak. Barusan saya lihat masih tidur nyenyak.""Yasudah, biarkan saja. Bi Marni temani saya makan, yuk! Sekarang perut terasa lapar.""Mbak Raya saja yang makan, saya sudah makan sebelum Mbak Raya pulang. Tapi, kalau mau ditemani di meja makan, ayo, Mbak. Kebetulan
"Assalamualaikum."Aku membuka pintu ruang rawat inap Papa. Kedua mertuaku melihat ke arahku yang tersenyum pada mereka. "Waalaikumsalam. Raya ...? Kamu, kok ke sini lagi? Rayyan sama siapa di rumah?" tanya Mama. "Sama Mas Raffi, Mah. Barusan Mas Raffi nganterin aku ke sini, lalu pulang lagi.""Syukurlah kalau Rayyan ada temannya. Tadi siang rewel, gak?" Aku menghampiri ranjang Papa, melihat kondisi ayah mertua yang sekarang sudah bisa duduk. "Awalnya enggak, Mah. Tadi pagi, Rayyan juga ikut ke toko. Tapi ya gitu, semakin siang semakin rewel karena gak ada teman.""Papa di sini baik-baik saja, Ra. Kamu tidak usah khawatirkan Papa. Fokus saja sama Rayyan," ujar ayah mertua kemudian. Aku tersenyum tipis, kemudian menanyakan bagian tubuh mana yang sakit pada Papa. Aku juga mendengarkan penjelasan tentang kronologi kejadian yang membuat ayah mertua harus dirawat di rumah sakit. Katanya Papa capek dan mengantuk pada malam itu, hingga dia tidak fokus pada jalanan yang dilewatinya. Dan
"Rayyan rewel, gak, Bi?" "Tidak, Mbak. Dari tadi di anteng main sama saya," ujar Bi Marni. Rasanya lega sekali jika putraku tidak membuat wanita yang usianya sudah tak lagi muda itu kerepotan. Itu artinya, Bi Marni memang mampu mengimbangi keaktifan Rayyan. "Den Raffi, mana, Mbak? Kok, barusan saya lihat Mbak Raya pulang diantar taksi?" Aku mengembuskan napas kasar seraya menatap Bi Marni yang melihat ke pintu gerbang yang terbuka. Taksi yang membawaku baru saja pergi, dan karena Bi Marni sedang mengajak Rayyan bermain di teras, pastilah dia melihat mobil apa yang barusan berhenti di depan rumah. "Emh .... Mungkin Mas Raffi ke tempat kerjanya dulu, jadi lama. Dan karena saya khawatir pada Rayyan, makanya saya memutuskan pulang tanpa Mas Raffi," jawabku dengan seulas senyum. Bi Marni membulatkan mulut seraya manggut-manggut. Wanita itu pun kembali ke dalam, dan sekarang akulah yang menemani putraku bermain. Mainan milik Rayyan berserakan di teras rumah. Aku pun memungutnya sera