"Rayyan rewel, gak, Bi?" "Tidak, Mbak. Dari tadi di anteng main sama saya," ujar Bi Marni. Rasanya lega sekali jika putraku tidak membuat wanita yang usianya sudah tak lagi muda itu kerepotan. Itu artinya, Bi Marni memang mampu mengimbangi keaktifan Rayyan. "Den Raffi, mana, Mbak? Kok, barusan saya lihat Mbak Raya pulang diantar taksi?" Aku mengembuskan napas kasar seraya menatap Bi Marni yang melihat ke pintu gerbang yang terbuka. Taksi yang membawaku baru saja pergi, dan karena Bi Marni sedang mengajak Rayyan bermain di teras, pastilah dia melihat mobil apa yang barusan berhenti di depan rumah. "Emh .... Mungkin Mas Raffi ke tempat kerjanya dulu, jadi lama. Dan karena saya khawatir pada Rayyan, makanya saya memutuskan pulang tanpa Mas Raffi," jawabku dengan seulas senyum. Bi Marni membulatkan mulut seraya manggut-manggut. Wanita itu pun kembali ke dalam, dan sekarang akulah yang menemani putraku bermain. Mainan milik Rayyan berserakan di teras rumah. Aku pun memungutnya sera
"Ya, jangan orang lain juga, Pah," ujar Mas Daffa. "Menurutku, Raffa lebih cocok, Pah.""Ah, tidak Mas. Kamu saja. Aku mana mampu.""Kenapa gak dua-duanya saja, sih? Mama jadi pusing melihat kalian saling lempar tanggung jawab. Kenapa pada gak yakin sama kemampuan diri sendiri, sih?" Mama yang sedari tadi hanya diam, kini mulai mengeluarkan suara karena mungkin jengkel pada anak-anaknya. Mereka seolah-olah menganggap remeh permintaan Papa, dan terus saja saling menolak mendapatkan amanah berat. "Tidak bisa, Mah. Ya, secara logis, rumah sakit itu memang milik kita, harusnya kita bahu membahu memajukan serta menjaga kepercayaan masyarakat. Namun, dalam bisnis tidak bisa satu perusahaan memiliki dua pemimpin. Harus ada satu yang ditinggikan," tutur Papa. "Kalau menurut Kinanti, lebih baik Papa bicarakan ini dengan yang lain. Direksi serta jajaran penting rumah sakit. Iya, rumah sakit itu milik Papa, Papa yang bangun dari hanya satu ruangan, menjadi beberapa lantai. Namun, rumah sakit j
"Apa yang kamu sembunyikan, Mas?" tanyaku seraya menoleh padanya. Mas Raffi masuk ke kamar, lalu menutup pintu dan menguncinya. Tatapan mata ini enggan lepas dari dia yang juga melihatku dengan sangat serius. Setiap kedip matanya membuat detak jantungku terasa berdenyut. Aku takut, jika kejujuran yang dia katakan bisa membuatku sakit luar biasa. "Ada beberapa hal yang aku sembunyikan, dan itu semua aku lakukan dengan kesadaran.""Apa, Mas? Katakan!" Aku berucap tak sabar. "Gini." Mas Raffi memegang kedua pundakku, lalu menggiring tubuh ini untuk duduk di pinggir ranjang. "Aku tidak bisa menjelaskan hanya dengan bicara. Aku harus membawamu ke suatu tempat agar kamu percaya, Ra."Suatu tempat? Apa maksud Mas Raffi, dia akan membawaku ke rumah selingkuhannya itu. Atau ... jangan-jangan mereka sudah menikah tanpa sepengetahuanku? Oh, jantung ... siapkah menerima kenyataan? "Kenapa tidak bicara saja sekarang, Mas?" kataku, lalu memalingkan wajah ke arah lain. Kedua kaki aku angka
"Tadi masih di kamar, Mah. Biar aku panggilkan.""Biarkan saja lah, Ra. Nanti pun dia turun sendiri. Sebaiknya kamu makan. Sudah capek ke sana kemari beli lontong sayur, masih harus manggil Raffi juga? Dia bukan anak kecil lagi, tidak usah dibujuk-bujuk. Kalau lapar pasti makan sendiri.""Biar sarapannya bareng-bareng, Pah. Kalau dinanti-nanti, lontongnya malah dingin," ujar Mama menjawab ucapan Papa. "Gak apa-apa, Pah. Biar Raya panggil Mas Raffi sekalian mau lihat Rayyan di kamarnya. Mama sama Papa, sarapan duluan saja, ya?" kataku, menengahi sepasang suami istri itu. Aku pun pergi meninggalkan meja makan, lalu pergi ke lantai dua. Namun, Mas Raffi tidak ada di sana. Keadaan kamar pun masih sama seperti yang aku tinggalkan tadi. Itu artinya, Mas Raffi tidak masuk ke sini sepeninggalnya diriku. Lalu di mana dia?Aku keluar dari kamar, lalu kembali ke bawah. Tapi, tidak perlu ke ruang makan. Melainkan ke kamar Rayyan, siapa tahu Mas Raffi tidur di sana. "Nda ....""Eh, anak Bund
"Ho–hotel?" Aku mengulang kata terakhir yang diucapkan Reyhan. Ponsel yang tadi kutempelkan pada telinga, aku turunkan perlahan seiring dengan punggung yang bersandar pada tembok di belakangku. Benarkah apa yang dikatakan Reyhan tentang Mas Raffi? Rasanya aku tidak percaya. Mata aku pejamkan beberapa saat, kemudian membukanya kembali seraya memanggil Reyhan. Ponsel aku dekatkan dengan telinga untuk mendengar suara pria dari seberang sana. "Ra, kamu baik-baik saja?" Pertanyaan itu diberikan Reyhan padaku. "Aku naik, Rey. Emh ... barusan aku hanya sedikit kaget. Ngomong-ngomong, kamu punya bukti kalau Mas Raffi ke hotel?" tanyaku akhirnya. "Bukan hanya bukti, saat ini aku bahkan sedang berada di hotel tempat suamimu berada. Dia masuk dengan menggandeng perempuan, Ra.""Hah ...?" Aku kehilangan kata-kata, hingga yang keluar dari bibir hanya satu kata tak penting itu. "Kalau kamu tidak percaya, aku akan mengirimkan fotonya padamu sekarang." Suara Reyhan terdengar, tapi aku enggan
"Apa yang kamu inginkan dariku, Rey?" tanyaku seraya berusaha membuka pintu. "Kamu."Mataku memicing dengan tatapan tak lepas dari Reyhan yang melangkah mendekatiku. Jantungku berpacu lebih cepat dari sebelumnya. Tangan tak hentinya menarik gagang pintu, meskipun tahu mustahil untuk terbuka. Karena Reyhan, pasti sudah menguncinya. "Rey, kenapa jadi seperti ini? Kenapa kamu sangat berbeda, Rey?" "Aku tidak berbeda, Ra. Hanya saja, kamu tidak mengenalku.""Reyhan yang aku kenal adalah pria baik.""Kebaikanku tidak gratis, Raya," ujar Reyhan lagi membuatku kaget luar biasa. Jadi, selama ini dia hanya pura-pura baik? Oh, astaga .... Jadi ucapan Mas Raffi tentang Reyhan ternyata benar? Pria di depanku ini tidak sebaik yang aku pikirkan. "Apa sebenarnya tujuan kamu, Rey? Kenapa pura-pura baik padaku, lalu sekarang melakukan hal konyol ini? Untuk apa kamu mengurungku di sini?" Dalam keadaan cemas, aku berusaha tenang dan mencoba berdamai dengan Reyhan. Aku harus mengambil hatinya aga
Dengan satu entakan tangan, aku berhasil membuat ponsel Reyhan jatuh ke lantai. Teriakan Reyhan menggema, tapi tidak aku indahkan. Cepat aku mengambil benda pipih tersebut, lalu mematikan sambungan teleponnya dengan Mas Raffi. "Kembalikan hapeku!" sentak Reyhan seraya menghampiri. Aku lari menghindar dari pria itu dengan membawa ponsel miliknya. Reyhan mengejar, dan aku terus menghindar. Sekarang, aku sudah berada di dekat jendela. Kusibak gorden dengan lebar, lalu membuka pintu jendela kaca hingga angin dari luar masuk menerpa kulitku. "Jangan mendekat," kataku pada Reyhan. "Satu langkah saja kamu masuk, ponsel ini akan terjun bebas ke bawah." Aku mengancam. "Kamu mengancamku, Ra? Kalau mau lempar, ya lempar saja. Aku bisa membeli yang baru, bahkan lebih dari satu.""Oh, tentu. Aku sangat percaya dengan itu. Namun, apa kamu juga bisa membeli data-data penting yang ada di dalam ponsel pintar ini, Rey?"Bibir yang tadi menyunggingkan senyum meremehkan, kini terkatup sempurna dan
"Kenapa Mas Raffi bisa jatuh, Bi?" Aku bertanya dengan panik. "Tidak tahu, Mbak. Tapi yang Bibi dengar, katanya Den Raffi jatuh pada tumpukan batu."Refleks tanganku langsung menutup mulut saking terkejut dan takut dengan keadaan suamiku sekarang. Dengan pandanganan yang mengembun, aku mengotak-atik ponsel mencari nomor telepon ibu mertua. Kata Bi Marni, Mama sudah pergi ke rumah sakit sejak tadi. Dan aku ingin tahu keadaan suamiku di sana seperti apa. "Angkat, Mah," kataku tak sabar karena teleponku tidak direspon Mama dari seberang sana. Panggilan telepon aku matikan, lalu mengulanginya lagi. Kali ini, Papa tujuanku. Sama dengan Mama, Papa pun tidak menjawab panggilanku. Rasa khawatir dan takut membuatku langsung keluar dari rumah dan pergi ke rumah sakit. Aku berjalan setengah berlari untuk sampai keluar dari komplek dan mendapatkan taksi. Tujuanku saat ini adalah rumah sakit. Aku yakin, jika Mas Raffi dibawa ke rumah sakit milik Papa. Dengan yakin aku mengatakan pada supir
"Raihanum." Aku menyebut nama dari bayi perempuan yang sedang menggeliat di tempat tidurnya. Bibirku tersenyum manis menatap sepasang mata yang mulai melihat dunia. "Selamat pagi, Sayang ...." Aku mengusap pelan pipinya dengan jari telunjukku. Dia menggoyangkan kepalanya seolah merasa terganggu dengan sentuhan lembutku. Bibirnya bergerak seperti mengemut sesuatu. Dan aku semakin gemas melihat itu. "Hey, princess Papa sudah bangun ternyata?" Aku menoleh pada Mas Raffi yang baru saja datang, dan langsung menghampiriku. Bukan. Bukan aku yang dia datangi, melainkan putri kecilnya. "Sepertinya dia haus, Sayang," ujarnya lagi. "Iya. Dia cari sesuatu.""Kasihlah. Kasihan dia."Aku pun mengambil bayi perempuan berusia empat puluh hari itu. Kini, dia menggeliat dalam gendongan, lalu kepalanya ke kanan dan kiri mencari sarapan paginya. Aku membuka kancing piyamaku, kemudian memberikan asupan gizi untuk putriku tercinta. "Persiapan di bawah gimana, Mas?" Aku melihat pada Mas Raffi. "
"Sayang ... udah belum?" "Belum!" Aku berteriak menjawab pertanyaan Mas Raffi. Saat ini aku tengah mondar-mandir di kamar mandi seraya memegang testpack. Sudah lima belas menit aku di dalam sini, tapi benda kecil itu belum menyentuh urinku. Rasanya campur aduk antara takut tidak sesuai dengan ekspektasi, juga penasaran yang luar biasa. "Sayang, ayo, dong! Masa dari tadi belum terus!" Mas Raffi kembali berujar. "Iya, bentar, Mas!"Dengan tangan yang bergetar, aku memasukkan testpack ke dalam urin yang sudah aku tampung dalam wadah. Setelah beberapa detik menunggu, aku mengangkatnya dengan mata terpejam. Sebelah mata aku buka sedikit, mencari garis yang menjadi penentu aku hamil atau tidaknya. Samar-samar aku melihat garis itu, hingga akhirnya mata kubuka lebar-lebar untuk memastikan penglihatanku tidaklah salah. "Dua?" gumamku, kemudian bibir tersenyum. Aku menutup mulut dengan mata yang berkaca-kaca. Ini memang bukan kehamilan pertama, tapi rasanya masih sama seperti waktu tah
"Pagi, Sayang ...."Sepasang tangan melingkar di pinggang, disusul dengan kecupan kecil di pipi. Aku yang tengah berkutat dengan alat masak, membalas sapaan Mas Raffi dengan usapan pelan di lengannya. Hal seperti ini bukan terjadi sekarang, tapi setiap pagi datang. Sikap Mas Raffi selalu hangat dan tambah romantis sejak kami tinggal di rumah ini. Itu mengapa, aku memperkejakan asisten rumah tangga yang pulang pergi. Aku tidak ingin melewatkan keromantisan ini karena ada orang lain di istana kami. "Sudah aku siapkan teh di atas meja. Mas duduk, sebentar lagi gorengan yang aku buat akan matang," ujarku. "Emh ... enggak mau. Aku mau tetap meluk kamu sampai gorengan itu pindah ke meja makan." Mas Raffi berucap manja. "Nanti kamu kecipratan minyak, Mas.""Biarin. Jangankan minyak, percikan api asmara dari luar pun bisa aku padamkan demi kamu.""Hah, gimana-gimana?" Aku menoleh, mencari wajah Mas Raffi yang menyusup di tengkuk leherku. Dia tidak berani mengangkat kepala. Malah semaki
"Gini aja, deh, Fi. Daripada kamu jual perhiasan Raya, mendingan kamu pinjem uang aja dari Mama." Aku yang tadi sudah berpikiran buruk, merasa lebih tenang saat mendengar suara Mama. Ternyata yang masuk tadi bukan Reyhan, melainkan Mama dan Mas Raffi yang membahas perhiasan. Oh, ya ampun. Mas Raffi ketahuan Mama akan menjual perhiasan? Aku berjalan mendekati mereka yang berada di ruang tamu. Pandanganku mengarah pada Mas Raffi yang memberikan isyarat dengan menempelkan jari telunjuk di bibirnya. Aku mengangguk kecil, lalu meraih tangan Mama dan menciumnya. "Rayyan mana, Ra?" tanya Mama tanpa melepaskan tanganku. "Lagi main di ruang tengah, Mah.""Kalau gitu, kamu duduk di sini, Mama mau bicara dengan kalian."Aku dan Mas Raffi saling pandang, lalu aku pun duduk di samping Mama. Begitu pun Mas Raffi. Kami mengapit Mama yang berada di tengah-tengah. "Fi, Ra, kalian ini masih punya orang tua. Ada Mama dan Papa, yang masih bisa bantu kalian. Bukan Mama mau sombong, soal uang, insya
"Semalam aku kaget banget, loh saat Mas Bayu membekap mulutku. Aku kira itu Reyhan."Aku menyeruput jus alpukat seraya memperhatikan Rayyan yang bermain. "Tadi malam, saat aku menyuruh kamu tidur, emang sudah merasakan ketidakberesan di rumah kita. Yang kata aku melihat kucing di kosan, itu sebenarnya yang aku lihat emang manusia.""Kok, gak bilang ke aku?" tanyaku. Saat ini, aku dan Mas Raffi masih membahas kejadian semalam yang membuat tubuh ini bergetar ketakutan. Kami duduk lesehan di teras depan seraya mengasuh Rayyan yang bermain di halaman. "Aku tidak mau kamu takut, Ra. Makanya aku menyuruh kamu tidur cepat. Dan setelah kami tidur, aku langsung menelepon polisi untuk datang secara diam-diam. Dan Bayu juga.""Terus, saat aku bangun dan ke lantai bawah, kamu kan tidak ada. Itu ke mana?" Aku masih bertanya karena penasaran. "Aku di luar. Secara tidak langsung, aku menggiring Reyhan masuk ke kamar tamu lewat jendela. Dan Bayu, saat itu sudah ada di dalam rumah ini. Dia aku su
"Mas Bayu ngapain di sini?" tanyaku, saat dia melepaskan tangannya dari bibirku. "Aku diminta Raffi datang ke sini. Dan kamu tahu, yang ada di kamar itu siapa? Si Reyhan. Dia nyusup masuk ke rumahmu lewat jendela kamar yang tidak dikunci.""Apa?" Rasa terkejutku bertambah berkali lipat. Jika saja tadi aku masuk ke sana, habislah riwayatku. Reyhan pasti akan dengan mudah melakukan perbuatan jahatnya padaku. Suara gagang pintu yang diputar dari dalam kamar tamu, membuatku dan Bayu menoleh. Semakin lama, suara di sana semakin keras. Karena mungkin Reyhan sudah menyadari jika dia masuk perangkap. "Mas Raffi, mana?" tanyaku, karena tak kulihat keberadaan suamiku. "Dia di luar.""Sendirian?" tanyaku lagi. "Temenin, Mas. Aku takut Reyhan menyerang Mas Raffi. Dia belum pulih." Aku panik. Bayu hendak melangkah menjauh dariku, tapi dia urungkan saat ada bayangan yang berjalan mendekat ke arah kami. Tidak lama kemudian, lampu pun menyala membuat ruangan yang gelap menjadi terang. Aku lan
"Mas, kenapa liatin aku terus?" Mama dan Papa, serta semua kakak Mas Raffi sudah pergi beberapa menit yang lalu. Sekarang, tinggallah kami berdua, dan Rayyan yang sudah tidur. Hari memang sudah malam. Perabot pemberian kakak-kakak Mas Raffi pun, sudah disimpan ke tempat yang semestinya. Dibantu kakak dan kakak iparku tentunya. Saat ini, aku dan Mas Raffi tengah duduk berdua di lantai dua rumah kami. Aku dan dia sedang menikmati malam, melihat bintang dan bulan yang bersinar bersamaan. Gorden kaca sengaja dibuka agar langit terlihat jelas. Di depan kami, dua cangkir teh menjadi pelengkap kebersamaanku dengan Mas Raffi. "Malu, ih diliatin terus," kataku lagi, memalingkan wajah ke arah lampu hias berbentuk hati yang berada di sudut ruangan. Mas Raffi menyentuh daguku. Menariknya sangat pelan, agar tatapanku kembali padanya. "Karena aku kagum pada kecantikan istriku ini. Makanya, aku pandang terus.""Ih, gombal, deh," ujarku. Padahal dalam hati, aku bahagia mendapatkan pujian dari
"Saat di hotel waktu itu, sebenarnya Mbak percaya jika kamu tidak melakukan apa-apa dengan Reyhan. Kalau kamu selingkuh dengan Reyhan, untuk apa kamu meminta Mbak datang? Iya, kan?"Aku mengangguk saat Mbak Kinara menjeda ucapannya. Saat ini, hanya ada aku dan dia. Kami duduk berhadapan di meja makan, setelah tadi Mbak Nara memintaku bicara berdua. "Saat kamu pergi dari hotel itu, sebenarnya Mbak masih ada di sana. Mbak menemui Reyhan setelah melihatmu benar-benar keluar dan pergi. Aku meminta Reyhan mengatakan apa yang terjadi antara kami dengannya, versi dia. Meskipun aku tidak percaya pada Reyhan, tapi aku tetap mendengarkan dan merekam pengakuannya. Kamu tahu kenapa?" Mbak Kinara melempar tanya. Aku menggelengkan kepala. Aku tidak mau menduga-duga dan mengatakan yang tidak ada dalam pikiran."Aku cemburu padamu, Ra. Aku iri melihat kedekatan kamu dengan Mama, juga perhatian Mama pada Rayyan.""Ya Allah, Mbak ...." Aku menatap sendu pada Mbak Kinara yang menunduk. "Maafkan Mbak
"Ini untuk kami, Mah?" tanyaku pada Mama, yang tengah membereskan sayuran serta buah segar ke dalam kulkas. Tidak hanya itu, Mama juga membeli bermacam bumbu dapur, juga perlengkapan lainnya. "Iya, Ra. Kalau untuk Mama, tidak mungkin dikeluarkan dari mobil. Ini semua untuk kalian. Mama juga beli vitamin penambah nafsu makan untuk kamu. Tapi, Raffi enggak boleh minum vitamin ini, ya? Dia punya vitamin sendiri dari dokternya," ujar Mama. Aku mengiyakan. Meskipun malu karena keluar dari kamar dalam keadaan rambut yang basah, aku tetap menemui ibu mertua yang tengah berbenah di dapur. Sedangkan Mas Raffi, dia masih di kamar. Sedang berpakaian setelah pada akhir tadi kami mandi bersama. Untunglah, kedua mertuaku paham situasi. Dari mereka tidak ada yang mengetuk pintu kamar sejak kedatangannya. Keduanya kompak membawa bermain Rayyan agar tidak mencari keberadaan orang tuanya. Ck, malu ... aku malu. Tapi, mau gimana lagi? Semuanya gara-gara ... ah, masa iya aku harus menyalahkan Mas