"Kenapa Mas Raffi bisa jatuh, Bi?" Aku bertanya dengan panik. "Tidak tahu, Mbak. Tapi yang Bibi dengar, katanya Den Raffi jatuh pada tumpukan batu."Refleks tanganku langsung menutup mulut saking terkejut dan takut dengan keadaan suamiku sekarang. Dengan pandanganan yang mengembun, aku mengotak-atik ponsel mencari nomor telepon ibu mertua. Kata Bi Marni, Mama sudah pergi ke rumah sakit sejak tadi. Dan aku ingin tahu keadaan suamiku di sana seperti apa. "Angkat, Mah," kataku tak sabar karena teleponku tidak direspon Mama dari seberang sana. Panggilan telepon aku matikan, lalu mengulanginya lagi. Kali ini, Papa tujuanku. Sama dengan Mama, Papa pun tidak menjawab panggilanku. Rasa khawatir dan takut membuatku langsung keluar dari rumah dan pergi ke rumah sakit. Aku berjalan setengah berlari untuk sampai keluar dari komplek dan mendapatkan taksi. Tujuanku saat ini adalah rumah sakit. Aku yakin, jika Mas Raffi dibawa ke rumah sakit milik Papa. Dengan yakin aku mengatakan pada supir
Rasa panas menjalar. Tidak hanya di pipi yang baru saja ditampar Mama, tapi juga ke seluruh tubuh. Aku memegang bagian wajah yang barusan mendapatkan sentuhan keras dari ibu mertua, seraya mata tak lepas dari wajah wanita di depanku itu. "Mama ...." Satu kata keluar dari bibirku saking terkejutnya dengan apa yang Mama lakukan. "Ini wajahmu yang sebenarnya, Raya? Ini, kamu yang sesungguhnya?" ujar Mama dengan telunjuk tepat di depan wajahku. Aku tahu Mama pasti mendapatkan kabar tentangku dari Mbak Kinara. "Mah—""Diam!" ucap Mama pelan, tapi menekan. "Mama tidak menyangka jika kamu serendah itu. Mama tidak pernah berpikir, jika kamu akan tega mengkhianati putraku."Aku menggelengkan kepala menolak tuduhan Mama yang ditujukan padaku. Aku tidak berkhianat. Aku dijebak, dan keadaan memihak pada yang jahat. "Kurang apa Raffi padamu? Salah apa dia hingga kamu tega melakukan ini?" Mama berucap dengan suara bergetar menahan tangis, pun dengan diriku. Aku sudah tidak mampu menahan gena
"Aku dan Raya memang punya hubungan lebih dari sekedar rekan kerja. Kami saling menyukai satu sama lain, dan saling cinta tentunya. Maaf, mungkin ini terdengar konyol, karena aku berhubungan dengan istri dari sahabatku. Tapi inilah kenyataannya. Hal seperti ini pun, tidak terjadi sekarang. Aku dan Raya sering datang ke hotel ini untuk sekedar menuntaskan rasa rindu kami. Maaf, ini akan sangat menyakitkan untuk Mbak Kinara dan juga Om dan Tante. Aku hanya mengatakan kejujuran saja. Aku lelah main kucing-kucingan, dan ingin Raffi meninggalkan Raya demi aku."Suara Reyhan yang bicara pada Mbak Kinara masih terngiang jelas dalam ingatan. Brengsek! Rasanya saat ini aku ingin menghabisi pria itu. Reyhan benar-benar jahat telah membuatku sangat buruk di mata keluarga Mas Raffi. Sepanjang jalan keluar dari rumah sakit, tak ada satu orang pun yang menyapaku, aku balas. Bibir terkatup rapat dengan pandangan lurus ke depan. Satu-satunya orang yang ingin aku temui saat ini adalah Reyhan. Iya,
"Saya gak tahu, Mbak."Aku memijit kening seraya menjatuhkan tubuh di pinggir ranjang. Jika tidak bersama Bi Marni, lalu Rayyan Mama titipkan di mana? Mungkin, gak jika putraku dititipkan di Mbak Cindy atau Mbak Kinanti? Bukankah Mbak Kinan harus bekerja?Aku mengambil ponsel dan langsung menghubungi Mbak Cindy untuk menanyakan keberadaan putraku. Panggilan pertama tidak diangkat. Aku mengulanginya lagi, tapi tetap tidak diangkat. "Mbak, sebenarnya ada apa? Kenapa Ibu marah besar dan menyuruh saya mengemasi barang Mbak Raya?" Aku menoleh pada Bi Marni yang menatapku sendu. Napas kuembuskan kasar. Haruskah aku menjelaskan semuanya? Ah, sepertinya tidak perlu. Nanti pun Bibi akan tahu dari Mama ataupun yang lainnya. Meskipun tentang kejelekanku yang tidak sama sekali aku perbuat, tapi biarkan saja. Aku lelah menjelaskan yang sebenarnya. Aku capek menangis. "Terus sekarang saya harus apa, Mbak? Saya sedih, Mbak Raya pergi dari sini," ujar Bi Marni lagi. "Tapi, saya juga tidak bi
"Mama!" Aku berteriak kencang saat telepon dimatikan sebelah pihak dari sana. Tangan kukepalkan kuat dengan dada naik turun menahan emosi. Aku menarik napas dalam-dalam, menghirup oksigen dengan banyak hingga sesak ini berkurang. Kulihat lagi pintu rumah Mbak Cindy yang tertutup rapat, lalu kaki melangkah pergi meninggalkan bangunan rumah tersebut. Sudah kupastikan, Mbak Cindy tidak ada di rumah. Dia sedang bersama Mama dan putraku juga. Di mana? Di rumah sakit. Lagi-lagi aku berjalan keluar dari perumahan elit ini untuk mendapatkan taksi. Jika saja tahu tidak ada siapa pun di rumah itu, tidak akan aku membuang-buang waktu datang ke sini. Taksi kudapat, aku pun langsung mengarahkan pengendara untuk membawaku ke rumah sakit. Semakin dekat dengan rumah sakit, dada semakin berdetak kencang. Aku memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi di sana saat aku tiba nanti. Mama marah, pasti!Adanya keributan? Itu yang tidak aku inginkan. "Sudah sampai, Bu," ucap supir taksi. Aku
Tanganku mengudara hampir menyentuh Mama. Namun, seseorang dari belakang berhasil memegang kedua lenganku dan menghentikan niat ingin merebut tubuh Rayyan dari ibu mertua."Lepas! Aku hanya ingin anakku!" Aku meronta meminta mereka membiarkanku mengambil Rayyan. Sayangnya aku gagal. Mama berhasil membawa Rayyan keluar dari ruangan ini saat tubuhku ditahan Papa dan Mas Daffa. Aku menangis memanggil Rayyan berharap dia bangun dan lari padaku. Akan tetapi tidak. Lagi-lagi aku kalah oleh Mama. Aku kehilangan putraku. "Kembalikan Rayyan!" ujarku kembali berteriak. "Ra, tenang, Ra. Astagfirullah ... kenapa jadi seperti ini, sih, Pah?" Mas Daffa berucap pelan. Sekarang tubuhku lemas, aku ambruk dan terduduk di lantai seraya tersedu memanggil putraku. Jahatnya mereka padaku. Semuanya bersekongkol untuk memisahkan aku dengan Rayyan. 'Mas Raffi .... Lihatlah keluargamu ini. Mereka tidak memiliki perasaan.' Dalam hati aku menjerit memanggil suamiku. "Sudah, biarkan saja dulu. Biarkan Ray
Hancur. Satu kata yang aku rasakan saat ini. Melihat orang yang kucintai terbaring di atas ranjang dengan banyaknya alat medis yang terpasang di tubuhnya, membuat duniaku limbung. Aku berdiri kaku di samping Mas Raffi yang memejamkan mata. Seperti janji Papa, dia membawaku bertemu Mas Raffi yang keadaannya memprihatikan. "Apa Mas Raffi koma?" tanyaku pada Papa. "Tidak. Dia sedang tidur. Ketika bangun, Raffi mendengar apa yang kita ucapkan, dia tahu siapa yang ada di sekelilingnya, tapi dia tidak bisa bergerak. Raffi hanya mampu membuka tutup mata saat kita mengajaknya bicara."Aku menutup mulut meredam tangis. Tidak, aku tidak diizinkan tersedu. Aku harus kuat agar Mas Raffi pun demikian. "Apa dia akan kenal Raya, Pah?" "Harusnya kenal."Aku maju satu langkah agar semakin dekat dengan Mas Raffi. Jika saja di tubuh suamiku tidak banyak kabel yang entah gunanya untuk apa, juga di mulutnya tidak ada selang, mungkin saat ini aku akan memeluknya. Aku sangat merindukan dia. Aku in
"Papa, kok pulang? Bawa Raya, lagi?" "Astagfirullah, Mama. Raya anak kita, tempat tinggalnya pun di sini dengan kita," ujar Papa seraya membuka sepatunya. Aku masih berdiri di ambang pintu utama, tidak berani masuk setelah mendapatkan tatapan bengis dari ibu mertua saat datang tadi. Sudah aku duga. Mama pasti keberatan melihat keberadaanku di rumahnya. "Itu dulu. Sebelum dia mengkhianati anak kita. Sekarang, wanita itu sudah bukan bagian dari keluarga kita lagi. Mama tidak mau bermenantukan wanita murahan seperti dia.""Jadi, Mama kekeh mau Raya pergi dari sini?" tanya Papa pada istrinya itu. "Iya. Mama kecewa sama dia. Sudah dibaikin, malah ngelunjak. Papa tidak lihat, bagaimana sikap dia pada Mama tadi? Di luar dugaan, Pah. Mama sampai merinding mendengar kata-kata yang keluar dari bibirnya. Tidak nyangka, Mama."Entah sandiwara atau benar-benar terluka oleh kata-kataku, hingga Mama menangis di depan Papa. Ada rasa bersalah dari dalam hati karena telah berteriak kepada Mama. T