Hancur. Satu kata yang aku rasakan saat ini. Melihat orang yang kucintai terbaring di atas ranjang dengan banyaknya alat medis yang terpasang di tubuhnya, membuat duniaku limbung. Aku berdiri kaku di samping Mas Raffi yang memejamkan mata. Seperti janji Papa, dia membawaku bertemu Mas Raffi yang keadaannya memprihatikan. "Apa Mas Raffi koma?" tanyaku pada Papa. "Tidak. Dia sedang tidur. Ketika bangun, Raffi mendengar apa yang kita ucapkan, dia tahu siapa yang ada di sekelilingnya, tapi dia tidak bisa bergerak. Raffi hanya mampu membuka tutup mata saat kita mengajaknya bicara."Aku menutup mulut meredam tangis. Tidak, aku tidak diizinkan tersedu. Aku harus kuat agar Mas Raffi pun demikian. "Apa dia akan kenal Raya, Pah?" "Harusnya kenal."Aku maju satu langkah agar semakin dekat dengan Mas Raffi. Jika saja di tubuh suamiku tidak banyak kabel yang entah gunanya untuk apa, juga di mulutnya tidak ada selang, mungkin saat ini aku akan memeluknya. Aku sangat merindukan dia. Aku in
"Papa, kok pulang? Bawa Raya, lagi?" "Astagfirullah, Mama. Raya anak kita, tempat tinggalnya pun di sini dengan kita," ujar Papa seraya membuka sepatunya. Aku masih berdiri di ambang pintu utama, tidak berani masuk setelah mendapatkan tatapan bengis dari ibu mertua saat datang tadi. Sudah aku duga. Mama pasti keberatan melihat keberadaanku di rumahnya. "Itu dulu. Sebelum dia mengkhianati anak kita. Sekarang, wanita itu sudah bukan bagian dari keluarga kita lagi. Mama tidak mau bermenantukan wanita murahan seperti dia.""Jadi, Mama kekeh mau Raya pergi dari sini?" tanya Papa pada istrinya itu. "Iya. Mama kecewa sama dia. Sudah dibaikin, malah ngelunjak. Papa tidak lihat, bagaimana sikap dia pada Mama tadi? Di luar dugaan, Pah. Mama sampai merinding mendengar kata-kata yang keluar dari bibirnya. Tidak nyangka, Mama."Entah sandiwara atau benar-benar terluka oleh kata-kataku, hingga Mama menangis di depan Papa. Ada rasa bersalah dari dalam hati karena telah berteriak kepada Mama. T
Pelan dan bergetar Mama mengucapkan kalimat yang membuatku terpaku di tempat. Pandangan aku arahkan pada Papa, yang mengedipkan mata memberikan isyarat agar aku tidak menjawab ucapan istrinya. Setelah berucap, Mama menurunkan kakinya menginjak tanah, lalu masuk ke dalam mobil. Papa memanggil Pak Tarmin, kemudian mobil pun melaju meninggalkan halaman.Harusnya aku bahagia karena Rayyan akan ikut denganku. Akan tetapi, mata langsung memanas hingga air keluar dari sudut mata. Aku tidak menyangkal jika jalan hidupku akan semenyedihkan ini. Aku diusir mertua, diminta menjauh dari putranya. "Rayyan ...." Bibirku menyebut nama si buah hati. Sebelah tangan mengusap air yang meleleh di pipi, kemudian aku langsung masuk ke rumah dan pergi ke kamar Rayyan.Tidak ada. Anakku tidak ada di kamarnya. Tahu di mana Rayyan berada, aku pun membuka pintu kamar Mama dan tersenyum saat melihat putraku tidur pulas di atas ranjang king size ibu mertua. Aku naik ke tempat tidur, lalu memeluk Rayyan de
"Kita gak jadi ke Garut, Neng. Bapak menyuruh saya membawa Neng Raya ke vila temannya yang ada di Lembang Bandung.""Loh, kok gitu, Pak? Saya mau ke kampung saja.""Punten, Neng. Saya gak berani ngelanggar perintah Bapak. Coba, Neng Raya saja yang tanya sendiri pada Bapak. Pasti beliau akan mengatakan yang saya ucapkan barusan," tutur Pak Tarmin, dengan sesekali menoleh ke belakang. Aku mengambil ponsel dari dalam tas, lalu menelepon Papa. Namun, tidak diangkat. Papa mengabaikan panggilanku. Ingin mengulanginya lagi, tapi takut mengganggu Papa yang sedang di rumah sakit. Akhirnya aku memutuskan untuk mengirimkan pesan kepada ayah mertuaku itu. [Papa, kok Raya dibawa ke Lembang? Kenapa, Pah?] tulisku. Beberapa menit berlalu, tapi pesan yang aku kirim belum ada balasan juga. Akhirnya aku hanya bisa mengembuskan napas kasar, tanpa ingin menunggu Papa memberikan penjelasan. Mungkin aku akan mencoba meneleponnya lagi setelah sampai di tempat tujuan. Vila, itu tempat yang akan jadi te
Aku mengusap air yang meleleh di pipi. Iya, aku menangis lagi. Tapi, kali ini bukan tangis kesedihan, melainkan tangis hari akan kebaikan ayah mertua. Sejauh itu dia memikirkan aku dan cucunya. Aku kira, Papa akan lepas tangan dan membiarkanku pulang ke kampung halaman. Ternyata, tidak. Papa justru menempatkan aku di sini dengan semua perlengkapan yang aku butuhkan. "Terima kasih, Papa," ucapku kemudian. "Sama-sama. Sengaja Papa memilih tempat itu untuk tempat tinggal sementara kamu. Selian udaranya sejuk, juga agar Papa tidak jauh jika nanti ingin menjenguk kalian. Baik-baik kamu di sana, ya? Ada Ceu Imas dan Kang Asep juga di sana, sebagai penjaga vila, sekaligus orang yang bisa kamu mintai tolong. Jangan sungkan untuk panggil mereka jika kamu butuh sesuatu, ya? Mereka Papa bayar, jadi jangan merasa tidak enakan," ujar Papa menjelaskan tentang sepasang suami istri yang tadi menyambutku. Dalam hati aku mengucap syukur dengan apa yang aku dapat saat ini. Di balik kesedihan, kepilu
Hati gelisah menunggu Mbak Kinanti membalas pesanku. Satu menit, dia menit hingga satu jam lamanya, Mbak Kinanti tidak lagi mengirim pesan. Aku memutuskan menelpon dia, tapi tidak diangkat. Ada apa? Kenapa tiba-tiba Mbak Kinanti menghilang tanpa memberikan penjelasan? "Apa Mbak Kinan tidur, ya?" gumamku menerawang. Aku pun memutuskan untuk menanyakan perihal bukti itu di esok hari. Sekarang, aku naik ke atas ranjang, mencoba memejamkan mata di samping Rayyan.Ini adalah hal yang langka. Di mana, akhirnya aku bisa merasakan tidur sembari memeluk putraku. Semakin lama, dingin semakin terasa menusuk kulit. Aku menarik selimut semakin tinggi, memejamkan mata semakin erat, hingga akhirnya terlelap. Subuh di sini tidak seperti subuh di Jakarta. Air yang biasanya terasa menyegarkan, justru membuatku kedinginan. Gigiku gemeretak setelah selesai berwudhu. Saking dinginnya. "Nda ...."Putraku menggeliat seraya mengerjapkan mata. "Ini masih gelap, Nak. Tidur lagi, ya? Bunda salat dulu
Aku langsung memblokir nomor Reyhan agar dia tidak bisa lagi menghubungiku. Bodoh amat dia nyasar atau mati sekalipun, aku tidak peduli. Di teras depan, Ceu Imas dan Kang Asep sedang menata ikan bakar beserta nasi liwet yang. Mereka menyimpannya di atas daun pisang yang sudah dicuci bersih, bersama dengan beberapa lauk lainnya. "Ya ampun, Ceu .... Kita makan cuma bertiga, tapi itu ikannya banyak banget," kataku. Tiga ekor ikan berukuran besar terhidang, lengkap dengan sambal dan lalapan. Perutku sudah terasa lapar, semakin keroncongan melihat makanan yang menggiurkan di depan mata. "Tidak apa-apa, Neng. Biar Neng Raya sama Dedek kenyang. Ayo, makan yang banyak. Kalau kurang, nanti Kang Asep tangkap ikan yang lebih besar dari ini," tutur Kang Asep membuatku menggeleng-gelengkan kepala seraya tersenyum. Saat sepasang suami istri itu mulai menikmati makanannya, aku malah diam seraya menatap ikan mas bakar. Seandainya jika Mas Raffi ada di sini, mungkin makanan itu akan terasa lebi
"Jangan bilang Mas Raffi hilang ingatan dan tidak mengingat aku, Pah."Papa terkekeh kecil. "Tidak, Raya. Dia ingat kamu, kok. Dia juga ingat Rayyan. Namun ... doakan saja yang terbaik untuk Raffi, ya?" "Kalau doa, tidak diminta pun pasti aku doakan, Pah. Papa menyembunyikan sesuatu dari aku, ya? Mas Raffi kenapa? Dia kenapa, Pah?" Papa berdecak. Dia membenarkan letak kacamata yang bertengger di hidungnya, lalu berdehem seraya memperbaiki letak duduk menjadi sedikit tegak. Dilihat dari gesture tubuh Papa, sepertinya memang ada yang disembunyikan. Tadi pun Papa akan mengatakan sesuatu, tapi malah mengalihkannya ke yang lain. "Pah, katanya Raya ini anak Papa, katanya Papa sayang dan peduli pada Raya. Ayo, dong, Pah. Katakan saja, apa yang berita buruk itu? Mas Raffi kenapa? Dia lumpuh? Oke, gak apa-apa. Aku tidak akan merasa sedih dan malu beristrikan pria lumpuh. Aku tetep mau, kok merawat Mas Raffi meskipun dia tidak bisa berjalan." Panjang lebar aku bicara berharap Papa akan men