Aku langsung memblokir nomor Reyhan agar dia tidak bisa lagi menghubungiku. Bodoh amat dia nyasar atau mati sekalipun, aku tidak peduli. Di teras depan, Ceu Imas dan Kang Asep sedang menata ikan bakar beserta nasi liwet yang. Mereka menyimpannya di atas daun pisang yang sudah dicuci bersih, bersama dengan beberapa lauk lainnya. "Ya ampun, Ceu .... Kita makan cuma bertiga, tapi itu ikannya banyak banget," kataku. Tiga ekor ikan berukuran besar terhidang, lengkap dengan sambal dan lalapan. Perutku sudah terasa lapar, semakin keroncongan melihat makanan yang menggiurkan di depan mata. "Tidak apa-apa, Neng. Biar Neng Raya sama Dedek kenyang. Ayo, makan yang banyak. Kalau kurang, nanti Kang Asep tangkap ikan yang lebih besar dari ini," tutur Kang Asep membuatku menggeleng-gelengkan kepala seraya tersenyum. Saat sepasang suami istri itu mulai menikmati makanannya, aku malah diam seraya menatap ikan mas bakar. Seandainya jika Mas Raffi ada di sini, mungkin makanan itu akan terasa lebi
"Jangan bilang Mas Raffi hilang ingatan dan tidak mengingat aku, Pah."Papa terkekeh kecil. "Tidak, Raya. Dia ingat kamu, kok. Dia juga ingat Rayyan. Namun ... doakan saja yang terbaik untuk Raffi, ya?" "Kalau doa, tidak diminta pun pasti aku doakan, Pah. Papa menyembunyikan sesuatu dari aku, ya? Mas Raffi kenapa? Dia kenapa, Pah?" Papa berdecak. Dia membenarkan letak kacamata yang bertengger di hidungnya, lalu berdehem seraya memperbaiki letak duduk menjadi sedikit tegak. Dilihat dari gesture tubuh Papa, sepertinya memang ada yang disembunyikan. Tadi pun Papa akan mengatakan sesuatu, tapi malah mengalihkannya ke yang lain. "Pah, katanya Raya ini anak Papa, katanya Papa sayang dan peduli pada Raya. Ayo, dong, Pah. Katakan saja, apa yang berita buruk itu? Mas Raffi kenapa? Dia lumpuh? Oke, gak apa-apa. Aku tidak akan merasa sedih dan malu beristrikan pria lumpuh. Aku tetep mau, kok merawat Mas Raffi meskipun dia tidak bisa berjalan." Panjang lebar aku bicara berharap Papa akan men
Air mata aku hapus dari pipi, kemudian berdehem sebelum mengangkat panggilan. "Assalamualaikum," kataku, seraya menempelkan ponsel ke telinga. "Waalaikumsalam. Gimana kabar kamu dan Rayyan, Dek?" "Alhamdulillah baik, Mbak."Hening.Mbak Kinanti diam, begitu pula dengan diriku. Aku menahan diri untuk bertanya tentang bukti yang pernah dia bahas waktu itu. Inginku, dia mengatakannya sebelum aku yang meminta. "Raya." Mbak Kinanti menyebut namaku. "Iya, Mbak. Apa semuanya baik-baik saja? Mas Raffi gimana sekarang?" "Alhamdulillah, Raffi sudah ada kemajuan. Ra, Mbak menelepon kamu, ingin membahas soal bukti yang pernah Mbak katakan.""Oh, iya, Mbak. Gimana? Bukti apa? Apa Mas Raffi sudah tahu tentang itu?" Rentetan pertanyaan aku berikan pada kakak iparku. Alih-alih langsung menjawab, Mbak Kinanti malah diam lagi. Semakin membuatku penasaran sekaligus mencurigainya. Apa mungkin, jika sebenarnya Mbak Kinanti tidak memiliki bukti itu? Jangan-jangan dia dan Reyhan kerja sama untuk m
Suara Rayyan yang baru saja berucap, tenggelam oleh suara isakku yang tiba-tiba keluar. Cepat aku menutup mulut dengan kedua tangan agar tidak mengeluarkan suara, saat pria itu membuka kacamata serta masker yang menutup sebagian wajahnya. Pandanganku terhalang, karena sekarang air mata sudah bercucuran saking tak percaya dengan apa yang aku saksikan saat ini. "Mas ...." Bibir berucap bergetar. Dia tersenyum. Kedua tangannya terlentang, tapi tubuhku kaku. Aku tetap bergeming meskipun kini dia mendekapku dengan erat. Tanganku yang tadi menutup mulut, kini mencubit pipi, membuktikan pada diri jika ini bukanlah mimpi. "Mas Raffi ...." Aku menyebut namanya. Nama yang selalu aku ucapkan dalam doa. Nama yang tidak pernah hilang dari ingatan, meskipun kami terpisahkan. "Yah, ini aku. Aku memenuhi permintaanmu."Tidak bisa dibendung lagi. Kali ini aku meraung menangisi kehadiran dia yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya. Ini seperti mimpi. Aku hampir tidak percaya jika orang yang
"Ini sakit?" Aku bertanya seraya mengusap kepala Mas Raffi yang tidak ditumbuhi rambut. Ia, dia botak. Mas Raffi memangkas habis rambutnya untuk memudahkan mengobati luka yang terdapat di kepala bagian belakang. "Sakit, tapi munculnya kadang-kadang. Tak apa, nanti pun sembuh, kok. Jangan khawatir," ujarnya terdengar tidak ada beban. Namun, aku yang melihat jahitan luka di bagian belakang kepala Mas Raffi, merasa ngilu sendiri. Jika harus menebak, sepertinya luka itu sangat dalam. Pantaslah suamiku sampai kritis. Karena luka yang berada di tubuhnya tidak hanya sedikit. Tapi, banyak, hingga aku meringis melihat luka jahitan bertaburan di punggung serta bagian tubuh yang lainnya. "Cakit, Pah?" Akhirnya Rayyan mengeluarkan suara setelah tadi ketakutan karena ayahnya botak. "Enggak. Kalau ada Rayyan sama Bunda, sakitnya jadi hilang," ujar Mas Raffi, menurunkan kaus yang tadi dia singkap untuk memperlihatkan luka bekas kecelakaannya. "Rayyan sayang, kan sama Papa? Kalau sayang, peluk
"Selamat pagi, Mas." Aku berbisik pelan di telinga suamiku yang masih terpejam. Wajahnya aku pandang, mencari perbedaan dia yang dulu dan sekarang. Tidak aku temukan. Hanya saja, sedikit tirus karena bobot tubuhnya berkurang. Puas memandangi wajah Mas Raffi, kali ini mataku beralih pada Rayyan. Senyumku terukir kala menyadari posisi tidur Mas Raffi dan Rayyan sangatlah sama persis. Tidak ingin mengganggu keduanya, aku pun turun dari ranjang dengan sangat hati-hati. Aku pergi ke kamar mandi, membasuh muka dan menggosok gigi. Sebenarnya, ini belum pagi. Bahkan adzan subuh pun belum berkumandang. Namun, sengaja aku bangun lebih awal, karena harus berkemas untuk pulang. Dada aku raba karena tiba-tiba jantung berdetak kencang. Rasa was-was datang, membuatku ragu untuk kembali. "Apa aku telpon Mama aja, ya? Minta maaf sekarang," kataku, seraya menatap wajah diri dari pantulan cermin kamar mandi. "Ah, jangan Raya .... Tidak sopan," lanjutku lagi seperti orang gila yang bicara pada ba
"Ini bukti besarnya rasa cintaku padamu, Raya. Namamu tidak hanya terukir di dalam hati, tapi juga berdiri kokoh di setiap pintu gerbang kontrakan kita."Aku menatap dengan mata berkaca-kaca tulisan 'Raihana' yang berada di depan sebuah bangunan yang tidak lain kos-kosan milik Mas Raffi. Milik kami, katanya. Mas Raffi sengaja menyuruh Pak Tarmin menghentikan laju mobil sebelum sampai di tempat tujuan, demi untuk memperlihatkan bangunan yang akan menjadi ladang usaha kami selanjutnya. Aku kira, kos-kosan yang dibuat Mas Raffi berlantai satu, dan hanya memiliki satu ruangan saja. Akan tetapi, tidak. Mas Raffi membuat bangunan itu menjadi dua lantai, dengan jumlah sepuluh kamar. Dan di setiap kamar, terdiri dari dua ruangan. "Ini untuk putri. Kamar mandinya ada empat. Dua di bawah, dan dua di atas. Nanti, kalau sudah ada penghuninya, kamu yang akan mengurus ini. Kamu awasi mereka, agar tidak membawa laki-laki ke sini. Kamu jadi ibu kos," ujar Mas Raffi. Aku melihat wajah Mas Raffi se
"Maafkan Raya juga, Mah. Raya telah berdosa. Raya sudah membentak dan bicara kasar pada Mama. Maaf, Mah ...," ujarku masih memeluk tubuh ibu mertua. Mama mengurai pelukan. Dia memegang kedua pundakku dengan kepala yang manggut-manggut. Sebelah tangannya mengusap pipiku yang basah akibat air mata yang melintas. "Raya ridho, jika Mama ingin membalas sakit hati Mama pada Raya. Silakan, Mah. Mama tampar Raya pun, Raya tidak keberatan," ujarku lagi. "Tidak, Raya. Mama tidak akan melakukan itu. Mama yang salah, Nak. Mama yang selalu menang sendiri. Mama juga tidak mau mendengarkan penjelasan kamu waktu itu. Mama menyesal, Mama mertua yang jahat karena telah mengusirmu."Aku kembali memeluk Mama. Cukup lama, hingga kedatangan Mas Raffi membuat kami saling melepaskan diri. Suamiku itu menyuruh aku dan Mama untuk bicara sambil duduk. Dan aku pun menurut. Aku dan Mama duduk di sofa yang ada di lantai dua ini. Rayyan yang tadi dibawa Pak Tarmin, ia keluar dari salah satu kamar bersama Papa.
"Raihanum." Aku menyebut nama dari bayi perempuan yang sedang menggeliat di tempat tidurnya. Bibirku tersenyum manis menatap sepasang mata yang mulai melihat dunia. "Selamat pagi, Sayang ...." Aku mengusap pelan pipinya dengan jari telunjukku. Dia menggoyangkan kepalanya seolah merasa terganggu dengan sentuhan lembutku. Bibirnya bergerak seperti mengemut sesuatu. Dan aku semakin gemas melihat itu. "Hey, princess Papa sudah bangun ternyata?" Aku menoleh pada Mas Raffi yang baru saja datang, dan langsung menghampiriku. Bukan. Bukan aku yang dia datangi, melainkan putri kecilnya. "Sepertinya dia haus, Sayang," ujarnya lagi. "Iya. Dia cari sesuatu.""Kasihlah. Kasihan dia."Aku pun mengambil bayi perempuan berusia empat puluh hari itu. Kini, dia menggeliat dalam gendongan, lalu kepalanya ke kanan dan kiri mencari sarapan paginya. Aku membuka kancing piyamaku, kemudian memberikan asupan gizi untuk putriku tercinta. "Persiapan di bawah gimana, Mas?" Aku melihat pada Mas Raffi. "
"Sayang ... udah belum?" "Belum!" Aku berteriak menjawab pertanyaan Mas Raffi. Saat ini aku tengah mondar-mandir di kamar mandi seraya memegang testpack. Sudah lima belas menit aku di dalam sini, tapi benda kecil itu belum menyentuh urinku. Rasanya campur aduk antara takut tidak sesuai dengan ekspektasi, juga penasaran yang luar biasa. "Sayang, ayo, dong! Masa dari tadi belum terus!" Mas Raffi kembali berujar. "Iya, bentar, Mas!"Dengan tangan yang bergetar, aku memasukkan testpack ke dalam urin yang sudah aku tampung dalam wadah. Setelah beberapa detik menunggu, aku mengangkatnya dengan mata terpejam. Sebelah mata aku buka sedikit, mencari garis yang menjadi penentu aku hamil atau tidaknya. Samar-samar aku melihat garis itu, hingga akhirnya mata kubuka lebar-lebar untuk memastikan penglihatanku tidaklah salah. "Dua?" gumamku, kemudian bibir tersenyum. Aku menutup mulut dengan mata yang berkaca-kaca. Ini memang bukan kehamilan pertama, tapi rasanya masih sama seperti waktu tah
"Pagi, Sayang ...."Sepasang tangan melingkar di pinggang, disusul dengan kecupan kecil di pipi. Aku yang tengah berkutat dengan alat masak, membalas sapaan Mas Raffi dengan usapan pelan di lengannya. Hal seperti ini bukan terjadi sekarang, tapi setiap pagi datang. Sikap Mas Raffi selalu hangat dan tambah romantis sejak kami tinggal di rumah ini. Itu mengapa, aku memperkejakan asisten rumah tangga yang pulang pergi. Aku tidak ingin melewatkan keromantisan ini karena ada orang lain di istana kami. "Sudah aku siapkan teh di atas meja. Mas duduk, sebentar lagi gorengan yang aku buat akan matang," ujarku. "Emh ... enggak mau. Aku mau tetap meluk kamu sampai gorengan itu pindah ke meja makan." Mas Raffi berucap manja. "Nanti kamu kecipratan minyak, Mas.""Biarin. Jangankan minyak, percikan api asmara dari luar pun bisa aku padamkan demi kamu.""Hah, gimana-gimana?" Aku menoleh, mencari wajah Mas Raffi yang menyusup di tengkuk leherku. Dia tidak berani mengangkat kepala. Malah semaki
"Gini aja, deh, Fi. Daripada kamu jual perhiasan Raya, mendingan kamu pinjem uang aja dari Mama." Aku yang tadi sudah berpikiran buruk, merasa lebih tenang saat mendengar suara Mama. Ternyata yang masuk tadi bukan Reyhan, melainkan Mama dan Mas Raffi yang membahas perhiasan. Oh, ya ampun. Mas Raffi ketahuan Mama akan menjual perhiasan? Aku berjalan mendekati mereka yang berada di ruang tamu. Pandanganku mengarah pada Mas Raffi yang memberikan isyarat dengan menempelkan jari telunjuk di bibirnya. Aku mengangguk kecil, lalu meraih tangan Mama dan menciumnya. "Rayyan mana, Ra?" tanya Mama tanpa melepaskan tanganku. "Lagi main di ruang tengah, Mah.""Kalau gitu, kamu duduk di sini, Mama mau bicara dengan kalian."Aku dan Mas Raffi saling pandang, lalu aku pun duduk di samping Mama. Begitu pun Mas Raffi. Kami mengapit Mama yang berada di tengah-tengah. "Fi, Ra, kalian ini masih punya orang tua. Ada Mama dan Papa, yang masih bisa bantu kalian. Bukan Mama mau sombong, soal uang, insya
"Semalam aku kaget banget, loh saat Mas Bayu membekap mulutku. Aku kira itu Reyhan."Aku menyeruput jus alpukat seraya memperhatikan Rayyan yang bermain. "Tadi malam, saat aku menyuruh kamu tidur, emang sudah merasakan ketidakberesan di rumah kita. Yang kata aku melihat kucing di kosan, itu sebenarnya yang aku lihat emang manusia.""Kok, gak bilang ke aku?" tanyaku. Saat ini, aku dan Mas Raffi masih membahas kejadian semalam yang membuat tubuh ini bergetar ketakutan. Kami duduk lesehan di teras depan seraya mengasuh Rayyan yang bermain di halaman. "Aku tidak mau kamu takut, Ra. Makanya aku menyuruh kamu tidur cepat. Dan setelah kami tidur, aku langsung menelepon polisi untuk datang secara diam-diam. Dan Bayu juga.""Terus, saat aku bangun dan ke lantai bawah, kamu kan tidak ada. Itu ke mana?" Aku masih bertanya karena penasaran. "Aku di luar. Secara tidak langsung, aku menggiring Reyhan masuk ke kamar tamu lewat jendela. Dan Bayu, saat itu sudah ada di dalam rumah ini. Dia aku su
"Mas Bayu ngapain di sini?" tanyaku, saat dia melepaskan tangannya dari bibirku. "Aku diminta Raffi datang ke sini. Dan kamu tahu, yang ada di kamar itu siapa? Si Reyhan. Dia nyusup masuk ke rumahmu lewat jendela kamar yang tidak dikunci.""Apa?" Rasa terkejutku bertambah berkali lipat. Jika saja tadi aku masuk ke sana, habislah riwayatku. Reyhan pasti akan dengan mudah melakukan perbuatan jahatnya padaku. Suara gagang pintu yang diputar dari dalam kamar tamu, membuatku dan Bayu menoleh. Semakin lama, suara di sana semakin keras. Karena mungkin Reyhan sudah menyadari jika dia masuk perangkap. "Mas Raffi, mana?" tanyaku, karena tak kulihat keberadaan suamiku. "Dia di luar.""Sendirian?" tanyaku lagi. "Temenin, Mas. Aku takut Reyhan menyerang Mas Raffi. Dia belum pulih." Aku panik. Bayu hendak melangkah menjauh dariku, tapi dia urungkan saat ada bayangan yang berjalan mendekat ke arah kami. Tidak lama kemudian, lampu pun menyala membuat ruangan yang gelap menjadi terang. Aku lan
"Mas, kenapa liatin aku terus?" Mama dan Papa, serta semua kakak Mas Raffi sudah pergi beberapa menit yang lalu. Sekarang, tinggallah kami berdua, dan Rayyan yang sudah tidur. Hari memang sudah malam. Perabot pemberian kakak-kakak Mas Raffi pun, sudah disimpan ke tempat yang semestinya. Dibantu kakak dan kakak iparku tentunya. Saat ini, aku dan Mas Raffi tengah duduk berdua di lantai dua rumah kami. Aku dan dia sedang menikmati malam, melihat bintang dan bulan yang bersinar bersamaan. Gorden kaca sengaja dibuka agar langit terlihat jelas. Di depan kami, dua cangkir teh menjadi pelengkap kebersamaanku dengan Mas Raffi. "Malu, ih diliatin terus," kataku lagi, memalingkan wajah ke arah lampu hias berbentuk hati yang berada di sudut ruangan. Mas Raffi menyentuh daguku. Menariknya sangat pelan, agar tatapanku kembali padanya. "Karena aku kagum pada kecantikan istriku ini. Makanya, aku pandang terus.""Ih, gombal, deh," ujarku. Padahal dalam hati, aku bahagia mendapatkan pujian dari
"Saat di hotel waktu itu, sebenarnya Mbak percaya jika kamu tidak melakukan apa-apa dengan Reyhan. Kalau kamu selingkuh dengan Reyhan, untuk apa kamu meminta Mbak datang? Iya, kan?"Aku mengangguk saat Mbak Kinara menjeda ucapannya. Saat ini, hanya ada aku dan dia. Kami duduk berhadapan di meja makan, setelah tadi Mbak Nara memintaku bicara berdua. "Saat kamu pergi dari hotel itu, sebenarnya Mbak masih ada di sana. Mbak menemui Reyhan setelah melihatmu benar-benar keluar dan pergi. Aku meminta Reyhan mengatakan apa yang terjadi antara kami dengannya, versi dia. Meskipun aku tidak percaya pada Reyhan, tapi aku tetap mendengarkan dan merekam pengakuannya. Kamu tahu kenapa?" Mbak Kinara melempar tanya. Aku menggelengkan kepala. Aku tidak mau menduga-duga dan mengatakan yang tidak ada dalam pikiran."Aku cemburu padamu, Ra. Aku iri melihat kedekatan kamu dengan Mama, juga perhatian Mama pada Rayyan.""Ya Allah, Mbak ...." Aku menatap sendu pada Mbak Kinara yang menunduk. "Maafkan Mbak
"Ini untuk kami, Mah?" tanyaku pada Mama, yang tengah membereskan sayuran serta buah segar ke dalam kulkas. Tidak hanya itu, Mama juga membeli bermacam bumbu dapur, juga perlengkapan lainnya. "Iya, Ra. Kalau untuk Mama, tidak mungkin dikeluarkan dari mobil. Ini semua untuk kalian. Mama juga beli vitamin penambah nafsu makan untuk kamu. Tapi, Raffi enggak boleh minum vitamin ini, ya? Dia punya vitamin sendiri dari dokternya," ujar Mama. Aku mengiyakan. Meskipun malu karena keluar dari kamar dalam keadaan rambut yang basah, aku tetap menemui ibu mertua yang tengah berbenah di dapur. Sedangkan Mas Raffi, dia masih di kamar. Sedang berpakaian setelah pada akhir tadi kami mandi bersama. Untunglah, kedua mertuaku paham situasi. Dari mereka tidak ada yang mengetuk pintu kamar sejak kedatangannya. Keduanya kompak membawa bermain Rayyan agar tidak mencari keberadaan orang tuanya. Ck, malu ... aku malu. Tapi, mau gimana lagi? Semuanya gara-gara ... ah, masa iya aku harus menyalahkan Mas