"Selamat pagi, Mas." Aku berbisik pelan di telinga suamiku yang masih terpejam. Wajahnya aku pandang, mencari perbedaan dia yang dulu dan sekarang. Tidak aku temukan. Hanya saja, sedikit tirus karena bobot tubuhnya berkurang. Puas memandangi wajah Mas Raffi, kali ini mataku beralih pada Rayyan. Senyumku terukir kala menyadari posisi tidur Mas Raffi dan Rayyan sangatlah sama persis. Tidak ingin mengganggu keduanya, aku pun turun dari ranjang dengan sangat hati-hati. Aku pergi ke kamar mandi, membasuh muka dan menggosok gigi. Sebenarnya, ini belum pagi. Bahkan adzan subuh pun belum berkumandang. Namun, sengaja aku bangun lebih awal, karena harus berkemas untuk pulang. Dada aku raba karena tiba-tiba jantung berdetak kencang. Rasa was-was datang, membuatku ragu untuk kembali. "Apa aku telpon Mama aja, ya? Minta maaf sekarang," kataku, seraya menatap wajah diri dari pantulan cermin kamar mandi. "Ah, jangan Raya .... Tidak sopan," lanjutku lagi seperti orang gila yang bicara pada ba
"Ini bukti besarnya rasa cintaku padamu, Raya. Namamu tidak hanya terukir di dalam hati, tapi juga berdiri kokoh di setiap pintu gerbang kontrakan kita."Aku menatap dengan mata berkaca-kaca tulisan 'Raihana' yang berada di depan sebuah bangunan yang tidak lain kos-kosan milik Mas Raffi. Milik kami, katanya. Mas Raffi sengaja menyuruh Pak Tarmin menghentikan laju mobil sebelum sampai di tempat tujuan, demi untuk memperlihatkan bangunan yang akan menjadi ladang usaha kami selanjutnya. Aku kira, kos-kosan yang dibuat Mas Raffi berlantai satu, dan hanya memiliki satu ruangan saja. Akan tetapi, tidak. Mas Raffi membuat bangunan itu menjadi dua lantai, dengan jumlah sepuluh kamar. Dan di setiap kamar, terdiri dari dua ruangan. "Ini untuk putri. Kamar mandinya ada empat. Dua di bawah, dan dua di atas. Nanti, kalau sudah ada penghuninya, kamu yang akan mengurus ini. Kamu awasi mereka, agar tidak membawa laki-laki ke sini. Kamu jadi ibu kos," ujar Mas Raffi. Aku melihat wajah Mas Raffi se
"Maafkan Raya juga, Mah. Raya telah berdosa. Raya sudah membentak dan bicara kasar pada Mama. Maaf, Mah ...," ujarku masih memeluk tubuh ibu mertua. Mama mengurai pelukan. Dia memegang kedua pundakku dengan kepala yang manggut-manggut. Sebelah tangannya mengusap pipiku yang basah akibat air mata yang melintas. "Raya ridho, jika Mama ingin membalas sakit hati Mama pada Raya. Silakan, Mah. Mama tampar Raya pun, Raya tidak keberatan," ujarku lagi. "Tidak, Raya. Mama tidak akan melakukan itu. Mama yang salah, Nak. Mama yang selalu menang sendiri. Mama juga tidak mau mendengarkan penjelasan kamu waktu itu. Mama menyesal, Mama mertua yang jahat karena telah mengusirmu."Aku kembali memeluk Mama. Cukup lama, hingga kedatangan Mas Raffi membuat kami saling melepaskan diri. Suamiku itu menyuruh aku dan Mama untuk bicara sambil duduk. Dan aku pun menurut. Aku dan Mama duduk di sofa yang ada di lantai dua ini. Rayyan yang tadi dibawa Pak Tarmin, ia keluar dari salah satu kamar bersama Papa.
"Aduh.""Kenapa, Mas?" Aku melihatnya khawatir ketika dia mengaduh sambil meringis. "Ngilu," katanya. "Yang mana?" "Ini yang di punggung. Tadi keusap sama kamu.""Tuh, kan ... kata aku juga apa. Jangan dulu, tapi kamunya ngeyel. Coba lihat, berdarah, gak?" Mas Raffi memunggungiku, memperlihatkan lukanya yang tadi kata dia terasa ngilu. Aku bisa bernapas lega, karena ternyata tidak ada darah yang keluar dari sana.Mas Raffi membalikkan tubuhnya lagi menghadapku setelah kukatakan lukanya baik-baik saja. Tangannya merangkul pinggangku, menariknya perlahan hingga jarak diriku dengan dia hanya beberapa senti saja. Embusan napasnya terasa hangat menerpa keningku. Sentuhan lembut bibirnya pun membuatku tersenyum mengingat kejadian beberapa menit yang lalu. "Mas, kamu tahu, gak. Saat di Bandung, aku sering menangisi kamu. Setiap solat, aku terus menyebut namamu di dalam hati, saat sujud terakhir. Kamu, kok tega gak pernah balas pesanku, juga tidak menghubungiku. Aku pernah berpikir, j
"Ini untuk kami, Mah?" tanyaku pada Mama, yang tengah membereskan sayuran serta buah segar ke dalam kulkas. Tidak hanya itu, Mama juga membeli bermacam bumbu dapur, juga perlengkapan lainnya. "Iya, Ra. Kalau untuk Mama, tidak mungkin dikeluarkan dari mobil. Ini semua untuk kalian. Mama juga beli vitamin penambah nafsu makan untuk kamu. Tapi, Raffi enggak boleh minum vitamin ini, ya? Dia punya vitamin sendiri dari dokternya," ujar Mama. Aku mengiyakan. Meskipun malu karena keluar dari kamar dalam keadaan rambut yang basah, aku tetap menemui ibu mertua yang tengah berbenah di dapur. Sedangkan Mas Raffi, dia masih di kamar. Sedang berpakaian setelah pada akhir tadi kami mandi bersama. Untunglah, kedua mertuaku paham situasi. Dari mereka tidak ada yang mengetuk pintu kamar sejak kedatangannya. Keduanya kompak membawa bermain Rayyan agar tidak mencari keberadaan orang tuanya. Ck, malu ... aku malu. Tapi, mau gimana lagi? Semuanya gara-gara ... ah, masa iya aku harus menyalahkan Mas
"Saat di hotel waktu itu, sebenarnya Mbak percaya jika kamu tidak melakukan apa-apa dengan Reyhan. Kalau kamu selingkuh dengan Reyhan, untuk apa kamu meminta Mbak datang? Iya, kan?"Aku mengangguk saat Mbak Kinara menjeda ucapannya. Saat ini, hanya ada aku dan dia. Kami duduk berhadapan di meja makan, setelah tadi Mbak Nara memintaku bicara berdua. "Saat kamu pergi dari hotel itu, sebenarnya Mbak masih ada di sana. Mbak menemui Reyhan setelah melihatmu benar-benar keluar dan pergi. Aku meminta Reyhan mengatakan apa yang terjadi antara kami dengannya, versi dia. Meskipun aku tidak percaya pada Reyhan, tapi aku tetap mendengarkan dan merekam pengakuannya. Kamu tahu kenapa?" Mbak Kinara melempar tanya. Aku menggelengkan kepala. Aku tidak mau menduga-duga dan mengatakan yang tidak ada dalam pikiran."Aku cemburu padamu, Ra. Aku iri melihat kedekatan kamu dengan Mama, juga perhatian Mama pada Rayyan.""Ya Allah, Mbak ...." Aku menatap sendu pada Mbak Kinara yang menunduk. "Maafkan Mbak
"Mas, kenapa liatin aku terus?" Mama dan Papa, serta semua kakak Mas Raffi sudah pergi beberapa menit yang lalu. Sekarang, tinggallah kami berdua, dan Rayyan yang sudah tidur. Hari memang sudah malam. Perabot pemberian kakak-kakak Mas Raffi pun, sudah disimpan ke tempat yang semestinya. Dibantu kakak dan kakak iparku tentunya. Saat ini, aku dan Mas Raffi tengah duduk berdua di lantai dua rumah kami. Aku dan dia sedang menikmati malam, melihat bintang dan bulan yang bersinar bersamaan. Gorden kaca sengaja dibuka agar langit terlihat jelas. Di depan kami, dua cangkir teh menjadi pelengkap kebersamaanku dengan Mas Raffi. "Malu, ih diliatin terus," kataku lagi, memalingkan wajah ke arah lampu hias berbentuk hati yang berada di sudut ruangan. Mas Raffi menyentuh daguku. Menariknya sangat pelan, agar tatapanku kembali padanya. "Karena aku kagum pada kecantikan istriku ini. Makanya, aku pandang terus.""Ih, gombal, deh," ujarku. Padahal dalam hati, aku bahagia mendapatkan pujian dari
"Mas Bayu ngapain di sini?" tanyaku, saat dia melepaskan tangannya dari bibirku. "Aku diminta Raffi datang ke sini. Dan kamu tahu, yang ada di kamar itu siapa? Si Reyhan. Dia nyusup masuk ke rumahmu lewat jendela kamar yang tidak dikunci.""Apa?" Rasa terkejutku bertambah berkali lipat. Jika saja tadi aku masuk ke sana, habislah riwayatku. Reyhan pasti akan dengan mudah melakukan perbuatan jahatnya padaku. Suara gagang pintu yang diputar dari dalam kamar tamu, membuatku dan Bayu menoleh. Semakin lama, suara di sana semakin keras. Karena mungkin Reyhan sudah menyadari jika dia masuk perangkap. "Mas Raffi, mana?" tanyaku, karena tak kulihat keberadaan suamiku. "Dia di luar.""Sendirian?" tanyaku lagi. "Temenin, Mas. Aku takut Reyhan menyerang Mas Raffi. Dia belum pulih." Aku panik. Bayu hendak melangkah menjauh dariku, tapi dia urungkan saat ada bayangan yang berjalan mendekat ke arah kami. Tidak lama kemudian, lampu pun menyala membuat ruangan yang gelap menjadi terang. Aku lan