Aku mengusap air yang meleleh di pipi. Iya, aku menangis lagi. Tapi, kali ini bukan tangis kesedihan, melainkan tangis hari akan kebaikan ayah mertua. Sejauh itu dia memikirkan aku dan cucunya. Aku kira, Papa akan lepas tangan dan membiarkanku pulang ke kampung halaman. Ternyata, tidak. Papa justru menempatkan aku di sini dengan semua perlengkapan yang aku butuhkan. "Terima kasih, Papa," ucapku kemudian. "Sama-sama. Sengaja Papa memilih tempat itu untuk tempat tinggal sementara kamu. Selian udaranya sejuk, juga agar Papa tidak jauh jika nanti ingin menjenguk kalian. Baik-baik kamu di sana, ya? Ada Ceu Imas dan Kang Asep juga di sana, sebagai penjaga vila, sekaligus orang yang bisa kamu mintai tolong. Jangan sungkan untuk panggil mereka jika kamu butuh sesuatu, ya? Mereka Papa bayar, jadi jangan merasa tidak enakan," ujar Papa menjelaskan tentang sepasang suami istri yang tadi menyambutku. Dalam hati aku mengucap syukur dengan apa yang aku dapat saat ini. Di balik kesedihan, kepilu
Hati gelisah menunggu Mbak Kinanti membalas pesanku. Satu menit, dia menit hingga satu jam lamanya, Mbak Kinanti tidak lagi mengirim pesan. Aku memutuskan menelpon dia, tapi tidak diangkat. Ada apa? Kenapa tiba-tiba Mbak Kinanti menghilang tanpa memberikan penjelasan? "Apa Mbak Kinan tidur, ya?" gumamku menerawang. Aku pun memutuskan untuk menanyakan perihal bukti itu di esok hari. Sekarang, aku naik ke atas ranjang, mencoba memejamkan mata di samping Rayyan.Ini adalah hal yang langka. Di mana, akhirnya aku bisa merasakan tidur sembari memeluk putraku. Semakin lama, dingin semakin terasa menusuk kulit. Aku menarik selimut semakin tinggi, memejamkan mata semakin erat, hingga akhirnya terlelap. Subuh di sini tidak seperti subuh di Jakarta. Air yang biasanya terasa menyegarkan, justru membuatku kedinginan. Gigiku gemeretak setelah selesai berwudhu. Saking dinginnya. "Nda ...."Putraku menggeliat seraya mengerjapkan mata. "Ini masih gelap, Nak. Tidur lagi, ya? Bunda salat dulu
Aku langsung memblokir nomor Reyhan agar dia tidak bisa lagi menghubungiku. Bodoh amat dia nyasar atau mati sekalipun, aku tidak peduli. Di teras depan, Ceu Imas dan Kang Asep sedang menata ikan bakar beserta nasi liwet yang. Mereka menyimpannya di atas daun pisang yang sudah dicuci bersih, bersama dengan beberapa lauk lainnya. "Ya ampun, Ceu .... Kita makan cuma bertiga, tapi itu ikannya banyak banget," kataku. Tiga ekor ikan berukuran besar terhidang, lengkap dengan sambal dan lalapan. Perutku sudah terasa lapar, semakin keroncongan melihat makanan yang menggiurkan di depan mata. "Tidak apa-apa, Neng. Biar Neng Raya sama Dedek kenyang. Ayo, makan yang banyak. Kalau kurang, nanti Kang Asep tangkap ikan yang lebih besar dari ini," tutur Kang Asep membuatku menggeleng-gelengkan kepala seraya tersenyum. Saat sepasang suami istri itu mulai menikmati makanannya, aku malah diam seraya menatap ikan mas bakar. Seandainya jika Mas Raffi ada di sini, mungkin makanan itu akan terasa lebi
"Jangan bilang Mas Raffi hilang ingatan dan tidak mengingat aku, Pah."Papa terkekeh kecil. "Tidak, Raya. Dia ingat kamu, kok. Dia juga ingat Rayyan. Namun ... doakan saja yang terbaik untuk Raffi, ya?" "Kalau doa, tidak diminta pun pasti aku doakan, Pah. Papa menyembunyikan sesuatu dari aku, ya? Mas Raffi kenapa? Dia kenapa, Pah?" Papa berdecak. Dia membenarkan letak kacamata yang bertengger di hidungnya, lalu berdehem seraya memperbaiki letak duduk menjadi sedikit tegak. Dilihat dari gesture tubuh Papa, sepertinya memang ada yang disembunyikan. Tadi pun Papa akan mengatakan sesuatu, tapi malah mengalihkannya ke yang lain. "Pah, katanya Raya ini anak Papa, katanya Papa sayang dan peduli pada Raya. Ayo, dong, Pah. Katakan saja, apa yang berita buruk itu? Mas Raffi kenapa? Dia lumpuh? Oke, gak apa-apa. Aku tidak akan merasa sedih dan malu beristrikan pria lumpuh. Aku tetep mau, kok merawat Mas Raffi meskipun dia tidak bisa berjalan." Panjang lebar aku bicara berharap Papa akan men
Air mata aku hapus dari pipi, kemudian berdehem sebelum mengangkat panggilan. "Assalamualaikum," kataku, seraya menempelkan ponsel ke telinga. "Waalaikumsalam. Gimana kabar kamu dan Rayyan, Dek?" "Alhamdulillah baik, Mbak."Hening.Mbak Kinanti diam, begitu pula dengan diriku. Aku menahan diri untuk bertanya tentang bukti yang pernah dia bahas waktu itu. Inginku, dia mengatakannya sebelum aku yang meminta. "Raya." Mbak Kinanti menyebut namaku. "Iya, Mbak. Apa semuanya baik-baik saja? Mas Raffi gimana sekarang?" "Alhamdulillah, Raffi sudah ada kemajuan. Ra, Mbak menelepon kamu, ingin membahas soal bukti yang pernah Mbak katakan.""Oh, iya, Mbak. Gimana? Bukti apa? Apa Mas Raffi sudah tahu tentang itu?" Rentetan pertanyaan aku berikan pada kakak iparku. Alih-alih langsung menjawab, Mbak Kinanti malah diam lagi. Semakin membuatku penasaran sekaligus mencurigainya. Apa mungkin, jika sebenarnya Mbak Kinanti tidak memiliki bukti itu? Jangan-jangan dia dan Reyhan kerja sama untuk m
Suara Rayyan yang baru saja berucap, tenggelam oleh suara isakku yang tiba-tiba keluar. Cepat aku menutup mulut dengan kedua tangan agar tidak mengeluarkan suara, saat pria itu membuka kacamata serta masker yang menutup sebagian wajahnya. Pandanganku terhalang, karena sekarang air mata sudah bercucuran saking tak percaya dengan apa yang aku saksikan saat ini. "Mas ...." Bibir berucap bergetar. Dia tersenyum. Kedua tangannya terlentang, tapi tubuhku kaku. Aku tetap bergeming meskipun kini dia mendekapku dengan erat. Tanganku yang tadi menutup mulut, kini mencubit pipi, membuktikan pada diri jika ini bukanlah mimpi. "Mas Raffi ...." Aku menyebut namanya. Nama yang selalu aku ucapkan dalam doa. Nama yang tidak pernah hilang dari ingatan, meskipun kami terpisahkan. "Yah, ini aku. Aku memenuhi permintaanmu."Tidak bisa dibendung lagi. Kali ini aku meraung menangisi kehadiran dia yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya. Ini seperti mimpi. Aku hampir tidak percaya jika orang yang
"Ini sakit?" Aku bertanya seraya mengusap kepala Mas Raffi yang tidak ditumbuhi rambut. Ia, dia botak. Mas Raffi memangkas habis rambutnya untuk memudahkan mengobati luka yang terdapat di kepala bagian belakang. "Sakit, tapi munculnya kadang-kadang. Tak apa, nanti pun sembuh, kok. Jangan khawatir," ujarnya terdengar tidak ada beban. Namun, aku yang melihat jahitan luka di bagian belakang kepala Mas Raffi, merasa ngilu sendiri. Jika harus menebak, sepertinya luka itu sangat dalam. Pantaslah suamiku sampai kritis. Karena luka yang berada di tubuhnya tidak hanya sedikit. Tapi, banyak, hingga aku meringis melihat luka jahitan bertaburan di punggung serta bagian tubuh yang lainnya. "Cakit, Pah?" Akhirnya Rayyan mengeluarkan suara setelah tadi ketakutan karena ayahnya botak. "Enggak. Kalau ada Rayyan sama Bunda, sakitnya jadi hilang," ujar Mas Raffi, menurunkan kaus yang tadi dia singkap untuk memperlihatkan luka bekas kecelakaannya. "Rayyan sayang, kan sama Papa? Kalau sayang, peluk
"Selamat pagi, Mas." Aku berbisik pelan di telinga suamiku yang masih terpejam. Wajahnya aku pandang, mencari perbedaan dia yang dulu dan sekarang. Tidak aku temukan. Hanya saja, sedikit tirus karena bobot tubuhnya berkurang. Puas memandangi wajah Mas Raffi, kali ini mataku beralih pada Rayyan. Senyumku terukir kala menyadari posisi tidur Mas Raffi dan Rayyan sangatlah sama persis. Tidak ingin mengganggu keduanya, aku pun turun dari ranjang dengan sangat hati-hati. Aku pergi ke kamar mandi, membasuh muka dan menggosok gigi. Sebenarnya, ini belum pagi. Bahkan adzan subuh pun belum berkumandang. Namun, sengaja aku bangun lebih awal, karena harus berkemas untuk pulang. Dada aku raba karena tiba-tiba jantung berdetak kencang. Rasa was-was datang, membuatku ragu untuk kembali. "Apa aku telpon Mama aja, ya? Minta maaf sekarang," kataku, seraya menatap wajah diri dari pantulan cermin kamar mandi. "Ah, jangan Raya .... Tidak sopan," lanjutku lagi seperti orang gila yang bicara pada ba