Pelan dan bergetar Mama mengucapkan kalimat yang membuatku terpaku di tempat. Pandangan aku arahkan pada Papa, yang mengedipkan mata memberikan isyarat agar aku tidak menjawab ucapan istrinya. Setelah berucap, Mama menurunkan kakinya menginjak tanah, lalu masuk ke dalam mobil. Papa memanggil Pak Tarmin, kemudian mobil pun melaju meninggalkan halaman.Harusnya aku bahagia karena Rayyan akan ikut denganku. Akan tetapi, mata langsung memanas hingga air keluar dari sudut mata. Aku tidak menyangkal jika jalan hidupku akan semenyedihkan ini. Aku diusir mertua, diminta menjauh dari putranya. "Rayyan ...." Bibirku menyebut nama si buah hati. Sebelah tangan mengusap air yang meleleh di pipi, kemudian aku langsung masuk ke rumah dan pergi ke kamar Rayyan.Tidak ada. Anakku tidak ada di kamarnya. Tahu di mana Rayyan berada, aku pun membuka pintu kamar Mama dan tersenyum saat melihat putraku tidur pulas di atas ranjang king size ibu mertua. Aku naik ke tempat tidur, lalu memeluk Rayyan de
"Kita gak jadi ke Garut, Neng. Bapak menyuruh saya membawa Neng Raya ke vila temannya yang ada di Lembang Bandung.""Loh, kok gitu, Pak? Saya mau ke kampung saja.""Punten, Neng. Saya gak berani ngelanggar perintah Bapak. Coba, Neng Raya saja yang tanya sendiri pada Bapak. Pasti beliau akan mengatakan yang saya ucapkan barusan," tutur Pak Tarmin, dengan sesekali menoleh ke belakang. Aku mengambil ponsel dari dalam tas, lalu menelepon Papa. Namun, tidak diangkat. Papa mengabaikan panggilanku. Ingin mengulanginya lagi, tapi takut mengganggu Papa yang sedang di rumah sakit. Akhirnya aku memutuskan untuk mengirimkan pesan kepada ayah mertuaku itu. [Papa, kok Raya dibawa ke Lembang? Kenapa, Pah?] tulisku. Beberapa menit berlalu, tapi pesan yang aku kirim belum ada balasan juga. Akhirnya aku hanya bisa mengembuskan napas kasar, tanpa ingin menunggu Papa memberikan penjelasan. Mungkin aku akan mencoba meneleponnya lagi setelah sampai di tempat tujuan. Vila, itu tempat yang akan jadi te
Aku mengusap air yang meleleh di pipi. Iya, aku menangis lagi. Tapi, kali ini bukan tangis kesedihan, melainkan tangis hari akan kebaikan ayah mertua. Sejauh itu dia memikirkan aku dan cucunya. Aku kira, Papa akan lepas tangan dan membiarkanku pulang ke kampung halaman. Ternyata, tidak. Papa justru menempatkan aku di sini dengan semua perlengkapan yang aku butuhkan. "Terima kasih, Papa," ucapku kemudian. "Sama-sama. Sengaja Papa memilih tempat itu untuk tempat tinggal sementara kamu. Selian udaranya sejuk, juga agar Papa tidak jauh jika nanti ingin menjenguk kalian. Baik-baik kamu di sana, ya? Ada Ceu Imas dan Kang Asep juga di sana, sebagai penjaga vila, sekaligus orang yang bisa kamu mintai tolong. Jangan sungkan untuk panggil mereka jika kamu butuh sesuatu, ya? Mereka Papa bayar, jadi jangan merasa tidak enakan," ujar Papa menjelaskan tentang sepasang suami istri yang tadi menyambutku. Dalam hati aku mengucap syukur dengan apa yang aku dapat saat ini. Di balik kesedihan, kepilu
Hati gelisah menunggu Mbak Kinanti membalas pesanku. Satu menit, dia menit hingga satu jam lamanya, Mbak Kinanti tidak lagi mengirim pesan. Aku memutuskan menelpon dia, tapi tidak diangkat. Ada apa? Kenapa tiba-tiba Mbak Kinanti menghilang tanpa memberikan penjelasan? "Apa Mbak Kinan tidur, ya?" gumamku menerawang. Aku pun memutuskan untuk menanyakan perihal bukti itu di esok hari. Sekarang, aku naik ke atas ranjang, mencoba memejamkan mata di samping Rayyan.Ini adalah hal yang langka. Di mana, akhirnya aku bisa merasakan tidur sembari memeluk putraku. Semakin lama, dingin semakin terasa menusuk kulit. Aku menarik selimut semakin tinggi, memejamkan mata semakin erat, hingga akhirnya terlelap. Subuh di sini tidak seperti subuh di Jakarta. Air yang biasanya terasa menyegarkan, justru membuatku kedinginan. Gigiku gemeretak setelah selesai berwudhu. Saking dinginnya. "Nda ...."Putraku menggeliat seraya mengerjapkan mata. "Ini masih gelap, Nak. Tidur lagi, ya? Bunda salat dulu
Aku langsung memblokir nomor Reyhan agar dia tidak bisa lagi menghubungiku. Bodoh amat dia nyasar atau mati sekalipun, aku tidak peduli. Di teras depan, Ceu Imas dan Kang Asep sedang menata ikan bakar beserta nasi liwet yang. Mereka menyimpannya di atas daun pisang yang sudah dicuci bersih, bersama dengan beberapa lauk lainnya. "Ya ampun, Ceu .... Kita makan cuma bertiga, tapi itu ikannya banyak banget," kataku. Tiga ekor ikan berukuran besar terhidang, lengkap dengan sambal dan lalapan. Perutku sudah terasa lapar, semakin keroncongan melihat makanan yang menggiurkan di depan mata. "Tidak apa-apa, Neng. Biar Neng Raya sama Dedek kenyang. Ayo, makan yang banyak. Kalau kurang, nanti Kang Asep tangkap ikan yang lebih besar dari ini," tutur Kang Asep membuatku menggeleng-gelengkan kepala seraya tersenyum. Saat sepasang suami istri itu mulai menikmati makanannya, aku malah diam seraya menatap ikan mas bakar. Seandainya jika Mas Raffi ada di sini, mungkin makanan itu akan terasa lebi
"Jangan bilang Mas Raffi hilang ingatan dan tidak mengingat aku, Pah."Papa terkekeh kecil. "Tidak, Raya. Dia ingat kamu, kok. Dia juga ingat Rayyan. Namun ... doakan saja yang terbaik untuk Raffi, ya?" "Kalau doa, tidak diminta pun pasti aku doakan, Pah. Papa menyembunyikan sesuatu dari aku, ya? Mas Raffi kenapa? Dia kenapa, Pah?" Papa berdecak. Dia membenarkan letak kacamata yang bertengger di hidungnya, lalu berdehem seraya memperbaiki letak duduk menjadi sedikit tegak. Dilihat dari gesture tubuh Papa, sepertinya memang ada yang disembunyikan. Tadi pun Papa akan mengatakan sesuatu, tapi malah mengalihkannya ke yang lain. "Pah, katanya Raya ini anak Papa, katanya Papa sayang dan peduli pada Raya. Ayo, dong, Pah. Katakan saja, apa yang berita buruk itu? Mas Raffi kenapa? Dia lumpuh? Oke, gak apa-apa. Aku tidak akan merasa sedih dan malu beristrikan pria lumpuh. Aku tetep mau, kok merawat Mas Raffi meskipun dia tidak bisa berjalan." Panjang lebar aku bicara berharap Papa akan men
Air mata aku hapus dari pipi, kemudian berdehem sebelum mengangkat panggilan. "Assalamualaikum," kataku, seraya menempelkan ponsel ke telinga. "Waalaikumsalam. Gimana kabar kamu dan Rayyan, Dek?" "Alhamdulillah baik, Mbak."Hening.Mbak Kinanti diam, begitu pula dengan diriku. Aku menahan diri untuk bertanya tentang bukti yang pernah dia bahas waktu itu. Inginku, dia mengatakannya sebelum aku yang meminta. "Raya." Mbak Kinanti menyebut namaku. "Iya, Mbak. Apa semuanya baik-baik saja? Mas Raffi gimana sekarang?" "Alhamdulillah, Raffi sudah ada kemajuan. Ra, Mbak menelepon kamu, ingin membahas soal bukti yang pernah Mbak katakan.""Oh, iya, Mbak. Gimana? Bukti apa? Apa Mas Raffi sudah tahu tentang itu?" Rentetan pertanyaan aku berikan pada kakak iparku. Alih-alih langsung menjawab, Mbak Kinanti malah diam lagi. Semakin membuatku penasaran sekaligus mencurigainya. Apa mungkin, jika sebenarnya Mbak Kinanti tidak memiliki bukti itu? Jangan-jangan dia dan Reyhan kerja sama untuk m
Suara Rayyan yang baru saja berucap, tenggelam oleh suara isakku yang tiba-tiba keluar. Cepat aku menutup mulut dengan kedua tangan agar tidak mengeluarkan suara, saat pria itu membuka kacamata serta masker yang menutup sebagian wajahnya. Pandanganku terhalang, karena sekarang air mata sudah bercucuran saking tak percaya dengan apa yang aku saksikan saat ini. "Mas ...." Bibir berucap bergetar. Dia tersenyum. Kedua tangannya terlentang, tapi tubuhku kaku. Aku tetap bergeming meskipun kini dia mendekapku dengan erat. Tanganku yang tadi menutup mulut, kini mencubit pipi, membuktikan pada diri jika ini bukanlah mimpi. "Mas Raffi ...." Aku menyebut namanya. Nama yang selalu aku ucapkan dalam doa. Nama yang tidak pernah hilang dari ingatan, meskipun kami terpisahkan. "Yah, ini aku. Aku memenuhi permintaanmu."Tidak bisa dibendung lagi. Kali ini aku meraung menangisi kehadiran dia yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya. Ini seperti mimpi. Aku hampir tidak percaya jika orang yang