"Mama!" Aku berteriak kencang saat telepon dimatikan sebelah pihak dari sana. Tangan kukepalkan kuat dengan dada naik turun menahan emosi. Aku menarik napas dalam-dalam, menghirup oksigen dengan banyak hingga sesak ini berkurang. Kulihat lagi pintu rumah Mbak Cindy yang tertutup rapat, lalu kaki melangkah pergi meninggalkan bangunan rumah tersebut. Sudah kupastikan, Mbak Cindy tidak ada di rumah. Dia sedang bersama Mama dan putraku juga. Di mana? Di rumah sakit. Lagi-lagi aku berjalan keluar dari perumahan elit ini untuk mendapatkan taksi. Jika saja tahu tidak ada siapa pun di rumah itu, tidak akan aku membuang-buang waktu datang ke sini. Taksi kudapat, aku pun langsung mengarahkan pengendara untuk membawaku ke rumah sakit. Semakin dekat dengan rumah sakit, dada semakin berdetak kencang. Aku memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi di sana saat aku tiba nanti. Mama marah, pasti!Adanya keributan? Itu yang tidak aku inginkan. "Sudah sampai, Bu," ucap supir taksi. Aku
Tanganku mengudara hampir menyentuh Mama. Namun, seseorang dari belakang berhasil memegang kedua lenganku dan menghentikan niat ingin merebut tubuh Rayyan dari ibu mertua."Lepas! Aku hanya ingin anakku!" Aku meronta meminta mereka membiarkanku mengambil Rayyan. Sayangnya aku gagal. Mama berhasil membawa Rayyan keluar dari ruangan ini saat tubuhku ditahan Papa dan Mas Daffa. Aku menangis memanggil Rayyan berharap dia bangun dan lari padaku. Akan tetapi tidak. Lagi-lagi aku kalah oleh Mama. Aku kehilangan putraku. "Kembalikan Rayyan!" ujarku kembali berteriak. "Ra, tenang, Ra. Astagfirullah ... kenapa jadi seperti ini, sih, Pah?" Mas Daffa berucap pelan. Sekarang tubuhku lemas, aku ambruk dan terduduk di lantai seraya tersedu memanggil putraku. Jahatnya mereka padaku. Semuanya bersekongkol untuk memisahkan aku dengan Rayyan. 'Mas Raffi .... Lihatlah keluargamu ini. Mereka tidak memiliki perasaan.' Dalam hati aku menjerit memanggil suamiku. "Sudah, biarkan saja dulu. Biarkan Ray
Hancur. Satu kata yang aku rasakan saat ini. Melihat orang yang kucintai terbaring di atas ranjang dengan banyaknya alat medis yang terpasang di tubuhnya, membuat duniaku limbung. Aku berdiri kaku di samping Mas Raffi yang memejamkan mata. Seperti janji Papa, dia membawaku bertemu Mas Raffi yang keadaannya memprihatikan. "Apa Mas Raffi koma?" tanyaku pada Papa. "Tidak. Dia sedang tidur. Ketika bangun, Raffi mendengar apa yang kita ucapkan, dia tahu siapa yang ada di sekelilingnya, tapi dia tidak bisa bergerak. Raffi hanya mampu membuka tutup mata saat kita mengajaknya bicara."Aku menutup mulut meredam tangis. Tidak, aku tidak diizinkan tersedu. Aku harus kuat agar Mas Raffi pun demikian. "Apa dia akan kenal Raya, Pah?" "Harusnya kenal."Aku maju satu langkah agar semakin dekat dengan Mas Raffi. Jika saja di tubuh suamiku tidak banyak kabel yang entah gunanya untuk apa, juga di mulutnya tidak ada selang, mungkin saat ini aku akan memeluknya. Aku sangat merindukan dia. Aku in
"Papa, kok pulang? Bawa Raya, lagi?" "Astagfirullah, Mama. Raya anak kita, tempat tinggalnya pun di sini dengan kita," ujar Papa seraya membuka sepatunya. Aku masih berdiri di ambang pintu utama, tidak berani masuk setelah mendapatkan tatapan bengis dari ibu mertua saat datang tadi. Sudah aku duga. Mama pasti keberatan melihat keberadaanku di rumahnya. "Itu dulu. Sebelum dia mengkhianati anak kita. Sekarang, wanita itu sudah bukan bagian dari keluarga kita lagi. Mama tidak mau bermenantukan wanita murahan seperti dia.""Jadi, Mama kekeh mau Raya pergi dari sini?" tanya Papa pada istrinya itu. "Iya. Mama kecewa sama dia. Sudah dibaikin, malah ngelunjak. Papa tidak lihat, bagaimana sikap dia pada Mama tadi? Di luar dugaan, Pah. Mama sampai merinding mendengar kata-kata yang keluar dari bibirnya. Tidak nyangka, Mama."Entah sandiwara atau benar-benar terluka oleh kata-kataku, hingga Mama menangis di depan Papa. Ada rasa bersalah dari dalam hati karena telah berteriak kepada Mama. T
Pelan dan bergetar Mama mengucapkan kalimat yang membuatku terpaku di tempat. Pandangan aku arahkan pada Papa, yang mengedipkan mata memberikan isyarat agar aku tidak menjawab ucapan istrinya. Setelah berucap, Mama menurunkan kakinya menginjak tanah, lalu masuk ke dalam mobil. Papa memanggil Pak Tarmin, kemudian mobil pun melaju meninggalkan halaman.Harusnya aku bahagia karena Rayyan akan ikut denganku. Akan tetapi, mata langsung memanas hingga air keluar dari sudut mata. Aku tidak menyangkal jika jalan hidupku akan semenyedihkan ini. Aku diusir mertua, diminta menjauh dari putranya. "Rayyan ...." Bibirku menyebut nama si buah hati. Sebelah tangan mengusap air yang meleleh di pipi, kemudian aku langsung masuk ke rumah dan pergi ke kamar Rayyan.Tidak ada. Anakku tidak ada di kamarnya. Tahu di mana Rayyan berada, aku pun membuka pintu kamar Mama dan tersenyum saat melihat putraku tidur pulas di atas ranjang king size ibu mertua. Aku naik ke tempat tidur, lalu memeluk Rayyan de
"Kita gak jadi ke Garut, Neng. Bapak menyuruh saya membawa Neng Raya ke vila temannya yang ada di Lembang Bandung.""Loh, kok gitu, Pak? Saya mau ke kampung saja.""Punten, Neng. Saya gak berani ngelanggar perintah Bapak. Coba, Neng Raya saja yang tanya sendiri pada Bapak. Pasti beliau akan mengatakan yang saya ucapkan barusan," tutur Pak Tarmin, dengan sesekali menoleh ke belakang. Aku mengambil ponsel dari dalam tas, lalu menelepon Papa. Namun, tidak diangkat. Papa mengabaikan panggilanku. Ingin mengulanginya lagi, tapi takut mengganggu Papa yang sedang di rumah sakit. Akhirnya aku memutuskan untuk mengirimkan pesan kepada ayah mertuaku itu. [Papa, kok Raya dibawa ke Lembang? Kenapa, Pah?] tulisku. Beberapa menit berlalu, tapi pesan yang aku kirim belum ada balasan juga. Akhirnya aku hanya bisa mengembuskan napas kasar, tanpa ingin menunggu Papa memberikan penjelasan. Mungkin aku akan mencoba meneleponnya lagi setelah sampai di tempat tujuan. Vila, itu tempat yang akan jadi te
Aku mengusap air yang meleleh di pipi. Iya, aku menangis lagi. Tapi, kali ini bukan tangis kesedihan, melainkan tangis hari akan kebaikan ayah mertua. Sejauh itu dia memikirkan aku dan cucunya. Aku kira, Papa akan lepas tangan dan membiarkanku pulang ke kampung halaman. Ternyata, tidak. Papa justru menempatkan aku di sini dengan semua perlengkapan yang aku butuhkan. "Terima kasih, Papa," ucapku kemudian. "Sama-sama. Sengaja Papa memilih tempat itu untuk tempat tinggal sementara kamu. Selian udaranya sejuk, juga agar Papa tidak jauh jika nanti ingin menjenguk kalian. Baik-baik kamu di sana, ya? Ada Ceu Imas dan Kang Asep juga di sana, sebagai penjaga vila, sekaligus orang yang bisa kamu mintai tolong. Jangan sungkan untuk panggil mereka jika kamu butuh sesuatu, ya? Mereka Papa bayar, jadi jangan merasa tidak enakan," ujar Papa menjelaskan tentang sepasang suami istri yang tadi menyambutku. Dalam hati aku mengucap syukur dengan apa yang aku dapat saat ini. Di balik kesedihan, kepilu
Hati gelisah menunggu Mbak Kinanti membalas pesanku. Satu menit, dia menit hingga satu jam lamanya, Mbak Kinanti tidak lagi mengirim pesan. Aku memutuskan menelpon dia, tapi tidak diangkat. Ada apa? Kenapa tiba-tiba Mbak Kinanti menghilang tanpa memberikan penjelasan? "Apa Mbak Kinan tidur, ya?" gumamku menerawang. Aku pun memutuskan untuk menanyakan perihal bukti itu di esok hari. Sekarang, aku naik ke atas ranjang, mencoba memejamkan mata di samping Rayyan.Ini adalah hal yang langka. Di mana, akhirnya aku bisa merasakan tidur sembari memeluk putraku. Semakin lama, dingin semakin terasa menusuk kulit. Aku menarik selimut semakin tinggi, memejamkan mata semakin erat, hingga akhirnya terlelap. Subuh di sini tidak seperti subuh di Jakarta. Air yang biasanya terasa menyegarkan, justru membuatku kedinginan. Gigiku gemeretak setelah selesai berwudhu. Saking dinginnya. "Nda ...."Putraku menggeliat seraya mengerjapkan mata. "Ini masih gelap, Nak. Tidur lagi, ya? Bunda salat dulu
"Raihanum." Aku menyebut nama dari bayi perempuan yang sedang menggeliat di tempat tidurnya. Bibirku tersenyum manis menatap sepasang mata yang mulai melihat dunia. "Selamat pagi, Sayang ...." Aku mengusap pelan pipinya dengan jari telunjukku. Dia menggoyangkan kepalanya seolah merasa terganggu dengan sentuhan lembutku. Bibirnya bergerak seperti mengemut sesuatu. Dan aku semakin gemas melihat itu. "Hey, princess Papa sudah bangun ternyata?" Aku menoleh pada Mas Raffi yang baru saja datang, dan langsung menghampiriku. Bukan. Bukan aku yang dia datangi, melainkan putri kecilnya. "Sepertinya dia haus, Sayang," ujarnya lagi. "Iya. Dia cari sesuatu.""Kasihlah. Kasihan dia."Aku pun mengambil bayi perempuan berusia empat puluh hari itu. Kini, dia menggeliat dalam gendongan, lalu kepalanya ke kanan dan kiri mencari sarapan paginya. Aku membuka kancing piyamaku, kemudian memberikan asupan gizi untuk putriku tercinta. "Persiapan di bawah gimana, Mas?" Aku melihat pada Mas Raffi. "
"Sayang ... udah belum?" "Belum!" Aku berteriak menjawab pertanyaan Mas Raffi. Saat ini aku tengah mondar-mandir di kamar mandi seraya memegang testpack. Sudah lima belas menit aku di dalam sini, tapi benda kecil itu belum menyentuh urinku. Rasanya campur aduk antara takut tidak sesuai dengan ekspektasi, juga penasaran yang luar biasa. "Sayang, ayo, dong! Masa dari tadi belum terus!" Mas Raffi kembali berujar. "Iya, bentar, Mas!"Dengan tangan yang bergetar, aku memasukkan testpack ke dalam urin yang sudah aku tampung dalam wadah. Setelah beberapa detik menunggu, aku mengangkatnya dengan mata terpejam. Sebelah mata aku buka sedikit, mencari garis yang menjadi penentu aku hamil atau tidaknya. Samar-samar aku melihat garis itu, hingga akhirnya mata kubuka lebar-lebar untuk memastikan penglihatanku tidaklah salah. "Dua?" gumamku, kemudian bibir tersenyum. Aku menutup mulut dengan mata yang berkaca-kaca. Ini memang bukan kehamilan pertama, tapi rasanya masih sama seperti waktu tah
"Pagi, Sayang ...."Sepasang tangan melingkar di pinggang, disusul dengan kecupan kecil di pipi. Aku yang tengah berkutat dengan alat masak, membalas sapaan Mas Raffi dengan usapan pelan di lengannya. Hal seperti ini bukan terjadi sekarang, tapi setiap pagi datang. Sikap Mas Raffi selalu hangat dan tambah romantis sejak kami tinggal di rumah ini. Itu mengapa, aku memperkejakan asisten rumah tangga yang pulang pergi. Aku tidak ingin melewatkan keromantisan ini karena ada orang lain di istana kami. "Sudah aku siapkan teh di atas meja. Mas duduk, sebentar lagi gorengan yang aku buat akan matang," ujarku. "Emh ... enggak mau. Aku mau tetap meluk kamu sampai gorengan itu pindah ke meja makan." Mas Raffi berucap manja. "Nanti kamu kecipratan minyak, Mas.""Biarin. Jangankan minyak, percikan api asmara dari luar pun bisa aku padamkan demi kamu.""Hah, gimana-gimana?" Aku menoleh, mencari wajah Mas Raffi yang menyusup di tengkuk leherku. Dia tidak berani mengangkat kepala. Malah semaki
"Gini aja, deh, Fi. Daripada kamu jual perhiasan Raya, mendingan kamu pinjem uang aja dari Mama." Aku yang tadi sudah berpikiran buruk, merasa lebih tenang saat mendengar suara Mama. Ternyata yang masuk tadi bukan Reyhan, melainkan Mama dan Mas Raffi yang membahas perhiasan. Oh, ya ampun. Mas Raffi ketahuan Mama akan menjual perhiasan? Aku berjalan mendekati mereka yang berada di ruang tamu. Pandanganku mengarah pada Mas Raffi yang memberikan isyarat dengan menempelkan jari telunjuk di bibirnya. Aku mengangguk kecil, lalu meraih tangan Mama dan menciumnya. "Rayyan mana, Ra?" tanya Mama tanpa melepaskan tanganku. "Lagi main di ruang tengah, Mah.""Kalau gitu, kamu duduk di sini, Mama mau bicara dengan kalian."Aku dan Mas Raffi saling pandang, lalu aku pun duduk di samping Mama. Begitu pun Mas Raffi. Kami mengapit Mama yang berada di tengah-tengah. "Fi, Ra, kalian ini masih punya orang tua. Ada Mama dan Papa, yang masih bisa bantu kalian. Bukan Mama mau sombong, soal uang, insya
"Semalam aku kaget banget, loh saat Mas Bayu membekap mulutku. Aku kira itu Reyhan."Aku menyeruput jus alpukat seraya memperhatikan Rayyan yang bermain. "Tadi malam, saat aku menyuruh kamu tidur, emang sudah merasakan ketidakberesan di rumah kita. Yang kata aku melihat kucing di kosan, itu sebenarnya yang aku lihat emang manusia.""Kok, gak bilang ke aku?" tanyaku. Saat ini, aku dan Mas Raffi masih membahas kejadian semalam yang membuat tubuh ini bergetar ketakutan. Kami duduk lesehan di teras depan seraya mengasuh Rayyan yang bermain di halaman. "Aku tidak mau kamu takut, Ra. Makanya aku menyuruh kamu tidur cepat. Dan setelah kami tidur, aku langsung menelepon polisi untuk datang secara diam-diam. Dan Bayu juga.""Terus, saat aku bangun dan ke lantai bawah, kamu kan tidak ada. Itu ke mana?" Aku masih bertanya karena penasaran. "Aku di luar. Secara tidak langsung, aku menggiring Reyhan masuk ke kamar tamu lewat jendela. Dan Bayu, saat itu sudah ada di dalam rumah ini. Dia aku su
"Mas Bayu ngapain di sini?" tanyaku, saat dia melepaskan tangannya dari bibirku. "Aku diminta Raffi datang ke sini. Dan kamu tahu, yang ada di kamar itu siapa? Si Reyhan. Dia nyusup masuk ke rumahmu lewat jendela kamar yang tidak dikunci.""Apa?" Rasa terkejutku bertambah berkali lipat. Jika saja tadi aku masuk ke sana, habislah riwayatku. Reyhan pasti akan dengan mudah melakukan perbuatan jahatnya padaku. Suara gagang pintu yang diputar dari dalam kamar tamu, membuatku dan Bayu menoleh. Semakin lama, suara di sana semakin keras. Karena mungkin Reyhan sudah menyadari jika dia masuk perangkap. "Mas Raffi, mana?" tanyaku, karena tak kulihat keberadaan suamiku. "Dia di luar.""Sendirian?" tanyaku lagi. "Temenin, Mas. Aku takut Reyhan menyerang Mas Raffi. Dia belum pulih." Aku panik. Bayu hendak melangkah menjauh dariku, tapi dia urungkan saat ada bayangan yang berjalan mendekat ke arah kami. Tidak lama kemudian, lampu pun menyala membuat ruangan yang gelap menjadi terang. Aku lan
"Mas, kenapa liatin aku terus?" Mama dan Papa, serta semua kakak Mas Raffi sudah pergi beberapa menit yang lalu. Sekarang, tinggallah kami berdua, dan Rayyan yang sudah tidur. Hari memang sudah malam. Perabot pemberian kakak-kakak Mas Raffi pun, sudah disimpan ke tempat yang semestinya. Dibantu kakak dan kakak iparku tentunya. Saat ini, aku dan Mas Raffi tengah duduk berdua di lantai dua rumah kami. Aku dan dia sedang menikmati malam, melihat bintang dan bulan yang bersinar bersamaan. Gorden kaca sengaja dibuka agar langit terlihat jelas. Di depan kami, dua cangkir teh menjadi pelengkap kebersamaanku dengan Mas Raffi. "Malu, ih diliatin terus," kataku lagi, memalingkan wajah ke arah lampu hias berbentuk hati yang berada di sudut ruangan. Mas Raffi menyentuh daguku. Menariknya sangat pelan, agar tatapanku kembali padanya. "Karena aku kagum pada kecantikan istriku ini. Makanya, aku pandang terus.""Ih, gombal, deh," ujarku. Padahal dalam hati, aku bahagia mendapatkan pujian dari
"Saat di hotel waktu itu, sebenarnya Mbak percaya jika kamu tidak melakukan apa-apa dengan Reyhan. Kalau kamu selingkuh dengan Reyhan, untuk apa kamu meminta Mbak datang? Iya, kan?"Aku mengangguk saat Mbak Kinara menjeda ucapannya. Saat ini, hanya ada aku dan dia. Kami duduk berhadapan di meja makan, setelah tadi Mbak Nara memintaku bicara berdua. "Saat kamu pergi dari hotel itu, sebenarnya Mbak masih ada di sana. Mbak menemui Reyhan setelah melihatmu benar-benar keluar dan pergi. Aku meminta Reyhan mengatakan apa yang terjadi antara kami dengannya, versi dia. Meskipun aku tidak percaya pada Reyhan, tapi aku tetap mendengarkan dan merekam pengakuannya. Kamu tahu kenapa?" Mbak Kinara melempar tanya. Aku menggelengkan kepala. Aku tidak mau menduga-duga dan mengatakan yang tidak ada dalam pikiran."Aku cemburu padamu, Ra. Aku iri melihat kedekatan kamu dengan Mama, juga perhatian Mama pada Rayyan.""Ya Allah, Mbak ...." Aku menatap sendu pada Mbak Kinara yang menunduk. "Maafkan Mbak
"Ini untuk kami, Mah?" tanyaku pada Mama, yang tengah membereskan sayuran serta buah segar ke dalam kulkas. Tidak hanya itu, Mama juga membeli bermacam bumbu dapur, juga perlengkapan lainnya. "Iya, Ra. Kalau untuk Mama, tidak mungkin dikeluarkan dari mobil. Ini semua untuk kalian. Mama juga beli vitamin penambah nafsu makan untuk kamu. Tapi, Raffi enggak boleh minum vitamin ini, ya? Dia punya vitamin sendiri dari dokternya," ujar Mama. Aku mengiyakan. Meskipun malu karena keluar dari kamar dalam keadaan rambut yang basah, aku tetap menemui ibu mertua yang tengah berbenah di dapur. Sedangkan Mas Raffi, dia masih di kamar. Sedang berpakaian setelah pada akhir tadi kami mandi bersama. Untunglah, kedua mertuaku paham situasi. Dari mereka tidak ada yang mengetuk pintu kamar sejak kedatangannya. Keduanya kompak membawa bermain Rayyan agar tidak mencari keberadaan orang tuanya. Ck, malu ... aku malu. Tapi, mau gimana lagi? Semuanya gara-gara ... ah, masa iya aku harus menyalahkan Mas