"Saya gak tahu, Mbak."Aku memijit kening seraya menjatuhkan tubuh di pinggir ranjang. Jika tidak bersama Bi Marni, lalu Rayyan Mama titipkan di mana? Mungkin, gak jika putraku dititipkan di Mbak Cindy atau Mbak Kinanti? Bukankah Mbak Kinan harus bekerja?Aku mengambil ponsel dan langsung menghubungi Mbak Cindy untuk menanyakan keberadaan putraku. Panggilan pertama tidak diangkat. Aku mengulanginya lagi, tapi tetap tidak diangkat. "Mbak, sebenarnya ada apa? Kenapa Ibu marah besar dan menyuruh saya mengemasi barang Mbak Raya?" Aku menoleh pada Bi Marni yang menatapku sendu. Napas kuembuskan kasar. Haruskah aku menjelaskan semuanya? Ah, sepertinya tidak perlu. Nanti pun Bibi akan tahu dari Mama ataupun yang lainnya. Meskipun tentang kejelekanku yang tidak sama sekali aku perbuat, tapi biarkan saja. Aku lelah menjelaskan yang sebenarnya. Aku capek menangis. "Terus sekarang saya harus apa, Mbak? Saya sedih, Mbak Raya pergi dari sini," ujar Bi Marni lagi. "Tapi, saya juga tidak bi
"Mama!" Aku berteriak kencang saat telepon dimatikan sebelah pihak dari sana. Tangan kukepalkan kuat dengan dada naik turun menahan emosi. Aku menarik napas dalam-dalam, menghirup oksigen dengan banyak hingga sesak ini berkurang. Kulihat lagi pintu rumah Mbak Cindy yang tertutup rapat, lalu kaki melangkah pergi meninggalkan bangunan rumah tersebut. Sudah kupastikan, Mbak Cindy tidak ada di rumah. Dia sedang bersama Mama dan putraku juga. Di mana? Di rumah sakit. Lagi-lagi aku berjalan keluar dari perumahan elit ini untuk mendapatkan taksi. Jika saja tahu tidak ada siapa pun di rumah itu, tidak akan aku membuang-buang waktu datang ke sini. Taksi kudapat, aku pun langsung mengarahkan pengendara untuk membawaku ke rumah sakit. Semakin dekat dengan rumah sakit, dada semakin berdetak kencang. Aku memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi di sana saat aku tiba nanti. Mama marah, pasti!Adanya keributan? Itu yang tidak aku inginkan. "Sudah sampai, Bu," ucap supir taksi. Aku
Tanganku mengudara hampir menyentuh Mama. Namun, seseorang dari belakang berhasil memegang kedua lenganku dan menghentikan niat ingin merebut tubuh Rayyan dari ibu mertua."Lepas! Aku hanya ingin anakku!" Aku meronta meminta mereka membiarkanku mengambil Rayyan. Sayangnya aku gagal. Mama berhasil membawa Rayyan keluar dari ruangan ini saat tubuhku ditahan Papa dan Mas Daffa. Aku menangis memanggil Rayyan berharap dia bangun dan lari padaku. Akan tetapi tidak. Lagi-lagi aku kalah oleh Mama. Aku kehilangan putraku. "Kembalikan Rayyan!" ujarku kembali berteriak. "Ra, tenang, Ra. Astagfirullah ... kenapa jadi seperti ini, sih, Pah?" Mas Daffa berucap pelan. Sekarang tubuhku lemas, aku ambruk dan terduduk di lantai seraya tersedu memanggil putraku. Jahatnya mereka padaku. Semuanya bersekongkol untuk memisahkan aku dengan Rayyan. 'Mas Raffi .... Lihatlah keluargamu ini. Mereka tidak memiliki perasaan.' Dalam hati aku menjerit memanggil suamiku. "Sudah, biarkan saja dulu. Biarkan Ray
Hancur. Satu kata yang aku rasakan saat ini. Melihat orang yang kucintai terbaring di atas ranjang dengan banyaknya alat medis yang terpasang di tubuhnya, membuat duniaku limbung. Aku berdiri kaku di samping Mas Raffi yang memejamkan mata. Seperti janji Papa, dia membawaku bertemu Mas Raffi yang keadaannya memprihatikan. "Apa Mas Raffi koma?" tanyaku pada Papa. "Tidak. Dia sedang tidur. Ketika bangun, Raffi mendengar apa yang kita ucapkan, dia tahu siapa yang ada di sekelilingnya, tapi dia tidak bisa bergerak. Raffi hanya mampu membuka tutup mata saat kita mengajaknya bicara."Aku menutup mulut meredam tangis. Tidak, aku tidak diizinkan tersedu. Aku harus kuat agar Mas Raffi pun demikian. "Apa dia akan kenal Raya, Pah?" "Harusnya kenal."Aku maju satu langkah agar semakin dekat dengan Mas Raffi. Jika saja di tubuh suamiku tidak banyak kabel yang entah gunanya untuk apa, juga di mulutnya tidak ada selang, mungkin saat ini aku akan memeluknya. Aku sangat merindukan dia. Aku in
"Papa, kok pulang? Bawa Raya, lagi?" "Astagfirullah, Mama. Raya anak kita, tempat tinggalnya pun di sini dengan kita," ujar Papa seraya membuka sepatunya. Aku masih berdiri di ambang pintu utama, tidak berani masuk setelah mendapatkan tatapan bengis dari ibu mertua saat datang tadi. Sudah aku duga. Mama pasti keberatan melihat keberadaanku di rumahnya. "Itu dulu. Sebelum dia mengkhianati anak kita. Sekarang, wanita itu sudah bukan bagian dari keluarga kita lagi. Mama tidak mau bermenantukan wanita murahan seperti dia.""Jadi, Mama kekeh mau Raya pergi dari sini?" tanya Papa pada istrinya itu. "Iya. Mama kecewa sama dia. Sudah dibaikin, malah ngelunjak. Papa tidak lihat, bagaimana sikap dia pada Mama tadi? Di luar dugaan, Pah. Mama sampai merinding mendengar kata-kata yang keluar dari bibirnya. Tidak nyangka, Mama."Entah sandiwara atau benar-benar terluka oleh kata-kataku, hingga Mama menangis di depan Papa. Ada rasa bersalah dari dalam hati karena telah berteriak kepada Mama. T
Pelan dan bergetar Mama mengucapkan kalimat yang membuatku terpaku di tempat. Pandangan aku arahkan pada Papa, yang mengedipkan mata memberikan isyarat agar aku tidak menjawab ucapan istrinya. Setelah berucap, Mama menurunkan kakinya menginjak tanah, lalu masuk ke dalam mobil. Papa memanggil Pak Tarmin, kemudian mobil pun melaju meninggalkan halaman.Harusnya aku bahagia karena Rayyan akan ikut denganku. Akan tetapi, mata langsung memanas hingga air keluar dari sudut mata. Aku tidak menyangkal jika jalan hidupku akan semenyedihkan ini. Aku diusir mertua, diminta menjauh dari putranya. "Rayyan ...." Bibirku menyebut nama si buah hati. Sebelah tangan mengusap air yang meleleh di pipi, kemudian aku langsung masuk ke rumah dan pergi ke kamar Rayyan.Tidak ada. Anakku tidak ada di kamarnya. Tahu di mana Rayyan berada, aku pun membuka pintu kamar Mama dan tersenyum saat melihat putraku tidur pulas di atas ranjang king size ibu mertua. Aku naik ke tempat tidur, lalu memeluk Rayyan de
"Kita gak jadi ke Garut, Neng. Bapak menyuruh saya membawa Neng Raya ke vila temannya yang ada di Lembang Bandung.""Loh, kok gitu, Pak? Saya mau ke kampung saja.""Punten, Neng. Saya gak berani ngelanggar perintah Bapak. Coba, Neng Raya saja yang tanya sendiri pada Bapak. Pasti beliau akan mengatakan yang saya ucapkan barusan," tutur Pak Tarmin, dengan sesekali menoleh ke belakang. Aku mengambil ponsel dari dalam tas, lalu menelepon Papa. Namun, tidak diangkat. Papa mengabaikan panggilanku. Ingin mengulanginya lagi, tapi takut mengganggu Papa yang sedang di rumah sakit. Akhirnya aku memutuskan untuk mengirimkan pesan kepada ayah mertuaku itu. [Papa, kok Raya dibawa ke Lembang? Kenapa, Pah?] tulisku. Beberapa menit berlalu, tapi pesan yang aku kirim belum ada balasan juga. Akhirnya aku hanya bisa mengembuskan napas kasar, tanpa ingin menunggu Papa memberikan penjelasan. Mungkin aku akan mencoba meneleponnya lagi setelah sampai di tempat tujuan. Vila, itu tempat yang akan jadi te
Aku mengusap air yang meleleh di pipi. Iya, aku menangis lagi. Tapi, kali ini bukan tangis kesedihan, melainkan tangis hari akan kebaikan ayah mertua. Sejauh itu dia memikirkan aku dan cucunya. Aku kira, Papa akan lepas tangan dan membiarkanku pulang ke kampung halaman. Ternyata, tidak. Papa justru menempatkan aku di sini dengan semua perlengkapan yang aku butuhkan. "Terima kasih, Papa," ucapku kemudian. "Sama-sama. Sengaja Papa memilih tempat itu untuk tempat tinggal sementara kamu. Selian udaranya sejuk, juga agar Papa tidak jauh jika nanti ingin menjenguk kalian. Baik-baik kamu di sana, ya? Ada Ceu Imas dan Kang Asep juga di sana, sebagai penjaga vila, sekaligus orang yang bisa kamu mintai tolong. Jangan sungkan untuk panggil mereka jika kamu butuh sesuatu, ya? Mereka Papa bayar, jadi jangan merasa tidak enakan," ujar Papa menjelaskan tentang sepasang suami istri yang tadi menyambutku. Dalam hati aku mengucap syukur dengan apa yang aku dapat saat ini. Di balik kesedihan, kepilu