"Ho–hotel?" Aku mengulang kata terakhir yang diucapkan Reyhan. Ponsel yang tadi kutempelkan pada telinga, aku turunkan perlahan seiring dengan punggung yang bersandar pada tembok di belakangku. Benarkah apa yang dikatakan Reyhan tentang Mas Raffi? Rasanya aku tidak percaya. Mata aku pejamkan beberapa saat, kemudian membukanya kembali seraya memanggil Reyhan. Ponsel aku dekatkan dengan telinga untuk mendengar suara pria dari seberang sana. "Ra, kamu baik-baik saja?" Pertanyaan itu diberikan Reyhan padaku. "Aku naik, Rey. Emh ... barusan aku hanya sedikit kaget. Ngomong-ngomong, kamu punya bukti kalau Mas Raffi ke hotel?" tanyaku akhirnya. "Bukan hanya bukti, saat ini aku bahkan sedang berada di hotel tempat suamimu berada. Dia masuk dengan menggandeng perempuan, Ra.""Hah ...?" Aku kehilangan kata-kata, hingga yang keluar dari bibir hanya satu kata tak penting itu. "Kalau kamu tidak percaya, aku akan mengirimkan fotonya padamu sekarang." Suara Reyhan terdengar, tapi aku enggan
"Apa yang kamu inginkan dariku, Rey?" tanyaku seraya berusaha membuka pintu. "Kamu."Mataku memicing dengan tatapan tak lepas dari Reyhan yang melangkah mendekatiku. Jantungku berpacu lebih cepat dari sebelumnya. Tangan tak hentinya menarik gagang pintu, meskipun tahu mustahil untuk terbuka. Karena Reyhan, pasti sudah menguncinya. "Rey, kenapa jadi seperti ini? Kenapa kamu sangat berbeda, Rey?" "Aku tidak berbeda, Ra. Hanya saja, kamu tidak mengenalku.""Reyhan yang aku kenal adalah pria baik.""Kebaikanku tidak gratis, Raya," ujar Reyhan lagi membuatku kaget luar biasa. Jadi, selama ini dia hanya pura-pura baik? Oh, astaga .... Jadi ucapan Mas Raffi tentang Reyhan ternyata benar? Pria di depanku ini tidak sebaik yang aku pikirkan. "Apa sebenarnya tujuan kamu, Rey? Kenapa pura-pura baik padaku, lalu sekarang melakukan hal konyol ini? Untuk apa kamu mengurungku di sini?" Dalam keadaan cemas, aku berusaha tenang dan mencoba berdamai dengan Reyhan. Aku harus mengambil hatinya aga
Dengan satu entakan tangan, aku berhasil membuat ponsel Reyhan jatuh ke lantai. Teriakan Reyhan menggema, tapi tidak aku indahkan. Cepat aku mengambil benda pipih tersebut, lalu mematikan sambungan teleponnya dengan Mas Raffi. "Kembalikan hapeku!" sentak Reyhan seraya menghampiri. Aku lari menghindar dari pria itu dengan membawa ponsel miliknya. Reyhan mengejar, dan aku terus menghindar. Sekarang, aku sudah berada di dekat jendela. Kusibak gorden dengan lebar, lalu membuka pintu jendela kaca hingga angin dari luar masuk menerpa kulitku. "Jangan mendekat," kataku pada Reyhan. "Satu langkah saja kamu masuk, ponsel ini akan terjun bebas ke bawah." Aku mengancam. "Kamu mengancamku, Ra? Kalau mau lempar, ya lempar saja. Aku bisa membeli yang baru, bahkan lebih dari satu.""Oh, tentu. Aku sangat percaya dengan itu. Namun, apa kamu juga bisa membeli data-data penting yang ada di dalam ponsel pintar ini, Rey?"Bibir yang tadi menyunggingkan senyum meremehkan, kini terkatup sempurna dan
"Kenapa Mas Raffi bisa jatuh, Bi?" Aku bertanya dengan panik. "Tidak tahu, Mbak. Tapi yang Bibi dengar, katanya Den Raffi jatuh pada tumpukan batu."Refleks tanganku langsung menutup mulut saking terkejut dan takut dengan keadaan suamiku sekarang. Dengan pandanganan yang mengembun, aku mengotak-atik ponsel mencari nomor telepon ibu mertua. Kata Bi Marni, Mama sudah pergi ke rumah sakit sejak tadi. Dan aku ingin tahu keadaan suamiku di sana seperti apa. "Angkat, Mah," kataku tak sabar karena teleponku tidak direspon Mama dari seberang sana. Panggilan telepon aku matikan, lalu mengulanginya lagi. Kali ini, Papa tujuanku. Sama dengan Mama, Papa pun tidak menjawab panggilanku. Rasa khawatir dan takut membuatku langsung keluar dari rumah dan pergi ke rumah sakit. Aku berjalan setengah berlari untuk sampai keluar dari komplek dan mendapatkan taksi. Tujuanku saat ini adalah rumah sakit. Aku yakin, jika Mas Raffi dibawa ke rumah sakit milik Papa. Dengan yakin aku mengatakan pada supir
Rasa panas menjalar. Tidak hanya di pipi yang baru saja ditampar Mama, tapi juga ke seluruh tubuh. Aku memegang bagian wajah yang barusan mendapatkan sentuhan keras dari ibu mertua, seraya mata tak lepas dari wajah wanita di depanku itu. "Mama ...." Satu kata keluar dari bibirku saking terkejutnya dengan apa yang Mama lakukan. "Ini wajahmu yang sebenarnya, Raya? Ini, kamu yang sesungguhnya?" ujar Mama dengan telunjuk tepat di depan wajahku. Aku tahu Mama pasti mendapatkan kabar tentangku dari Mbak Kinara. "Mah—""Diam!" ucap Mama pelan, tapi menekan. "Mama tidak menyangka jika kamu serendah itu. Mama tidak pernah berpikir, jika kamu akan tega mengkhianati putraku."Aku menggelengkan kepala menolak tuduhan Mama yang ditujukan padaku. Aku tidak berkhianat. Aku dijebak, dan keadaan memihak pada yang jahat. "Kurang apa Raffi padamu? Salah apa dia hingga kamu tega melakukan ini?" Mama berucap dengan suara bergetar menahan tangis, pun dengan diriku. Aku sudah tidak mampu menahan gena
"Aku dan Raya memang punya hubungan lebih dari sekedar rekan kerja. Kami saling menyukai satu sama lain, dan saling cinta tentunya. Maaf, mungkin ini terdengar konyol, karena aku berhubungan dengan istri dari sahabatku. Tapi inilah kenyataannya. Hal seperti ini pun, tidak terjadi sekarang. Aku dan Raya sering datang ke hotel ini untuk sekedar menuntaskan rasa rindu kami. Maaf, ini akan sangat menyakitkan untuk Mbak Kinara dan juga Om dan Tante. Aku hanya mengatakan kejujuran saja. Aku lelah main kucing-kucingan, dan ingin Raffi meninggalkan Raya demi aku."Suara Reyhan yang bicara pada Mbak Kinara masih terngiang jelas dalam ingatan. Brengsek! Rasanya saat ini aku ingin menghabisi pria itu. Reyhan benar-benar jahat telah membuatku sangat buruk di mata keluarga Mas Raffi. Sepanjang jalan keluar dari rumah sakit, tak ada satu orang pun yang menyapaku, aku balas. Bibir terkatup rapat dengan pandangan lurus ke depan. Satu-satunya orang yang ingin aku temui saat ini adalah Reyhan. Iya,
"Saya gak tahu, Mbak."Aku memijit kening seraya menjatuhkan tubuh di pinggir ranjang. Jika tidak bersama Bi Marni, lalu Rayyan Mama titipkan di mana? Mungkin, gak jika putraku dititipkan di Mbak Cindy atau Mbak Kinanti? Bukankah Mbak Kinan harus bekerja?Aku mengambil ponsel dan langsung menghubungi Mbak Cindy untuk menanyakan keberadaan putraku. Panggilan pertama tidak diangkat. Aku mengulanginya lagi, tapi tetap tidak diangkat. "Mbak, sebenarnya ada apa? Kenapa Ibu marah besar dan menyuruh saya mengemasi barang Mbak Raya?" Aku menoleh pada Bi Marni yang menatapku sendu. Napas kuembuskan kasar. Haruskah aku menjelaskan semuanya? Ah, sepertinya tidak perlu. Nanti pun Bibi akan tahu dari Mama ataupun yang lainnya. Meskipun tentang kejelekanku yang tidak sama sekali aku perbuat, tapi biarkan saja. Aku lelah menjelaskan yang sebenarnya. Aku capek menangis. "Terus sekarang saya harus apa, Mbak? Saya sedih, Mbak Raya pergi dari sini," ujar Bi Marni lagi. "Tapi, saya juga tidak bi
"Mama!" Aku berteriak kencang saat telepon dimatikan sebelah pihak dari sana. Tangan kukepalkan kuat dengan dada naik turun menahan emosi. Aku menarik napas dalam-dalam, menghirup oksigen dengan banyak hingga sesak ini berkurang. Kulihat lagi pintu rumah Mbak Cindy yang tertutup rapat, lalu kaki melangkah pergi meninggalkan bangunan rumah tersebut. Sudah kupastikan, Mbak Cindy tidak ada di rumah. Dia sedang bersama Mama dan putraku juga. Di mana? Di rumah sakit. Lagi-lagi aku berjalan keluar dari perumahan elit ini untuk mendapatkan taksi. Jika saja tahu tidak ada siapa pun di rumah itu, tidak akan aku membuang-buang waktu datang ke sini. Taksi kudapat, aku pun langsung mengarahkan pengendara untuk membawaku ke rumah sakit. Semakin dekat dengan rumah sakit, dada semakin berdetak kencang. Aku memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi di sana saat aku tiba nanti. Mama marah, pasti!Adanya keributan? Itu yang tidak aku inginkan. "Sudah sampai, Bu," ucap supir taksi. Aku