"Becanda, Ra. Sensitif banget ibu-ibu yang satu ini," ujar Reyhan, meralat ucapannya. Aku kembali melangkah dan berhenti di samping mobil Reyhan. Setelah pria itu membuka pintu mobilnya, aku dan Rayyan pun masuk. "Kita akan ke mana?" tanya Reyhan kemudian. "Pulang ke rumah, atau mau bawa Rayyan ke toko? Atau ... hari ini kita pergi ke Playground saja?" "Ke toko saja, Rey. Aku bisa, kok kerja sambil momong Rayyan. Sayang, kalau harus tutup toko. Masih baru, juga." Reyhan tidak lagi bicara. Dia pun membawa mobilnya ke arah di mana toko kue berada. Sesampainya di sana, aku yang sembari kerepotan mengasuh Rayyan yang aktif, mempersiapkan bahan kue yang akan dibuat. Jangan tanyakan bagaimana sibuknya aku, saat Rayyan mengambil barang yang dia lihat. Dan itu membuat perhatianku terbagi. "Hey, Jagoan. Gimana, kalau kita bermain saja? Kita cari mainan di luar, yuk!" Reyhan yang sudah membersihkan toko, mengajak putraku pergi. Rayyan tidak menolak. Dia bersedia dibawa Reyhan meninggalk
Suasana terasa panas. Baik aku maupun Mbak Kinara tidak ada lagi yang bicara. Aku sibuk mengatur napas yang sedikit sesak setelah menjawab ucapan kakak iparku itu. Tidak mungkin Mbak Kinara bicara seperti itu, jika tidak ada yang mengompori sebelumnya. Jangan-jangan ... Mas Raffi curhat dengan membalikkan fakta pada kakaknya ini? Tega sekali Mas Raffi jika benar melakukan hal tersebut."Maaf, Mbak. Jika ucapanku barusan membuat perasaan Mbak tidak enak. Aku hanya mengatakan yang ada dalam pikiranku saja," ujarku akhirnya. Mbak Kinara manggut-manggut seraya memainkan cincin yang melingkar di jari manisnya. "Mbak hanya mengingatkan, Ra.""Terima kasih. Itu artinya Mbak sayang padaku dan Mas Raffi.""Itu pasti," katanya, "kalian adik Mbak. Dan Mbak tidak ingin ada masalah dalam rumah tangga kalian."Hening kembali. Aku hanya mengangguk menanggapi ucapan Mbak Kinara. Hingga akhirnya, wanita itu pun pamit dari toko sebelum sempat mencicipi kue buatanku. Aku bahkan belum sempat membua
"Sampaikan salam aku pada kedua mertuamu, Ra. Aku gak nyangka banget jika mereka akan sebaik itu padaku.""Akan aku sampaikan, Mi. Sekali lagi, selamat menempuh hidup baru, semoga bahagia selalu, ya. Maaf, aku gak bisa datang, Mi," ucapku dengan kesungguhan hati. Obrolan dengan Mimi berakhir, dan aku memutuskan untuk membersihkan diri. Rayyan yang tidur di lantai satu, aku titipkan pada Bi Marni. Takutnya aku tidak mendengar dia saat bangun nanti. Sedikit lama aku berada di kamar mandi, hingga kemudian menyudahi berendam dan segera memakai pakaian lengkap. Aku turun lagi ke lantai satu, karena perut yang terasa perih minta diisi. "Rayyan bangun, gak, Bi?" tanyaku ketika melihat Bi Marni dari arah kamar Rayyan. "Tidak, Mbak. Barusan saya lihat masih tidur nyenyak.""Yasudah, biarkan saja. Bi Marni temani saya makan, yuk! Sekarang perut terasa lapar.""Mbak Raya saja yang makan, saya sudah makan sebelum Mbak Raya pulang. Tapi, kalau mau ditemani di meja makan, ayo, Mbak. Kebetulan
"Assalamualaikum."Aku membuka pintu ruang rawat inap Papa. Kedua mertuaku melihat ke arahku yang tersenyum pada mereka. "Waalaikumsalam. Raya ...? Kamu, kok ke sini lagi? Rayyan sama siapa di rumah?" tanya Mama. "Sama Mas Raffi, Mah. Barusan Mas Raffi nganterin aku ke sini, lalu pulang lagi.""Syukurlah kalau Rayyan ada temannya. Tadi siang rewel, gak?" Aku menghampiri ranjang Papa, melihat kondisi ayah mertua yang sekarang sudah bisa duduk. "Awalnya enggak, Mah. Tadi pagi, Rayyan juga ikut ke toko. Tapi ya gitu, semakin siang semakin rewel karena gak ada teman.""Papa di sini baik-baik saja, Ra. Kamu tidak usah khawatirkan Papa. Fokus saja sama Rayyan," ujar ayah mertua kemudian. Aku tersenyum tipis, kemudian menanyakan bagian tubuh mana yang sakit pada Papa. Aku juga mendengarkan penjelasan tentang kronologi kejadian yang membuat ayah mertua harus dirawat di rumah sakit. Katanya Papa capek dan mengantuk pada malam itu, hingga dia tidak fokus pada jalanan yang dilewatinya. Dan
"Rayyan rewel, gak, Bi?" "Tidak, Mbak. Dari tadi di anteng main sama saya," ujar Bi Marni. Rasanya lega sekali jika putraku tidak membuat wanita yang usianya sudah tak lagi muda itu kerepotan. Itu artinya, Bi Marni memang mampu mengimbangi keaktifan Rayyan. "Den Raffi, mana, Mbak? Kok, barusan saya lihat Mbak Raya pulang diantar taksi?" Aku mengembuskan napas kasar seraya menatap Bi Marni yang melihat ke pintu gerbang yang terbuka. Taksi yang membawaku baru saja pergi, dan karena Bi Marni sedang mengajak Rayyan bermain di teras, pastilah dia melihat mobil apa yang barusan berhenti di depan rumah. "Emh .... Mungkin Mas Raffi ke tempat kerjanya dulu, jadi lama. Dan karena saya khawatir pada Rayyan, makanya saya memutuskan pulang tanpa Mas Raffi," jawabku dengan seulas senyum. Bi Marni membulatkan mulut seraya manggut-manggut. Wanita itu pun kembali ke dalam, dan sekarang akulah yang menemani putraku bermain. Mainan milik Rayyan berserakan di teras rumah. Aku pun memungutnya sera
"Ya, jangan orang lain juga, Pah," ujar Mas Daffa. "Menurutku, Raffa lebih cocok, Pah.""Ah, tidak Mas. Kamu saja. Aku mana mampu.""Kenapa gak dua-duanya saja, sih? Mama jadi pusing melihat kalian saling lempar tanggung jawab. Kenapa pada gak yakin sama kemampuan diri sendiri, sih?" Mama yang sedari tadi hanya diam, kini mulai mengeluarkan suara karena mungkin jengkel pada anak-anaknya. Mereka seolah-olah menganggap remeh permintaan Papa, dan terus saja saling menolak mendapatkan amanah berat. "Tidak bisa, Mah. Ya, secara logis, rumah sakit itu memang milik kita, harusnya kita bahu membahu memajukan serta menjaga kepercayaan masyarakat. Namun, dalam bisnis tidak bisa satu perusahaan memiliki dua pemimpin. Harus ada satu yang ditinggikan," tutur Papa. "Kalau menurut Kinanti, lebih baik Papa bicarakan ini dengan yang lain. Direksi serta jajaran penting rumah sakit. Iya, rumah sakit itu milik Papa, Papa yang bangun dari hanya satu ruangan, menjadi beberapa lantai. Namun, rumah sakit j
"Apa yang kamu sembunyikan, Mas?" tanyaku seraya menoleh padanya. Mas Raffi masuk ke kamar, lalu menutup pintu dan menguncinya. Tatapan mata ini enggan lepas dari dia yang juga melihatku dengan sangat serius. Setiap kedip matanya membuat detak jantungku terasa berdenyut. Aku takut, jika kejujuran yang dia katakan bisa membuatku sakit luar biasa. "Ada beberapa hal yang aku sembunyikan, dan itu semua aku lakukan dengan kesadaran.""Apa, Mas? Katakan!" Aku berucap tak sabar. "Gini." Mas Raffi memegang kedua pundakku, lalu menggiring tubuh ini untuk duduk di pinggir ranjang. "Aku tidak bisa menjelaskan hanya dengan bicara. Aku harus membawamu ke suatu tempat agar kamu percaya, Ra."Suatu tempat? Apa maksud Mas Raffi, dia akan membawaku ke rumah selingkuhannya itu. Atau ... jangan-jangan mereka sudah menikah tanpa sepengetahuanku? Oh, jantung ... siapkah menerima kenyataan? "Kenapa tidak bicara saja sekarang, Mas?" kataku, lalu memalingkan wajah ke arah lain. Kedua kaki aku angka
"Tadi masih di kamar, Mah. Biar aku panggilkan.""Biarkan saja lah, Ra. Nanti pun dia turun sendiri. Sebaiknya kamu makan. Sudah capek ke sana kemari beli lontong sayur, masih harus manggil Raffi juga? Dia bukan anak kecil lagi, tidak usah dibujuk-bujuk. Kalau lapar pasti makan sendiri.""Biar sarapannya bareng-bareng, Pah. Kalau dinanti-nanti, lontongnya malah dingin," ujar Mama menjawab ucapan Papa. "Gak apa-apa, Pah. Biar Raya panggil Mas Raffi sekalian mau lihat Rayyan di kamarnya. Mama sama Papa, sarapan duluan saja, ya?" kataku, menengahi sepasang suami istri itu. Aku pun pergi meninggalkan meja makan, lalu pergi ke lantai dua. Namun, Mas Raffi tidak ada di sana. Keadaan kamar pun masih sama seperti yang aku tinggalkan tadi. Itu artinya, Mas Raffi tidak masuk ke sini sepeninggalnya diriku. Lalu di mana dia?Aku keluar dari kamar, lalu kembali ke bawah. Tapi, tidak perlu ke ruang makan. Melainkan ke kamar Rayyan, siapa tahu Mas Raffi tidur di sana. "Nda ....""Eh, anak Bund