"Barusan, Raffi bilang sama kita, kalau teman kamu yang bernama Mimi, akan menikah. Jadi ... Mama sama Papa mau memberikan sedikit hadiah untuk dia," cetus Mama membuatku tidak percaya. Mata ini menatap kedua mertuaku bergantian. Benarkah yang mereka katakan? "Ha–hadiah apa, Mah?" tanyaku akhirnya. "Bukan sesuatu yang mahal dan berharga, tapi insya Allah berguna bagi mereka. Nanti Mama sama Papa akan pergi untuk membeli beberapa barang, dan nanti pada hari pernikahan dia, biar Pak Tarmin yang antar ke sana. Itu sebagai permintaan maaf juga, karena kamu dan Raffi tidak bisa datang ke sana.""Mama ... terima kasih. Mama baik banget sama orang-orang di sekitar aku, terutama sama Mimi," ujarku terharu. Demi Allah, aku tidak menyangka kedua mertuaku akan mau memberikan sedikit hartanya untuk sahabatku itu. Meskipun belum tahu apa yang akan Mama beli, tapi rasanya hatiku sungguh bahagia. "Sama-sama, Raya. Mama sama Papa mengingat kebaikan Mimi pada kamu dan Bu Fatimah. Dan sebagai ora
"Apa, Fi?" "Ah, tidak apa-apa. Jika ada waktu, siang nanti baca pesan dariku," ucap Mas Raffi. "Aku kerja dulu. Kamu baik-baik di sini," lanjutnya lagi, bicara padaku. Aku menganggukkan kepala dan membiarkan Mas Raffi keluar dari ruko ini. Tidak aku antar dia, hanya melihatnya pergi seraya memakai kacamata hitam yang jadi barang wajibnya. "Apa suamimu sedang sakit, Ra?"Pertanyaan itu meluncur dari Reyhan. Pria yang tengah memasukkan bahan kue ke dalam wadah besar itu tidak melihatku, tapi kata-katanya jelas untukku. "Tidak, Rey. Entahlah, aku juga tidak tahu ada apa dengan Mas Raffi," kataku seraya mengedikkan bahu. Tas yang masih tersampir di pundak, aku simpan di salah satu bufet yang ada di belakang Reyhan. Aku juga mengambil celemek, lalu memakainya. "Kalian ada masalah? Atau ... Raffi mencari-cari kesalahanmu demi menutupi kesalahannya?" Aku mengerutkan kening seraya melihat ke arah Reyhan yang memunggungiku. Kaki aku langkahkan agar bisa lebih dekat dengan dia, dan melih
"Mas Raffi?" Aku menyebut pria tersebut. "Kenapa dalam pikiranmu selalu Reyhan, Ra? Sampai-sampai tak mengenali suamimu sendiri.""Bukan gitu, Mas. Ya, aku pikir Reyhan, karena dia yang kerja di sini. Lagian, Mas ngapain ke sini? Tumben, bisa keluyuran di jam kerja," kataku seraya memperhatikan Mas Raffi. Suamiku itu mengambil minuman kemasan dari lemari pendingin, lalu menghampiriku di balik meja dapur. "Sengaja aku sayang, mau ada yang ingin dibicarakan dengan Reyhan.""Bicara apa?" tanyaku seraya mengernyitkan kening. "Ada lah. Urusan laki-laki.""Jangan bilang kamu akan membahas soal uang modal dengan Reyhan, Mas. Aku gak mau, ya toko yang baru buka harus tutup gara-gara kamu ikut campur dalam bisnisku.""Salah, jika aku ikut campur?" Aku membuka plastik yang membungkus jari-jari tanganku, kemudian melihat Mas Raffi yang berdiri tak jauh dariku. Pria itu menegak minuman di tangannya, lalu membuang botol kosong dengan kasar ke tempat sampah. "Kali ini salah, Mas," ujarku mem
Tanganku terkepal menahan gejolak di dalam dada. Apalagi jika aku perhatikan baik-baik, wanita itu terlihat muda dan cantik. Pantas, jika Mas Raffi jatuh hati pada dia. Penampilannya pun anggun, tidak asal-asalan sepertiku. Melihatku diam saja, wanita itu pergi menghampiri Reyhan yang sedang melayani pembeli lain. Aku membalikkan badan, masih menatap dia dari kejauhan. Sisi buruk dari diriku mengatakan, aku harus menarik kerudung wanita itu hingga ia jatuh terjerembab ke lantai. Lalu aku maki, bahkan memukulnya sampai dia sadar, jika Mas Raffi hanya milikku. Namun, kutepis pikiran buruk itu. Aku tidak boleh gegabah dan membuat masalah di sini. Aku tidak mau bisnis yang baru aku rintis, berakhir tragis. "Ra, kenapa ngelamun? Pembeli protes, tuh." Aku mengerjapkan mata berulang kali saat Reyhan berbisik. Kemudian aku langsung pergi ke belakang, mengambil stok mille crepes yang wanita itu minta. "Ini, Rey!" Aku berujar pada Reyhan. Pria itu mengambilnya, lalu memberikan pada wan
"Sebaiknya kamu jangan dulu melunasi uang modal pada Reyhan, Ra."Aku yang tengah mengoleskan krim malam di wajah, langsung menoleh pada Mas Raffi yang baru saja bicara. Masih tentang uang. Mas Raffi terus saja membahas modal yang menurutnya tidak masuk akal. Padahal, itu sangat wajar menurutku. Di zaman sekarang yang serba mahal dan canggih, masa iya membuka toko cukup dengan biaya lima puluh juta saja? Pasti tidak akan cukup. Dan aku yakin, Reyhan sudah menghitung semua pengeluaran, sebelum dia mengatakan jumlah yang diminta. Mas Raffi-nya saja yang tidak percaya. "Kenapa, sih, Mas? Kamu, tuh masih saja mempersalahkan modal toko kue. Sudahlah, toko itu usahaku, sebaiknya kamu jangan ikut campur," kataku seraya kembali mengaplikasikan krim di wajah. "Ada yang tidak beres dengan Reyhan, Ra. Dia seperti ingin memeras kamu, dan membuat kita hancur.""Ahahahaha ...." Aku terbahak mendengar ucapan Mas Raffi. Demi menutupi kesalahannya, dia rela menjatuhkan temannya sendiri. Aku tida
Sebenarnya aku ingin pergi ke rumah sakit untuk melihat keadaan Papa, tapi bagaimana dengan Rayyan di sini? Masa iya, aku menitipkannya pada Bi Marni?Kalau anakku bangun dan nangis, gimana?Banyak kekhawatiran yang membuatku bingung harus melakukan apa saat ini. Di satu sisi ingin pergi, tapi di sisi lain menahanku untuk tetap di sini. "Kok, Mas Raffi sama Mama belum ngasih kabar, ya?" kataku gusar. Mataku terus melirik ponsel yang layarnya masih padam. Tidak ada tanda-tanda pesan masuk, atau juga bunyi telepon dari seseorang. Akhirnya, rasa penasaran akan keadaan ayah mertua membuatku nekad menghubungi Mas Raffi, meskipun aku masih marah padanya.Kusingkirkan ego demi memastikan jika Papa baik-baik saja. "Apa?" tanya dari seberang sana dengan nada dingin. "Gimana keadaan Papa, Mas?" Bukannya menjawab, Mas Raffi malah mengembuskan napas kasar. Hingga suara napasnya pun terdengar di telingaku. "Tidak begitu mengkhawatirkan. Papa cedera di bagian kepala serta dadanya. Dia akan
"Mama, tuh terlalu memanjakan Raya. Semua tentang dia pasti diistimewakan. Ngapain juga Pak Tarmin harus ke Garut demi nganterin barang buat temannya Raya? Yang nikah siapa, yang seserahan siapa?" Deg!Dadaku berdetak kencang saat tak sengaja mendengar ucapan yang terlontar dari bibir seorang wanita. Langkah kaki aku hentikan, lalu berdiri di tempat untuk mendengarkan obrolan mereka. "Iya, sih. Kalau dipikir-pikir, Mama lebay. Tapi, ya gimana? Kita tidak punya hak untuk melarang. Ya ... walaupun kita anaknya, kalau Mama sudah ada mau, gak bisa diganggu." Satu wanita lainnya menimpali. Bohong jika aku merasa baik-baik saja. Tentu hatiku terasa sakit. Rasa bersalah akan kecelakaan Papa membuatku semakin rendah diri. Siapa aku, yang harus diistimewakan? Aku sama sekali tidak punya pikiran sampai sana. Lagipula, aku juga tidak tahu jika hadiah yang Mama berikan untuk Mimi akan sebanyak itu. Semuanya di luar dugaanku. "Kenapa berhenti?" "Sssttt ...." Aku menempelkan telunjuk di bib
"Becanda, Ra. Sensitif banget ibu-ibu yang satu ini," ujar Reyhan, meralat ucapannya. Aku kembali melangkah dan berhenti di samping mobil Reyhan. Setelah pria itu membuka pintu mobilnya, aku dan Rayyan pun masuk. "Kita akan ke mana?" tanya Reyhan kemudian. "Pulang ke rumah, atau mau bawa Rayyan ke toko? Atau ... hari ini kita pergi ke Playground saja?" "Ke toko saja, Rey. Aku bisa, kok kerja sambil momong Rayyan. Sayang, kalau harus tutup toko. Masih baru, juga." Reyhan tidak lagi bicara. Dia pun membawa mobilnya ke arah di mana toko kue berada. Sesampainya di sana, aku yang sembari kerepotan mengasuh Rayyan yang aktif, mempersiapkan bahan kue yang akan dibuat. Jangan tanyakan bagaimana sibuknya aku, saat Rayyan mengambil barang yang dia lihat. Dan itu membuat perhatianku terbagi. "Hey, Jagoan. Gimana, kalau kita bermain saja? Kita cari mainan di luar, yuk!" Reyhan yang sudah membersihkan toko, mengajak putraku pergi. Rayyan tidak menolak. Dia bersedia dibawa Reyhan meninggalk