"Cantiknya istri aku."Wajah kupalingkan ke lain arah, menghindari tatapan Mas Raffi. Bibirnya tak henti memuji sejak kami keluar dari rumah tadi. Saat ini, aku dan dia tengah berada di salah satu restoran ternama, yang terkenal dengan suasana romantisnya. Lilin menyala di tengah-tengah meja dengan tarian indah karena tertiup angin malam. Berbagai menu makanan pun sudah tersaji, tapi belum ada yang aku sentuh sama sekali. Aku tidak ingin makan, tapi ingin mendapatkan penjelasan dari dia yang menoreh luka. Perutku tidak lapar, tapi perasaanku yang haus perhatian. Sayangnya, hatiku sudah terlanjur sakit oleh kebohongan yang bertubi-tubi dia berikan. Apakah sekarang aku harus tersanjung dengan adanya makan malam yang terlihat romantis ini?"Sayang ...." Mas Raffi memanggil dengan sebelah tangan menggenggam tanganku. Aku melihatnya. Menatap dia yang mengangkat kedua alis, menatapku manis. "Apa, Mas?" tanyaku. "Dengarkan aku, ya? Aku mau bicara sama kamu, dan ini benar-benar dari
Jadi, aku harus pura-pura bahagia dengan makan malam yang penuh dengan drama tadi? Ah, Mas Raffi. Kenapa dia jadi pria tidak berperasaan seperti itu? Tanpa menjawab permintaannya, aku langsung turun dan membanting pintu mobil dengan lumayan keras. Aku pun langsung masuk sendirian, tidak menunggu Mas Raffi yang masih berada di dalam mobil. "Gimana makan malamnya, Bunda? Menyenangkan?"Niat hati yang ingin langsung ke kamar, aku tunda saat melihat Mama dan Rayyan di ruang tengah. Padahal sudah pukul sebelas malam, tapi Rayyan belum tidur. Mungkin karena tadi dia tidur sesudah maghrib. "Menyenangkan, dong. Eh, Rayyan belum bobok, ya?" Aku menghampiri mereka, lalu duduk di sofa seraya berbasa-basi. Tidak berapa lama, Mas Raffi datang dan menjatuhkan bokong di sampingku. Lagi-lagi aku dituntut bersandiwara. Harus berperan sebagai wanita bahagia di depan semua mata. "Kok, Rayyan belum tidur, Mah?" tanya Mas Raffi pada ibunya. "Sudah tidur, kan tadi. Cuma bangun lagi, malah main sa
Aku masuk tanpa suara. Dan tentu saja kedatangnku mengagetkan Mas Raffi yang sedang bertelepon ria dengan sepupunya. Sadar jika keberadaanku membuatnya tak aman, Mas Raffi langsung mengakhiri panggilan dengan Bayu. "Hei, aku kira kamu akan lama di bawah. Tadinya aku mau ke sana lagi," ujarnya. Aku tahu itu bukan ucapan dari hatinya. Melainkan hanya basa-basi untuk menutupi rasa gugup dari dirinya. "Untuk apa ke bawah? Mama pun sudah tidur.""Rayyan?" Dia pura-pura perhatian pada putranya. "Kalau Mama sudah tidur, itu artinya Rayyan juga sudah tidur," jawabku malas. "Kamu dingin banget jawabnya, Ra. Kamu masih menganggapku selingkuh?" "Bagaimana aku tidak menganggap kamu selingkuh, jika kamu pun tidak menyanggah tuduhanku tentang itu? Yang kamu katakan cuma maaf dan maaf. Tidak ada, tuh kamu menjelaskan siapa wanita yang tadi satu mobil bersamamu. Kamu malah melempar kata dengan membawa-bawa Reyhan, kan tadi?" "Ya Allah ... apa ini masih sambungan dari perdebatan di restoran ta
Aku tertegun seraya memandangi dua benda pipih milik Mas Raffi bergantian. Aku benar-benar tidak menyangka jika suamiku akan melakukan hal sejauh ini. Penasaran dengan isi ponsel yang baru saja aku temukan, aku pun menekan tombol kecil yang ada di samping ponsel tersebut untuk menyalakan layarnya. Berhasil. Akan tetapi ...."Pakai password?" kataku saat layar terkunci. Aku pun menekan beberapa angka berharap kunci layar tersebut dapat terbuka. Namun, sayangnya gagal terus. Padahal aku mencoba banyak angka dari mulai tanggal lahir Mas Raffi, aku, dan putra kami. "Apa yang kamu simpan di sini, Mas?" gumamku lagi seraya tak mengalihkan pandangan dari ponsel di tangan. Detik berikutnya, mataku beralih pada Mas Raffi yang sudah terlelap di atas ranjang. Hatiku berdenyut nyeri membayangkan pria itu bertukar pesan mesra dengan wanita lain. Pasti. Aku yakin sekali jika Mas Raffi memang selingkuh. Kalau tidak, tidak mungkin ada ponsel lain yang tidak aku ketahui. Semakin aku melihat ben
"Maksudnya, usia pernikahan di bawah lima tahun, akan banyak ujian. Dari mulai ekonomi, hubungan antara keluarga, juga kesetiaan dan kepercayaan.""Eh, Mama ...," ucapku saat menyadari ada ibu mertua yang ikut nimbrung dalam obrolanku dan Bi Marni. Wanita paruh baya yang masih memakai setelan kimono itu tersenyum seraya bersidekap dada di ambang penyekat dapur dan ruang makan. Kemudian dia berjalan mendekat ke arahku."Bakwannya sudah ada yang matang, Ra?" tanyanya. "Ada, Mah." Aku menjawab seraya membalikkan bakwan yang ada di dalam penggorengan. Setelah memastikan bakwan dalam wajan terhindar dari gosong seperti tadi, aku pun memberikan bakwan yang sudah tersaji di atas piring, kepada Mama. "Itu kenapa dipisah?" Mama bertanya lagi seraya menunjuk bakwan yang berwarna gelap. "Anu, Mah. Itu ....""Gosong, Bu." Bi Marni menjawab pertanyaan Mama. "Aduh, kokinya pada ngerumpi, makanya jadi gosong. Tolong buatkan kopi tiga gelas, lalu antar ke depan, ya, Ra. Mama sama Papa mau makan
"Kamu gak apa-apa, nunggu sendirian di sini?" "Gak apa-apa, Mas. Paling sebentar lagi Reyhan juga datang, kok," jawabku. Sekarang aku sudah berada di depan ruko yang baru disewa Reyhan. Aku tidak sendiri, tapi dengan Mas Raffi. Entah ada angin apa atau ada bisikan dari jin mana, tiba-tiba Mas Raffi ingin mengantarku. Alasannya agar dia tahu tempat bekerja istrinya, tapi menurutku bukan itu alasannya. Mas Raffi pasti cemburu karena aku bekerja dengan pria lain. Yang di mana pria itu lajang, belum memiliki pasangan. Suamiku sepertinya takut tersaingi. Baguslah jika dia cemburu. Aku bisa menjadikan Reyhan sebagai alat untuk memainkan perasaan Mas Raffi, seperti dia yang juga mempermainkan perasaanku. Aku dibuat tidak mengerti dengan sikap Mas Raffi. Kadang baik, perhatian, lembut dan penyayang. Namun, tak jarang juga dia bersikap dingin, tak peduli dan marah-marah gak jelas. "Coba aku telepon. Enak banget nyuruh-nyuruh istri orang datang pagi, tapi dianya malah telat. Dia pikir di
"Bentar, aku lihat dulu." Reyhan berjalan ke arah pintu, meninggalkan aku yang beridiri seraya memikirkan sesuatu. Mungkinkah ada orang yang sedang mengintai kami? Oh, apa jangan-jangan orang suruhan Mas Raffi? Seketika aku jadi teringat obrolan suamiku dengan seseorang lewat sambungan telepon tadi pagi. Rasa khawatir akan kemarahan Mas Raffi menari di dalam kepala saat ini. Aku takut orang itu melebihkan apa yang dia lihat antara aku dan Reyhan. Aku juga takut jika Mas Raffi lebih percaya pada orang suruhannya ketimbang aku istrinya. "Siapa, Rey?" tanyaku kemudian, saat pria itu kembali. "Itu, tetangga sebelah membawa bangku, terus tidak sengaja jatuh dan mengenai pintu ruko kita.""Oh ...." Aku manggut-manggut. "Yuk, lanjutkan lagi," ujar Reyhan mendekatiku. "Biar aku saja yang kerjakan, Rey. Sebaiknya kamu buat beberapa sampel minuman saja."Reyhan terlihat berpikir, kemudian dia menganggukkan kepala tanda setuju. Pria yang mengenakan kemeja motif salur itu mengambil beb
"Ra, kamu gak salah, bawa semua ini ke rumah?" Aku menggelengkan kepala menjawab pertanyaan Mama. Ibu mertuaku itu melempar pandangan pada suaminya, yang tengah melihat meja seraya meneguk ludah. "Aku sengaja bawa semua ini pulang, karena ingin Mama dan Papa cobain kue bolu buatanku. Ini sampel, Mah. Kalau kata Mama enak, berarti layak dijual. Tap, kalau kata Mama enggak enak, aku akan perbaiki dan buat kue yang lebih enak dari ini," ujarku optimis. "Banyak banget sampelnya, Raya ...." "Enggak, ah. Cuma tujuh jenis bolu, Pah," kataku, "ada bolu kukus karakter, bolu pelangi, ice milo roll cake, brownies lumer, bolu pisang, bolu tape, dan mille crepes." Aku menyebutkan satu per satu bolu yang aku buat. Tadi, aku dan Reyhan keasikan mencoba alat dan resep bolu, hingga tak sadar membuat beberapa macam bolu yang aku sebutkan barusan. Karena belum dibuka untuk pengunjung, akhirnya aku membawa pulang bolu-bolu tersebut ke rumah. Dan di sinilah aku sekarang. Duduk di depan Mama dan Pa