"Maksudnya, usia pernikahan di bawah lima tahun, akan banyak ujian. Dari mulai ekonomi, hubungan antara keluarga, juga kesetiaan dan kepercayaan.""Eh, Mama ...," ucapku saat menyadari ada ibu mertua yang ikut nimbrung dalam obrolanku dan Bi Marni. Wanita paruh baya yang masih memakai setelan kimono itu tersenyum seraya bersidekap dada di ambang penyekat dapur dan ruang makan. Kemudian dia berjalan mendekat ke arahku."Bakwannya sudah ada yang matang, Ra?" tanyanya. "Ada, Mah." Aku menjawab seraya membalikkan bakwan yang ada di dalam penggorengan. Setelah memastikan bakwan dalam wajan terhindar dari gosong seperti tadi, aku pun memberikan bakwan yang sudah tersaji di atas piring, kepada Mama. "Itu kenapa dipisah?" Mama bertanya lagi seraya menunjuk bakwan yang berwarna gelap. "Anu, Mah. Itu ....""Gosong, Bu." Bi Marni menjawab pertanyaan Mama. "Aduh, kokinya pada ngerumpi, makanya jadi gosong. Tolong buatkan kopi tiga gelas, lalu antar ke depan, ya, Ra. Mama sama Papa mau makan
"Kamu gak apa-apa, nunggu sendirian di sini?" "Gak apa-apa, Mas. Paling sebentar lagi Reyhan juga datang, kok," jawabku. Sekarang aku sudah berada di depan ruko yang baru disewa Reyhan. Aku tidak sendiri, tapi dengan Mas Raffi. Entah ada angin apa atau ada bisikan dari jin mana, tiba-tiba Mas Raffi ingin mengantarku. Alasannya agar dia tahu tempat bekerja istrinya, tapi menurutku bukan itu alasannya. Mas Raffi pasti cemburu karena aku bekerja dengan pria lain. Yang di mana pria itu lajang, belum memiliki pasangan. Suamiku sepertinya takut tersaingi. Baguslah jika dia cemburu. Aku bisa menjadikan Reyhan sebagai alat untuk memainkan perasaan Mas Raffi, seperti dia yang juga mempermainkan perasaanku. Aku dibuat tidak mengerti dengan sikap Mas Raffi. Kadang baik, perhatian, lembut dan penyayang. Namun, tak jarang juga dia bersikap dingin, tak peduli dan marah-marah gak jelas. "Coba aku telepon. Enak banget nyuruh-nyuruh istri orang datang pagi, tapi dianya malah telat. Dia pikir di
"Bentar, aku lihat dulu." Reyhan berjalan ke arah pintu, meninggalkan aku yang beridiri seraya memikirkan sesuatu. Mungkinkah ada orang yang sedang mengintai kami? Oh, apa jangan-jangan orang suruhan Mas Raffi? Seketika aku jadi teringat obrolan suamiku dengan seseorang lewat sambungan telepon tadi pagi. Rasa khawatir akan kemarahan Mas Raffi menari di dalam kepala saat ini. Aku takut orang itu melebihkan apa yang dia lihat antara aku dan Reyhan. Aku juga takut jika Mas Raffi lebih percaya pada orang suruhannya ketimbang aku istrinya. "Siapa, Rey?" tanyaku kemudian, saat pria itu kembali. "Itu, tetangga sebelah membawa bangku, terus tidak sengaja jatuh dan mengenai pintu ruko kita.""Oh ...." Aku manggut-manggut. "Yuk, lanjutkan lagi," ujar Reyhan mendekatiku. "Biar aku saja yang kerjakan, Rey. Sebaiknya kamu buat beberapa sampel minuman saja."Reyhan terlihat berpikir, kemudian dia menganggukkan kepala tanda setuju. Pria yang mengenakan kemeja motif salur itu mengambil beb
"Ra, kamu gak salah, bawa semua ini ke rumah?" Aku menggelengkan kepala menjawab pertanyaan Mama. Ibu mertuaku itu melempar pandangan pada suaminya, yang tengah melihat meja seraya meneguk ludah. "Aku sengaja bawa semua ini pulang, karena ingin Mama dan Papa cobain kue bolu buatanku. Ini sampel, Mah. Kalau kata Mama enak, berarti layak dijual. Tap, kalau kata Mama enggak enak, aku akan perbaiki dan buat kue yang lebih enak dari ini," ujarku optimis. "Banyak banget sampelnya, Raya ...." "Enggak, ah. Cuma tujuh jenis bolu, Pah," kataku, "ada bolu kukus karakter, bolu pelangi, ice milo roll cake, brownies lumer, bolu pisang, bolu tape, dan mille crepes." Aku menyebutkan satu per satu bolu yang aku buat. Tadi, aku dan Reyhan keasikan mencoba alat dan resep bolu, hingga tak sadar membuat beberapa macam bolu yang aku sebutkan barusan. Karena belum dibuka untuk pengunjung, akhirnya aku membawa pulang bolu-bolu tersebut ke rumah. Dan di sinilah aku sekarang. Duduk di depan Mama dan Pa
"Latihan? Latihan apa?" Aku bergumam seraya memikirkan arti dari pesan tersebut. Layar ponsel di tangan sudah padam, aku pun menyalakannya lagi, lalu mencoba membuka kunci untuk membaca dan mengetahui apa saja yang Mas Raffi sembunyikan di ponsel tersebut. Namun, seperti yang sudah-sudah. Aku gagal, tidak tahu angka berapa saja yang dipakai Mas Raffi untuk mengunci ponsel itu. "Allah ... apa yang disembunyikan suamiku?" Berulang kali aku menarik napas panjang untuk menghilangkan perasaan tak nyaman di dalam lubuk hati. Aku ingin berpikir positif, tapi yang muncul justru pikiran negatif. Apa itu pesan dari selingkuhan Mas Raffi? Tapi, tidak ada namanya. Hanya nomor saja. Tidak ingin kecurigaanku diketahui Mas Raffi, aku pun segera keluar dari kamar setelah menyimpan ponsel di tempat semula. Kolam renang adalah tempat yang tepat untukku menenangkan diri seraya mencari tahu arti dari kalimat yang tadi aku baca. Latihan. Kata kunci yang membuatku penasaran. Latihan apa? Siapa ya
"Barusan, Raffi bilang sama kita, kalau teman kamu yang bernama Mimi, akan menikah. Jadi ... Mama sama Papa mau memberikan sedikit hadiah untuk dia," cetus Mama membuatku tidak percaya. Mata ini menatap kedua mertuaku bergantian. Benarkah yang mereka katakan? "Ha–hadiah apa, Mah?" tanyaku akhirnya. "Bukan sesuatu yang mahal dan berharga, tapi insya Allah berguna bagi mereka. Nanti Mama sama Papa akan pergi untuk membeli beberapa barang, dan nanti pada hari pernikahan dia, biar Pak Tarmin yang antar ke sana. Itu sebagai permintaan maaf juga, karena kamu dan Raffi tidak bisa datang ke sana.""Mama ... terima kasih. Mama baik banget sama orang-orang di sekitar aku, terutama sama Mimi," ujarku terharu. Demi Allah, aku tidak menyangka kedua mertuaku akan mau memberikan sedikit hartanya untuk sahabatku itu. Meskipun belum tahu apa yang akan Mama beli, tapi rasanya hatiku sungguh bahagia. "Sama-sama, Raya. Mama sama Papa mengingat kebaikan Mimi pada kamu dan Bu Fatimah. Dan sebagai ora
"Apa, Fi?" "Ah, tidak apa-apa. Jika ada waktu, siang nanti baca pesan dariku," ucap Mas Raffi. "Aku kerja dulu. Kamu baik-baik di sini," lanjutnya lagi, bicara padaku. Aku menganggukkan kepala dan membiarkan Mas Raffi keluar dari ruko ini. Tidak aku antar dia, hanya melihatnya pergi seraya memakai kacamata hitam yang jadi barang wajibnya. "Apa suamimu sedang sakit, Ra?"Pertanyaan itu meluncur dari Reyhan. Pria yang tengah memasukkan bahan kue ke dalam wadah besar itu tidak melihatku, tapi kata-katanya jelas untukku. "Tidak, Rey. Entahlah, aku juga tidak tahu ada apa dengan Mas Raffi," kataku seraya mengedikkan bahu. Tas yang masih tersampir di pundak, aku simpan di salah satu bufet yang ada di belakang Reyhan. Aku juga mengambil celemek, lalu memakainya. "Kalian ada masalah? Atau ... Raffi mencari-cari kesalahanmu demi menutupi kesalahannya?" Aku mengerutkan kening seraya melihat ke arah Reyhan yang memunggungiku. Kaki aku langkahkan agar bisa lebih dekat dengan dia, dan melih
"Mas Raffi?" Aku menyebut pria tersebut. "Kenapa dalam pikiranmu selalu Reyhan, Ra? Sampai-sampai tak mengenali suamimu sendiri.""Bukan gitu, Mas. Ya, aku pikir Reyhan, karena dia yang kerja di sini. Lagian, Mas ngapain ke sini? Tumben, bisa keluyuran di jam kerja," kataku seraya memperhatikan Mas Raffi. Suamiku itu mengambil minuman kemasan dari lemari pendingin, lalu menghampiriku di balik meja dapur. "Sengaja aku sayang, mau ada yang ingin dibicarakan dengan Reyhan.""Bicara apa?" tanyaku seraya mengernyitkan kening. "Ada lah. Urusan laki-laki.""Jangan bilang kamu akan membahas soal uang modal dengan Reyhan, Mas. Aku gak mau, ya toko yang baru buka harus tutup gara-gara kamu ikut campur dalam bisnisku.""Salah, jika aku ikut campur?" Aku membuka plastik yang membungkus jari-jari tanganku, kemudian melihat Mas Raffi yang berdiri tak jauh dariku. Pria itu menegak minuman di tangannya, lalu membuang botol kosong dengan kasar ke tempat sampah. "Kali ini salah, Mas," ujarku mem