"Sekarang mah sudah kebukti, ya? Aduh, gak kebayang jika foto itu tersebar dan dilihat keluarga si pria. Pasti sakit hati dan kecewa sekali, y?" timpal yang lainnya. Entah gambar apa yang mereka lihat, dan entah siapa yang jadi pembahasan, tapi perasaanku tiba-tiba tak enak. Mungkinkah mereka membicarakan aku? Ah, kurasa tidak. Aku pun jarang sekali bertegur sapa dengan ibu-ibu di perumahan ini. Bukan jarang lagi, nyaris tidak pernah. Apalagi kumpul-kumpul di warung sambil bergibah ria. Itu hal yang tidak penting bagiku. "Assalamualaikum," ucapku kemudian, membuat semua mata ibu-ibu tertuju padaku. Ponsel yang jadi pusat perhatian, langsung diambil oleh siempunya. Aku yang datang karena butuh sesuatu, langsung mengatakan maksud dan tujuanku. Mirisnya, salamku tidak dijawab oleh mereka semua. "Apalagi, Neng?" tanya pemilik warung. "Sudah, Bu, itu saja," kataku seraya memberikan satu lembar uang pecahan lima puluh ribu. "Kembaliannya enggak mau dijajanin aja, Neng?" Pemilik wa
"Aduuuh .... Si paling sibuk, si paling kerja keras, baru pulang, nih!" Mas Daffa berseru. Aku yang baru saja keluar dari kamar Rayyan, langsung tahu pada siapa kakak iparku itu berucap. Mas Raffi. Suamiku baru saja sampai dan langsung diledeki oleh saudara-saudaranya. "Aku ambilkan minum, ya, Mas?" kataku, seraya mengusap pundaknya sebentar. Lalu aku pergi ke dapur walaupun yang ditawari tidak menjawab. Satu minuman kaleng dingin aku bawa untuk Mas Raffi. Aku langsung memberikannya, lalu duduk di samping dia. Tidak ada kata yang keluar dari bibirku untuk Mas Raffi. Dia pun demikian. Kami masih sama-sama saling tidak menyapa, gara-gara masalah aku yang membelanjakan Mimi. "Gimana perkembangan pembangunan kos-kosan, Fi?" Kakak tertua Mas Raffi kembali bicara. "Yah, gitu aja, Mas. Masih banyak butuh segalanya.""Butuh segalanya gimana? Perasaan jawabannya gitu-gitu aja. Apa jangan-jangan sudah selesai, tapi kamu masih merahasiakannya?" "Enggak, Mas. Emang belum selesai," jawab
"Buka usaha apa?" Mas Raffi bertanya seraya mengerutkan kening. "Apa aja, Mas," jawabku, "kan, sekarang Mama sudah pulang, otomatis Rayyan pasti nempel lagi sama Mama. Dan ... aku akan kesepian.""Kenapa gak kerja lagi di restoran Mama?" Mas Raffi kembali bertanya. Wajahnya masih sama. Seperti keberatan dengan rencanaku. Dan itu membuatku meneguk ludah secara kasar. Demi Tuhan aku deg-degan. "Aku ingin mandiri, Mas. Aku malu jika semua ada campur tangan Mama. Aku merasa rendah diri di depan saudara-saudara kita yang punya usaha dan karir. Aku juga mau seperti mereka, Mas. Meskipun hanya sebagai penjual gorengan, aku tak apa, kok. Yang penting usaha sendiri." Akhirnya aku menjelaskan. Mas Raffi yang duduk di sebelahku, ia tidak bicara. Tangannya mengusap wajah, lalu pandangannya lurus ke depan. Aku tidak tahu apa yang ada dalam pikiran dia saat ini, aku tidak bisa menebaknya. "Mas ...." Tangannya aku pegang, tapi Mas Raffi masih bergeming. Kamar ini menjadi hening. Suamiku masi
"Pah, Raya ...."Demi Tuhan, tenggorokanku terasa tercekat, tak mampu berucap dengan sempurna ketika melihat wajah Mama yang datar tanpa ekspresi. Sedangkan suamiku, pria itu hanya duduk dengan pandangan lurus ke depan, tidak sama sekali membantuku menjawab pertanyaan Papa. "Mau buat usaha apa?" tanya Papa lagi. Aku berdehem. Kemudian menegakkan tubuh yang tegang ini. "Belum pasti, Pah. Pengennya, sih masih seputar kuliner. Kalau tidak kafe, ya toko kue, mungkin." Akhirnya aku menjawab. Mataku memindai wajah Mas Raffi dan Mama. Mereka sama-sama tanpa ekspresi, seperti tidak yakin dengan kemampuanku. Beda lagi dengan Papa yang memberikan respon baik, bahkan mendukung apa pun usaha yang aku geluti nantinya. "Papa tidak akan menghalangi keinginan kamu, Papa juga tidak akan menyuruh kamu untuk tidak menjadi diri kamu. Kalau kamu suka dan ingin berbisnis, ya silahkan. Raffi pun mendukung, kan?"Aku mengangguk mendengar ucapan Papa. "Tapi ... Raya harus tahu, nih. Jika Raya ini buka
Entah berapa lama aku menangis, dan entah berapa kali juga Mas Raffi mencium pucuk kepalaku dalam dekapan hangatnya. Ini yang aku mau. Berada dalam pelukannya seperti awal kami menikah. Namun, suasananya berbeda. Kami tidak berada dalam kebahagiaan, tapi malah dalam kesedihan karena aku menuntutnya tidak berubah. "Berhenti menangis, Ra. Aku minta maaf jika sikapku membuatmu terluka," ujar Mas Raffi lagi. "Percayalah, aku seperti ini karena lelah bekerja, bukan karena ada yang lain."Aku tidak menjawab. Aku memilih menikmati harum parfum Mas Raffi yang aku rindukan. "Lihat sini." Mas Raffi mengangkat wajahku, lalu mengusap kedua pipiku yang basah. Tatapan matanya masih sama, tapi kenapa sikapnya berbeda? Dia suamiku, tapi terasa asing di mataku. "Mas ....""Apa?" tanyanya. "Pekerjaan mana yang membuatmu jadi suami yang dingin untukku? Aku ingin membantumu bekerja, Mas. Aku ingin mengurangi rasa lelahmu.""Sssttt .... Pekerjaanku tidak cocok untukmu. Kamu lakukan apa saja yang m
"Raya itu punya suami, Rey. Kalau kamu mau minta ijin, ijinlah pada Raffi, bukan pada Tante," jawab Mama. Dalam hati, aku membenarkan jawaban ibu mertuaku itu. Ah, kurasa Reyhan tidak perlu izin segala. Untuk apa? Lagian, aku sudah mendapatkan izin dari Mas Raffi, kok. Apa hanya untuk mencari muka dan kepercayaan Mama saja? Astagfirullah .... Pikiranku selalu berpikir buruk pada semua orang. "Raffi susah sekali dihubungi, Tan. Sekarang pun aku sengaja datang pagi-pagi ke sini dengan harapan bisa bertemu dengan dia. Eh, ternyata kata Bibi, Raffi sudah berangkat kerja. Dia sibuk sekali sekarang," tutur Reyhan lagi. Mama manggut-manggut. Ibu mertuaku membenarkan jika putra bungsunya itu sangat sibuk hingga waktunya di rumah hanya numpang tidur saja. "Tante, sih tidak keberatan kalian menjalin hubungan kerja sama, atau bisnis bersama. Tapi ... harus ingat satu hal. Jangan sampai kejauhan. Ingat, Raya ini punya suami, dan suaminya itu sahabat kamu. Kamu paham, kan, Rey?" ujar Mama k
"Hey! Liat apa, sih?" Aku berdehem seraya membernarkan kerudung yang aku yakini masih rapi. Senyum aku berikan pada Reyhan yang tiba-tiba sudah duduk di sampingku. Entahlah kapan dia datang, aku tidak menyadarinya. "Kenapa bengong?" tanya Reyhan lagi. "Enggak," kataku gugup. "Siapa juga yang bengong. Aku lagi lihat-lihat sekitar aja.""Bohong banget. Tadi aku bicara panjang lebar, loh. Coba sekarang kamu katakan apa yang aku ucapkan tadi."Aku meneguk ludah dengan kasar seraya menatap Reyhan yang menaikkan kedua alisnya. Dengan pelan, kepala aku gelengkan sebagai jawaban. "Kan ... emang kamu ngelamun, Ra. Mikirin apa, sih? Sampai-sampai aku bicara enggak direspon sama sekali. Kenapa?" "Enggak apa-apa, Rey. Aku ... aku hanya sedikit ngantuk, nih." Lagi-lagi aku berbohong. Padahal, sebenarnya aku memang tidak menyadari keberadaan Reyhan, karena fokus pada mobil yang melaju pelan setelah beberapa saat berhenti di samping mobil Reyhan. Bukan saking bagusnya kendaraan tersebut yan
"Aku antar kamu pulang saja, ya, Ra?" tutur Reyhan saat kami sudah kembali ke mobil. "Loh, kok pulang? Bukannya kita harus membeli bahan dan alat untuk membuat kue? Kita juga harus membeli kursi dan tempat duduk untuk pengunjung, bukan?" "Iya, tapi biarkan semuanya aku yang urus. Kamu pulang saja, istirahat, karena aku lihat kamu tidak baik-baik saja. Jangan menyanggah!" ujar Reyhan saat aku membuka mulut hendak bicara. Akhirnya aku menutup mulutku kembali, lalu membiarkan Reyhan membawaku pergi. Seperti yang dia katakan, Reyhan benar-benar membawaku pulang ke rumah. Malas sebenarnya, karena pasti aku akan sendirian, dan mengingat kembali tentang Mas Raffi tadi. Akan tetapi, aku tidak punya alasan untuk menolak. Ikut Reyhan pun, takutnya malah menyusahkan karena suasana hati yang tidak baik-baik saja. "Istirahat, ya? Biar besok bisa kembali beraktivitas," ujar Reyhan sebelum aku turun. Setelah memastikan tidak ada barangku yang tertinggal, Reyhan pun pergi melanjutkan aktivita