"Pah, Raya ...."Demi Tuhan, tenggorokanku terasa tercekat, tak mampu berucap dengan sempurna ketika melihat wajah Mama yang datar tanpa ekspresi. Sedangkan suamiku, pria itu hanya duduk dengan pandangan lurus ke depan, tidak sama sekali membantuku menjawab pertanyaan Papa. "Mau buat usaha apa?" tanya Papa lagi. Aku berdehem. Kemudian menegakkan tubuh yang tegang ini. "Belum pasti, Pah. Pengennya, sih masih seputar kuliner. Kalau tidak kafe, ya toko kue, mungkin." Akhirnya aku menjawab. Mataku memindai wajah Mas Raffi dan Mama. Mereka sama-sama tanpa ekspresi, seperti tidak yakin dengan kemampuanku. Beda lagi dengan Papa yang memberikan respon baik, bahkan mendukung apa pun usaha yang aku geluti nantinya. "Papa tidak akan menghalangi keinginan kamu, Papa juga tidak akan menyuruh kamu untuk tidak menjadi diri kamu. Kalau kamu suka dan ingin berbisnis, ya silahkan. Raffi pun mendukung, kan?"Aku mengangguk mendengar ucapan Papa. "Tapi ... Raya harus tahu, nih. Jika Raya ini buka
Entah berapa lama aku menangis, dan entah berapa kali juga Mas Raffi mencium pucuk kepalaku dalam dekapan hangatnya. Ini yang aku mau. Berada dalam pelukannya seperti awal kami menikah. Namun, suasananya berbeda. Kami tidak berada dalam kebahagiaan, tapi malah dalam kesedihan karena aku menuntutnya tidak berubah. "Berhenti menangis, Ra. Aku minta maaf jika sikapku membuatmu terluka," ujar Mas Raffi lagi. "Percayalah, aku seperti ini karena lelah bekerja, bukan karena ada yang lain."Aku tidak menjawab. Aku memilih menikmati harum parfum Mas Raffi yang aku rindukan. "Lihat sini." Mas Raffi mengangkat wajahku, lalu mengusap kedua pipiku yang basah. Tatapan matanya masih sama, tapi kenapa sikapnya berbeda? Dia suamiku, tapi terasa asing di mataku. "Mas ....""Apa?" tanyanya. "Pekerjaan mana yang membuatmu jadi suami yang dingin untukku? Aku ingin membantumu bekerja, Mas. Aku ingin mengurangi rasa lelahmu.""Sssttt .... Pekerjaanku tidak cocok untukmu. Kamu lakukan apa saja yang m
"Raya itu punya suami, Rey. Kalau kamu mau minta ijin, ijinlah pada Raffi, bukan pada Tante," jawab Mama. Dalam hati, aku membenarkan jawaban ibu mertuaku itu. Ah, kurasa Reyhan tidak perlu izin segala. Untuk apa? Lagian, aku sudah mendapatkan izin dari Mas Raffi, kok. Apa hanya untuk mencari muka dan kepercayaan Mama saja? Astagfirullah .... Pikiranku selalu berpikir buruk pada semua orang. "Raffi susah sekali dihubungi, Tan. Sekarang pun aku sengaja datang pagi-pagi ke sini dengan harapan bisa bertemu dengan dia. Eh, ternyata kata Bibi, Raffi sudah berangkat kerja. Dia sibuk sekali sekarang," tutur Reyhan lagi. Mama manggut-manggut. Ibu mertuaku membenarkan jika putra bungsunya itu sangat sibuk hingga waktunya di rumah hanya numpang tidur saja. "Tante, sih tidak keberatan kalian menjalin hubungan kerja sama, atau bisnis bersama. Tapi ... harus ingat satu hal. Jangan sampai kejauhan. Ingat, Raya ini punya suami, dan suaminya itu sahabat kamu. Kamu paham, kan, Rey?" ujar Mama k
"Hey! Liat apa, sih?" Aku berdehem seraya membernarkan kerudung yang aku yakini masih rapi. Senyum aku berikan pada Reyhan yang tiba-tiba sudah duduk di sampingku. Entahlah kapan dia datang, aku tidak menyadarinya. "Kenapa bengong?" tanya Reyhan lagi. "Enggak," kataku gugup. "Siapa juga yang bengong. Aku lagi lihat-lihat sekitar aja.""Bohong banget. Tadi aku bicara panjang lebar, loh. Coba sekarang kamu katakan apa yang aku ucapkan tadi."Aku meneguk ludah dengan kasar seraya menatap Reyhan yang menaikkan kedua alisnya. Dengan pelan, kepala aku gelengkan sebagai jawaban. "Kan ... emang kamu ngelamun, Ra. Mikirin apa, sih? Sampai-sampai aku bicara enggak direspon sama sekali. Kenapa?" "Enggak apa-apa, Rey. Aku ... aku hanya sedikit ngantuk, nih." Lagi-lagi aku berbohong. Padahal, sebenarnya aku memang tidak menyadari keberadaan Reyhan, karena fokus pada mobil yang melaju pelan setelah beberapa saat berhenti di samping mobil Reyhan. Bukan saking bagusnya kendaraan tersebut yan
"Aku antar kamu pulang saja, ya, Ra?" tutur Reyhan saat kami sudah kembali ke mobil. "Loh, kok pulang? Bukannya kita harus membeli bahan dan alat untuk membuat kue? Kita juga harus membeli kursi dan tempat duduk untuk pengunjung, bukan?" "Iya, tapi biarkan semuanya aku yang urus. Kamu pulang saja, istirahat, karena aku lihat kamu tidak baik-baik saja. Jangan menyanggah!" ujar Reyhan saat aku membuka mulut hendak bicara. Akhirnya aku menutup mulutku kembali, lalu membiarkan Reyhan membawaku pergi. Seperti yang dia katakan, Reyhan benar-benar membawaku pulang ke rumah. Malas sebenarnya, karena pasti aku akan sendirian, dan mengingat kembali tentang Mas Raffi tadi. Akan tetapi, aku tidak punya alasan untuk menolak. Ikut Reyhan pun, takutnya malah menyusahkan karena suasana hati yang tidak baik-baik saja. "Istirahat, ya? Biar besok bisa kembali beraktivitas," ujar Reyhan sebelum aku turun. Setelah memastikan tidak ada barangku yang tertinggal, Reyhan pun pergi melanjutkan aktivita
Susah payah aku menahan air mata untuk tidak keluar, tapi nyatanya tidak bisa. Aku menangis seraya berdiri di pinggir jalan setelah keluar dari pintu gerbang rental mobil. Kakiku berjalan tak tentu arah. Pandangan bahkan mengabur terhalang air mata. Entah ke mana aku akan pergi membawa luka hati yang teramat sakit ini. Pada siapa aku harus mengadu, jika di sini aku hanya seorang diri. Hidupku di kelilingi keluarga dan kerabat Mas Raffi, yang pasti mereka akan membela suamiku. Tidak ada yang peduli padaku. "Hei, jalan pake mata!""Ma–maaf," kataku saat tubuh ini tak sengaja menubruk pejalan kaki dari arah berlawanan. Tidak ingin mengundang masalah dengan orang banyak karena berjalan tidak pada jalurnya, aku pun memutuskan untuk duduk sebentar di taman kecil yang letaknya tak jauh dari tempat rental Mas Raffi. Kuusap mata dengan kedua tangan hingga tak ada lagi air yang menggenang. Beberapa kali aku menarik napas panjang, menghirup udara segar sebanyak mungkin agar dada terasa le
"Cantiknya istri aku."Wajah kupalingkan ke lain arah, menghindari tatapan Mas Raffi. Bibirnya tak henti memuji sejak kami keluar dari rumah tadi. Saat ini, aku dan dia tengah berada di salah satu restoran ternama, yang terkenal dengan suasana romantisnya. Lilin menyala di tengah-tengah meja dengan tarian indah karena tertiup angin malam. Berbagai menu makanan pun sudah tersaji, tapi belum ada yang aku sentuh sama sekali. Aku tidak ingin makan, tapi ingin mendapatkan penjelasan dari dia yang menoreh luka. Perutku tidak lapar, tapi perasaanku yang haus perhatian. Sayangnya, hatiku sudah terlanjur sakit oleh kebohongan yang bertubi-tubi dia berikan. Apakah sekarang aku harus tersanjung dengan adanya makan malam yang terlihat romantis ini?"Sayang ...." Mas Raffi memanggil dengan sebelah tangan menggenggam tanganku. Aku melihatnya. Menatap dia yang mengangkat kedua alis, menatapku manis. "Apa, Mas?" tanyaku. "Dengarkan aku, ya? Aku mau bicara sama kamu, dan ini benar-benar dari
Jadi, aku harus pura-pura bahagia dengan makan malam yang penuh dengan drama tadi? Ah, Mas Raffi. Kenapa dia jadi pria tidak berperasaan seperti itu? Tanpa menjawab permintaannya, aku langsung turun dan membanting pintu mobil dengan lumayan keras. Aku pun langsung masuk sendirian, tidak menunggu Mas Raffi yang masih berada di dalam mobil. "Gimana makan malamnya, Bunda? Menyenangkan?"Niat hati yang ingin langsung ke kamar, aku tunda saat melihat Mama dan Rayyan di ruang tengah. Padahal sudah pukul sebelas malam, tapi Rayyan belum tidur. Mungkin karena tadi dia tidur sesudah maghrib. "Menyenangkan, dong. Eh, Rayyan belum bobok, ya?" Aku menghampiri mereka, lalu duduk di sofa seraya berbasa-basi. Tidak berapa lama, Mas Raffi datang dan menjatuhkan bokong di sampingku. Lagi-lagi aku dituntut bersandiwara. Harus berperan sebagai wanita bahagia di depan semua mata. "Kok, Rayyan belum tidur, Mah?" tanya Mas Raffi pada ibunya. "Sudah tidur, kan tadi. Cuma bangun lagi, malah main sa