"Sedang ... tidak sedang apa-apa, kok." Syakila menjawab pertanyaanku dengan ketus, kemudian dia beranjak pergi meninggalkan kamar Bi Marni. Aku mengembuskan napas kasar melihat sikap dia yang seperti anak kecil. "Mbak, tadi Non Syakila minjem—"Bi Marni tidak melanjutkan ucapannya saat aku memberikan isyarat dengan menempelkan telunjuk di bibir. "Tahu. Saya dengar, kok. Kalau nanti Syakila macem-macem lagi, Bibi bilangnya sama Mama langsung, ya. Kalau perlu, Bibi rekam dan kasih ke Mama, biar enggak dikira ngada-ngada." "Baik, Mbak," ucap Bi Marni patuh. Aku bukannya tidak ingin menjadi perantara dan menyampaikan ke Mama tentang bohongnya Syakila. Namun, aku sedang menjaga diri agar tidak dikira tukang ngadu. Ribet memang. Aku bahkan tidak pernah membayangkan akan ada kisah seperti ini dalam jalan pernikahanku dengan Mas Raffi. Dalam anganku, hidupku lurus seperti jalan tol. Punya ipar baik, mertua yang luar biasa sayangnya seperti orang tua sendiri. Namun, sepertinya Tuhan s
"Uang?"Keningku mengkerut mendengar Syakila yang tengah bertelepon. Entah siapa, tapi pembahasannya bukan tentang sekolah. "Ada, masa iya enggak ada. Tidak mungkin kan, anak seorang dokter, cucu orang yang punya rumah sakit, tidak punya uang sebanyak itu? Mustahil ...." Syakila terkikik seraya menutup mulut. Aku semakin curiga pada anak itu. Apa yang dia bicarakan di telepon itu, pasti ada hubungannya dengan uang yang dia pinjam pada Bi Marni tadi. Dan itu bukan untuk keperluan sekolah. Astaga ... pergaulan seperti apa yang membuat Syakila jadi anak yang tinggi hati dan gengsi? "Sayang."Aku berjingkat kaget saat pundak ditepuk dari belakang. Kuusap dada yang bertalu-talu seraya membalikkan badan. "Mas ngapain ke sini? Ngagetin, lagi." Aku bicara ketus karena kesal. "Ada juga aku yang nanya kamu. Sedang apa kamu di sini? Bukannya tadi mau ambil minum?" cecar Mas Raffi. "Tuh, keponakanmu jam segini masih teleponan."Mas Raffi berdecak, lalu keluar dari pintu samping menghampiri
"Opa ....""Hem." Papa bergumam menjawab panggilan cucunya. "Hari ini aku harus bayar ekskul, tapi belum ada uangnya. Tahu sendiri, Ayah enggak ngasih uang buat aku."Mataku melirik ke arah Papa dan Syakila bergantian dari belakang. Anak itu masih saja berusaha mendapatkan uang, yang entah untuk apa. Rasanya aku ingin mengatakan kepada Papa, jika Syakila sedang berbohong. Namun, aku pun tidak tahu dan tidak ada bukti akan digunakan apa yang yang diminta Syakila kepada kakeknya. "Berapa memangnya?" tanya Papa kemudian. "Lima juta lima ratus, Opa."Mataku langsung membulat ketika anak itu mengatakan jumlah uang yang diinginkannya. Fantastis. Lima juta sangat banyak untuk ukuran anak sekolah menurutku. Akan tetapi, Papa tidak terlihat terkejut. Dia santai saja, seolah uang segitu biasa dikeluarkan Syakila untuk sekolahnya. Apa semahal itu biaya kegiatan sekolah anak orang kaya? "Nanti Opa transfer ke pihak sekolah. Sekarang Opa enggak bawa uang tunai.""Yah ... harus cash, dong O
Jadi ... parfum itu sengaja disimpan dia?Aku menghalangi wajah dengan buku menu saat Malika melewatiku, agar wanita itu tidak melihat keberadaanku. Untunglah berhasil. Dia dan temannya duduk di meja yang dekat dengan kasir, lumayan jauh dari tempatku berada saat ini. Entah ini kebetulan atau petunjuk dari Tuhan, jika sebenarnya suamiku tidak salah. Dan lagi-lagi aku telah mencurigai dia mengkhianati pernikahan kami. "Silahkan dinikmati, Nona."Aku berdehem saat Reyhan tiba-tiba muncul mengagetkanku. Kupasang wajah dengan bibir tersenyum untuk menyamarkan perasaan yang tak menentu setelah mendengar ucapan Malika tadi. Aku dibuat tak habis pikir oleh kelakuan wanita yang katanya sudah berubah, tapi masih seperti dulu. Terus mengganggu rumah tanggaku. "Terima kasih, Rey," ucapku kemudian. "Sama-sama. Cobain, dong. Sekalian komentarin menu baru yang aku buat."Aku melihat hidangan yang Reyhan bawa, lalu mengerutkan kening saat melihat satu piring bakwan di samping cangkir kopi.
Hei, pertanyaan macam itu? Kenapa tiba-tiba dia menuduhku? Apa gara-gara dia melihatku dan Reyhan di kafe tadi?"Ngaco, kamu Malika. Mana mungkin aku selingkuh," sanggahku. Malika menyeringai seraya melipat kedua tangannya di perut. "Jangan membodohiku, Raya. Kamu pikir, aku akan menganggap kamu dan laki-laki di kafe tadi hanya sebatas teman? Tidak ada pertemanan bagi wanita yang sudah menikah, dengan laki-laki di luar rumah. Kecuali ... wanitanya memang mu ra han.""Tutup mulutmu!" kataku menekankan kata seperti dia yang mengeja ucapan terakhirnya barusan. Aku sungguh tersinggung dengan kata yang merendahkan diriku sebagai seorang wanita. Rasanya ingin aku membungkam mulut Malika dengan lap kotor agar dia mengerti, tidak pantas kata itu keluar dari bibirnya. Namun, kutahan emosi dengan mengepalkan tangan. Aku maju satu langkah lebih dekat dengan dia, mengikis jarak seraya menatapnya tak biasa. "Jangan sesekali mengucapkan kata yang mencerminkan kepribadianmu sendiri. Emang gak
Aku tidak sama sekali menjawab pertanyaan Mas Raffi. Semakin erat dia memelukku, semakin pecahlah tangisku ini. Seperti anak kecil, aku menangis tersedu mengeluarkan rasa sesak di dalam dada. "Sebenarnya aku tahu, kalau kamu itu marah sama aku. Iya, kan?" ujar Mas Raffi. Tangan yang sedari tadi memeluk, kini beralih mengusap pipi yang basah oleh air mata. Kecupan singkat pun dia berikan di kepala yang masih tertutup hijab. Aku membisu. Meskipun hati membenarkan pertanyaan Mas Raffi, tapi lidah enggan bergerak mengatakan isi hati. "Aku juga tahu, kemarin malam kamu menemukan sesuatu yang mencurigakan dari bajuku. Kenapa gak nanya? Aku nunggu kamu nanya, loh."Suara tangis mulai mereda. Telinga kutajamkan agar mendengar jelas apa yang suamiku ucapakan. Katanya dia tahu, tapi kenapa tidak menjelaskan? Kenapa harus nunggu ditanya, sih? "Pikiranmu padaku, terlalu kejauhan, Ra. Jika dalam kepalamu aku ini selingkuh, itu enggak benar. Tidak ada wanita yang mampu menggetarkan hatiku, s
"Mas, kita dilihatin orang, tahu. Mereka sangka, kita durhaka karena membiarkan Mama mengasuh Rayyan, dan kita malah ongkang-ongkang kaki di sini."Mataku melirik sekitar. Lebih tepatnya pada beberapa pasang mata yang menatapku tak suka. "Sudahlah, biarkan saja. Mereka itu tidak tahu apa-apa. Makan lagi pentolnya," ujar Mas Raffi. Tanganku menyuapkan pentol ke dalam mulut, tapi mataku masih memperhatikan mereka yang berada di sekitarku. Saat ini, aku dan Mas Raffi memang sedang berada di luar rumah. Kami pergi ke taman, menyusul Mama yang membawa Rayyan ke sani. Sebenarnya Mama tidak mengajak kami, tapi karena aku cemberut di rumah, Mas Raffi pun mengajakku pergi. Anggap saja liburan gratis, katanya. Selain tempatnya yang dibuka untuk umum dan tidak dipungut biaya, kami juga tidak akan kerepotan oleh anak. Karena ada Mama yang sudah seperti pengasuh putraku. Memang durhaka menganggap ibu sendiri pengasuh, tapi ungkapan itu hanya becandaan Mas Raffi saja padaku. Mana berani dia m
"Gimana, Fi? Syakila mana?" Mama menyambut kepulangan kami dengan pertanyaan. Sayangnya, baik aku maupun Mas Raffi tidak bisa menjawab. Hanya gelengan kepala yang membuat Mama menekuk wajah. Sepulang dari sekolah Syakila, tadi aku dan Mas Raffi berkeliling mencari keberadaan anak itu. Bahkan kami pergi ke tempat hiburan malam untuk mencari keberadaan Syakila. Namun, nihil. Anak itu dan Pak Tarmin tidak kami temui. Nomornya pun tak aktif, tidak bisa memberikan petunjuk apa pun."Ya Allah ... ke mana Syakila?" ujar Mama seraya memijit kening. Papa yang sedari tadi diam di kamar, kini menghampiri menanyakan cucu pertamanya. Seperti pada Mama, aku dan Mas Raffi pun menjawabnya sama. Dan itu membuat Papa marah. Bukan marah padaku, tapi pada Syakila yang entah di mana. "Telepon Daffa!" titah Papa dengan nada cukup tinggi. Untunglah Rayyan sudah tidur. Kalau dia mendengar suara tinggi Papa, pasti akan menangis karena terkejut. "Nomornya gak aktif, Pah. Mungkin masih di rumah sakit,"