Aku tidak sama sekali menjawab pertanyaan Mas Raffi. Semakin erat dia memelukku, semakin pecahlah tangisku ini. Seperti anak kecil, aku menangis tersedu mengeluarkan rasa sesak di dalam dada. "Sebenarnya aku tahu, kalau kamu itu marah sama aku. Iya, kan?" ujar Mas Raffi. Tangan yang sedari tadi memeluk, kini beralih mengusap pipi yang basah oleh air mata. Kecupan singkat pun dia berikan di kepala yang masih tertutup hijab. Aku membisu. Meskipun hati membenarkan pertanyaan Mas Raffi, tapi lidah enggan bergerak mengatakan isi hati. "Aku juga tahu, kemarin malam kamu menemukan sesuatu yang mencurigakan dari bajuku. Kenapa gak nanya? Aku nunggu kamu nanya, loh."Suara tangis mulai mereda. Telinga kutajamkan agar mendengar jelas apa yang suamiku ucapakan. Katanya dia tahu, tapi kenapa tidak menjelaskan? Kenapa harus nunggu ditanya, sih? "Pikiranmu padaku, terlalu kejauhan, Ra. Jika dalam kepalamu aku ini selingkuh, itu enggak benar. Tidak ada wanita yang mampu menggetarkan hatiku, s
"Mas, kita dilihatin orang, tahu. Mereka sangka, kita durhaka karena membiarkan Mama mengasuh Rayyan, dan kita malah ongkang-ongkang kaki di sini."Mataku melirik sekitar. Lebih tepatnya pada beberapa pasang mata yang menatapku tak suka. "Sudahlah, biarkan saja. Mereka itu tidak tahu apa-apa. Makan lagi pentolnya," ujar Mas Raffi. Tanganku menyuapkan pentol ke dalam mulut, tapi mataku masih memperhatikan mereka yang berada di sekitarku. Saat ini, aku dan Mas Raffi memang sedang berada di luar rumah. Kami pergi ke taman, menyusul Mama yang membawa Rayyan ke sani. Sebenarnya Mama tidak mengajak kami, tapi karena aku cemberut di rumah, Mas Raffi pun mengajakku pergi. Anggap saja liburan gratis, katanya. Selain tempatnya yang dibuka untuk umum dan tidak dipungut biaya, kami juga tidak akan kerepotan oleh anak. Karena ada Mama yang sudah seperti pengasuh putraku. Memang durhaka menganggap ibu sendiri pengasuh, tapi ungkapan itu hanya becandaan Mas Raffi saja padaku. Mana berani dia m
"Gimana, Fi? Syakila mana?" Mama menyambut kepulangan kami dengan pertanyaan. Sayangnya, baik aku maupun Mas Raffi tidak bisa menjawab. Hanya gelengan kepala yang membuat Mama menekuk wajah. Sepulang dari sekolah Syakila, tadi aku dan Mas Raffi berkeliling mencari keberadaan anak itu. Bahkan kami pergi ke tempat hiburan malam untuk mencari keberadaan Syakila. Namun, nihil. Anak itu dan Pak Tarmin tidak kami temui. Nomornya pun tak aktif, tidak bisa memberikan petunjuk apa pun."Ya Allah ... ke mana Syakila?" ujar Mama seraya memijit kening. Papa yang sedari tadi diam di kamar, kini menghampiri menanyakan cucu pertamanya. Seperti pada Mama, aku dan Mas Raffi pun menjawabnya sama. Dan itu membuat Papa marah. Bukan marah padaku, tapi pada Syakila yang entah di mana. "Telepon Daffa!" titah Papa dengan nada cukup tinggi. Untunglah Rayyan sudah tidur. Kalau dia mendengar suara tinggi Papa, pasti akan menangis karena terkejut. "Nomornya gak aktif, Pah. Mungkin masih di rumah sakit,"
"Matikan listrik," kataku berbisik. "Syakila pasti akan keluar karena AC-nya mati."Mama berdecak. "Kamu, tuh enggak mikir dua kali kalau ngasih ide. Kalau listrik dimatikan, otomatis anakmu juga bangun, Ra. Gimana, sih kamu." Aku bengong seraya melihat Mama yang berlalu meninggalkan aku. Benar juga, sih kata Mama. Yang kepanasan bukan hanya Syakila, tapi Rayyan juga, yang sekarang sudah bergantung dengan pendingin ruangan. Ah, ternyata usulanku kali ini tidak masuk akal dan tidak diterima oleh ibu mertua. Alhasil, aku hanya bisa menggaruk tengkuk, meninggalkan kamar Syakila yang tertutup rapat. "Ekhem!" "Eh!" kataku terkejut saat Mas Raffi berdehem seraya menatapku lekat. "Semalam aku nungguin kamu. Eh, kamunya malah enggak datang-datang. Tahunya tidur di kamar Rayyan." Suamiku menggerutu dengan wajah yang ditekuk. Aku mengulum senyum melihat wajahnya yang menggemaskan. Jika dilihat sedang cemberut seperti itu, dia mirip boneka beruang yang banyak dijual di toko mainan.Namun,
"Ra, sebagai orang tua Syakila, Mas minta maaf. Tidak seharusnya ini terjadi, dan kami menyesali kejadian ini."Aku hanya mengangguk lemah menanggapi permintaan maaf dari Mas Daffa. Yang aku pikirkan sekarang adalah, kondisi putraku yang masih belum sadar setelah ditangani dokter. Iya, saat ini kami sedang berada di rumah sakit setelah tadi Mama menelepon dan mengabarkan putra kami yang terjatuh hingga keningnya robek dan mengelurkan banyak darah. Kaget? Tentu saja. Ibu mana yang santai saat tahu keadaan anaknya cidera. Dan yang membuatku kesal bukan main, Rayyan celaka karena ulah Syakila yang sengaja mendorong putraku dari sofa hingga ia jatuh dan keningnya berbenturan dengan patahan mainan. Aku dan Mas Raffi pun langsung bergegas ke rumah sakit di mana putraku berada. Telat, memang. Aku tidak ada di saat-saat putraku ditangani karena terjebak macet. Hingga akhirnya kami datang saat Rayyan sudah tertidur pulas efek obat tidur. "Semuanya sudah terjadi, Mas. Aku dan Raya, memang
"Gimana keadaan Rayyan sekarang?" Aku menatap wajah wanita berhijab yang ada di seberangku. Di tengah-tengah kami, dua cangkir teh manis mengepul mengeluarkan asap serta aroma melati yang harusnya menenangkan hati. Namun, tidak untuk hatiku. Perasaan sedih karena putraku kecelakaan, bertambah dengan kenyataan jika Rayyan lebih nyaman dengan Mama dibandingkan aku, ibu yang telah melahirkan dia. "Kenapa, Ra?" tanya wanita itu lagi. "Emh, tidak apa-apa, Mbak. Rayyan sudah lebih baik dari sebelumnya. Sekarang sudah tenang, sudah anteng." Aku tersenyum kecut. Mbak Cindy. Dia mengembuskan napas kasar, lalu menyeruput tehnya. Tadi, aku dan Mbak Cindy bertemu di koridor rumah sakit. Dia yang hendak melihat keadaan putraku, mengurungkan niat dan malah ikut denganku yang hendak ke kantin. Dan sekarang di sinilah kami berada. Duduk berdua di kantin, seraya menikmati teh manis yang terasa kecut di lidahku. "Syukurlah kalau lebih baik. Tapi ... wajahmu tidak mencerminkan ketenangan, Ra. Apa
"Mah, tadi kronologisnya gimana, sih saat Rayyan didorong sama si Kakak?" Mama menoleh sebentar pada cucunya yang sekarang sedang menyusun lego, kemudian beralih melihatku yang duduk di sofa."Tadi setelah kamu dan Raffi berangkat, Syakila minta uang sama Mama. Katanya uang buat beli buku, padahal Mama tahu itu bohong. Syakila berhutang pada temannya bekas pesta yang waktu itu sampai pulang malam.""Pesta?" Aku berucap kaget seraya menyipitkan mata."Iya. Setelah Mama telusuri, dan mendengar pengakuan Pak Tarmin, Syakila mengadakan pesta di kafe. Katanya untuk merayakan temannya yang ulang tahun. Kebangetan, gak, tuh? Orang lain yang ulang tahun, dia yang modalin buat pesta. Bodoh, mau aja dimanfaatin orang," ujar Mama menggerutu. Aku diam mencerna ucapan Mama yang lumayan membuatku kaget. Kok, mau-maunya Syakila berkorban untuk temannya itu? Sedekat apa mereka hingga Syakila sampai rela keluar uang, bahkan harus bohong pada semua orang untuk mendapatkan biaya pesta? "Temannya lak
"Belum tahu. Tanya besok sama Papa aja."Mbak Kinara manggut-manggut. Kini kakak iparku itu menjauh dari tempat tidur Rayyan, lalu menghampiriku dan Mbak Kinanti. "Ra, maafkan Mbak waktu itu, ya? Jujur, Mbak menyesal telah mengatakan hal demikian. Karena ternyata, apa yang ada dalam pikiran Mbak, tidak benar adanya. Mama masih sayang sama cucu-cucunya yang lain."Seperti ada mata air yang mengaliri hatiku saat Mbak Kinara berucap demikian. Aku merasa lega, juga bahagia dengan perkataan yang menenangkan perasaanku. Akhirnya anakku tidak lagi dicemburui, atau dianggap sebagai perebut Mama dari cucu-cucunya yang lain. "Tidak usah minta maaf, Mbak. Aku sama sekali tidak marah sama Mbak Nara. Aku maklumi perasaan itu," tuturku dengan ketulusan hati. "Ingat, ya kalian." Aku dan kedua iparku mengalihkan pandangan pada wanita paling tua di antara kami. "Tidak ada yang namanya pilih kasih. Tidak ada yang namanya Mama berat ke cucu laki-laki dibandingkan cucu perempuan. Semua Mama perlakuan