"Mah, tadi kronologisnya gimana, sih saat Rayyan didorong sama si Kakak?" Mama menoleh sebentar pada cucunya yang sekarang sedang menyusun lego, kemudian beralih melihatku yang duduk di sofa."Tadi setelah kamu dan Raffi berangkat, Syakila minta uang sama Mama. Katanya uang buat beli buku, padahal Mama tahu itu bohong. Syakila berhutang pada temannya bekas pesta yang waktu itu sampai pulang malam.""Pesta?" Aku berucap kaget seraya menyipitkan mata."Iya. Setelah Mama telusuri, dan mendengar pengakuan Pak Tarmin, Syakila mengadakan pesta di kafe. Katanya untuk merayakan temannya yang ulang tahun. Kebangetan, gak, tuh? Orang lain yang ulang tahun, dia yang modalin buat pesta. Bodoh, mau aja dimanfaatin orang," ujar Mama menggerutu. Aku diam mencerna ucapan Mama yang lumayan membuatku kaget. Kok, mau-maunya Syakila berkorban untuk temannya itu? Sedekat apa mereka hingga Syakila sampai rela keluar uang, bahkan harus bohong pada semua orang untuk mendapatkan biaya pesta? "Temannya lak
"Belum tahu. Tanya besok sama Papa aja."Mbak Kinara manggut-manggut. Kini kakak iparku itu menjauh dari tempat tidur Rayyan, lalu menghampiriku dan Mbak Kinanti. "Ra, maafkan Mbak waktu itu, ya? Jujur, Mbak menyesal telah mengatakan hal demikian. Karena ternyata, apa yang ada dalam pikiran Mbak, tidak benar adanya. Mama masih sayang sama cucu-cucunya yang lain."Seperti ada mata air yang mengaliri hatiku saat Mbak Kinara berucap demikian. Aku merasa lega, juga bahagia dengan perkataan yang menenangkan perasaanku. Akhirnya anakku tidak lagi dicemburui, atau dianggap sebagai perebut Mama dari cucu-cucunya yang lain. "Tidak usah minta maaf, Mbak. Aku sama sekali tidak marah sama Mbak Nara. Aku maklumi perasaan itu," tuturku dengan ketulusan hati. "Ingat, ya kalian." Aku dan kedua iparku mengalihkan pandangan pada wanita paling tua di antara kami. "Tidak ada yang namanya pilih kasih. Tidak ada yang namanya Mama berat ke cucu laki-laki dibandingkan cucu perempuan. Semua Mama perlakuan
"Sudah tidak sakit lagi?" "Endak, Pah.""Bener?" Rayyan mengangguk pasti seraya memakan buah pisang yang suamiku bawa dari rumah. Wajah putraku sudah kembali ceria dan tidak ada rengekan seperti malam tadi. Hal itu tentu saja membuat kekhawatiranku mereda dan percaya jika putraku akan baik-baik saja. "Mas, sudah makan?" Aku bertanya seraya membuka rantang nasi yang dibawa Mas Raffi. "Belum, dong, Sayang .... Mana sempat makan. Lagian, ini masih terlalu pagi untuk sarapan."Aku mengerucutkan bibir sambil menutup kembali rantang berisikan masakan Bi Marni. Sebenarnya aku lapar, tapi malu jika makan sendiri. Apalagi setelah mendengar ucapan Mas Raffi yang mengatakan terlalu pagi untuk sarapan. "Kalau kamu mau makan, ya makan aja, Ra. Kenapa ditutup lagi rantangnya?" Aku diam seraya mengerjapkan mata beberapa kali. Merutuki diri, karena ternyata Mama bisa membaca pikiranku ini. "Ah, enggak. Aku cuma liat isinya aja. Nanti saja sarapannya," tolakku. Hanya basa-basi sebenarnya, kar
"Itu selimut.""Tahu. Maksud aku, apa ini selimut untukku? Katanya kamu gak baca pesan aku, tapi kenapa selimut ini ada di mobil kamu? Aku tahu, loh kalau ini selimut yang ada di lemari kita," cecarku membuat Mas Raffi menarik napas dengan begitu dalam. Beberapa detik dia diam, kini tangan itu mengambil kain dariku. Dia menyimpan selimut itu kembali ke tempatnya, lalu mulai melajukan mobil dengan masih bibir yang terkatup rapat. "Mas ....""Iya, sebenarnya aku memang sudah membaca pesanmu sejak semalam. Aku juga datang ke sini untuk mengantarkan selimut itu. Tapi ....""Tapi kenapa?" tanyaku semakin penasaran. Rasa-rasanya ada yang tidak beres dengan Mas Raffi. Dia seperti memendam sesuatu hingga raut wajahnya berubah. Senyumnya hambar. "Tapi kamu sudah pakai selimut. Karena aku kira kamu sudah gak butuh lagi, makanya aku bawa pulang lagi.""Siapa yang bawain aku selimut tadi malam?" tanyaku lagi. "Mana aku tahu, Ra. Mungkin perawat yang kasihan sama kamu. Makanya dibawain selimu
"Ra, apa kamu tidak ada keinginan untuk membuat usaha sendiri?" "Usaha apa?" tanyaku seraya menyipitkan mata menatap lawan bicara. "Apa aja. Buat kafe atau restoran sendiri, misal?" Aku diam seraya berpikir. Keinginan ada, tapi tidak yakin dengan kemampuan diri. Aku takut gagal. Lagipula, belum tentu Mama dan Mas Raffi mau mengizinkan. "Sepertinya enggak, Rey," jawabku kemudian. Sekarang, aku memang sedang bersama Reyhan. Seperti yang tadi pagi dia katakan, siang ini Reyhan benar-benar makan di restoran Mama. Dan ... memintaku untuk menemaninya. "Kenapa tidak?" Dia kembali bertanya. "Mama tidak akan mengizinkan."Reyhan mendesah panjang. Kini tangannya mengambil gelas, lalu menegak air di dalamnya hingga sisa setengah. "Sepertinya hidupmu terkekang, Ra. Semuanya diatur Tante Rianti. Kamu seperti boneka, dan tidak diberi kesempatan mengembangkan kemampuan dirimu sendiri.""Tidak gitu, Rey!" sanggahku cepat. "Mama tahu aku, dan lebih tahu kemampuanku sampai mana. Makanya dia me
"Baik, Sus. Kalau gitu, saya permisi." Aku menganggukkan kepala, lalu berlalu dari hadapan perawat yang baru saja memberitahuku, jika Rayyan memang sudah pulang siang tadi. Jangan tanya perasaanku saat ini. Demi Tuhan, aku merasa tidak dianggap oleh Mama. Aku ini ibunya Rayyan, orang yang telah melahirkan dia ke dunia. Tapi, Mama seolah-olah pemilik Rayyan seutuhnya. "Apa salahnya ngasih tahu, sih? Kan, bisa kirim pesan," kataku, "kalau tahu sudah pulang, tidak akan repot-repot beli baju ganti segala."Seperti orang gila, aku bicara sendiri sambil berjalan keluar dari rumah sakit. Mulutku komat-kamit dengan langkah kaki lebar. Dan saat sampai di tempat parkir, aku berdiri melihat kendaraan milik orang. Sadar, jika tadi aku ke sini dengan taksi.Aku menyimpan bawaanku, kemudian mengeluarkan ponsel untuk memesan taksi online. Sekarang, aku seperti wanita menyedihkan. Duduk di pinggir jalan menunggu taksiku datang. Oh, ya ampun. Kenapa aku jadi benar-benar bodoh sekali? Kenapa tida
"Malam banget pulangnya, Mas?" kataku seraya membuka pintu kamar lebar-lebar, mempersilahkan pria berwajah istimewa itu masuk. "Banyak pekerjaan, Ra," katanya datar. Mas Raffi membuka kemejanya, lalu melemparkannya ke keranjang pakaian kotor.Mata ini masih memerhatikan dia yang mengganti celana panjangnya dengan celana piyama. Bokong kujatuhkan di ujung ranjang dengan tangan dilipat di perut."Enggak mandi?" tanyaku kemudian. Pasalnya, dia langsung naik ke atas ranjang dan membaringkan tubuh di sana. "Enggaklah, ini sudah malam banget. Besok aja aku mandinya. Kenapa? Kamu gak mau tidur sama aku karena gak mandi?" Aku menarik tubuh ke belakang dengan tatapan menyipit ke arahnya. "Aku enggak bilang gitu, loh. Kepikiran ke sana juga enggak," kataku. "Yasudah, sini tidur kalau enggak jijik sama aku." Mas Raffi kembali berucap dengan kata-kata yang membuatku tak habis pikir. Dia sensi sekali. Mungkin karena terlalu lelah bekerja, dan aku memaklumi itu. Aku tidak banyak lagi bicara
"Ibu ...." Aku menutup mulut menahan isak saat wajah Ibu nampak begitu pucat di seberang sana. Tahan. Sudah berusaha kutahan air mata untuk tidak jatuh, tapi nyatanya aku tak mampu. Buliran bening terus keluar membuatku tak bisa lagi mengendalikannya. "Jangan nangis, Ra .... Ibu, baik-baik saja, kok. Ibu hanya sakit biasa." Paham dengan reaksiku, Ibu langsung berucap dengan suara lemahnya. Namun, bukannya berhenti menangis, aku malah semakin tersedu dengan layar ponsel tetap di hadapanku. Setelah menunaikan salat subuh, Mimi mengirimkan pesan yang katanya Ibu sudah bangun dan mau ditelepon. Aku pun tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Aku langsung menghubungi Ibu lewat video call. "Gimana kabar kamu, Nak?" tanya Ibu lagi, semakin membuatku terluka. Bukan aku yang menanyakan kabar Ibu, malah sebaliknya. Dalam keadaan lemah tak berdaya saja, Ibu masih menanyakan keadaanku. Sedangkan aku, sangat jarang melakukan itu. "Aku baik, Bu. Ibu ... kenapa bisa seperti itu? Ibu gak makan?