"Ra, sebagai orang tua Syakila, Mas minta maaf. Tidak seharusnya ini terjadi, dan kami menyesali kejadian ini."Aku hanya mengangguk lemah menanggapi permintaan maaf dari Mas Daffa. Yang aku pikirkan sekarang adalah, kondisi putraku yang masih belum sadar setelah ditangani dokter. Iya, saat ini kami sedang berada di rumah sakit setelah tadi Mama menelepon dan mengabarkan putra kami yang terjatuh hingga keningnya robek dan mengelurkan banyak darah. Kaget? Tentu saja. Ibu mana yang santai saat tahu keadaan anaknya cidera. Dan yang membuatku kesal bukan main, Rayyan celaka karena ulah Syakila yang sengaja mendorong putraku dari sofa hingga ia jatuh dan keningnya berbenturan dengan patahan mainan. Aku dan Mas Raffi pun langsung bergegas ke rumah sakit di mana putraku berada. Telat, memang. Aku tidak ada di saat-saat putraku ditangani karena terjebak macet. Hingga akhirnya kami datang saat Rayyan sudah tertidur pulas efek obat tidur. "Semuanya sudah terjadi, Mas. Aku dan Raya, memang
"Gimana keadaan Rayyan sekarang?" Aku menatap wajah wanita berhijab yang ada di seberangku. Di tengah-tengah kami, dua cangkir teh manis mengepul mengeluarkan asap serta aroma melati yang harusnya menenangkan hati. Namun, tidak untuk hatiku. Perasaan sedih karena putraku kecelakaan, bertambah dengan kenyataan jika Rayyan lebih nyaman dengan Mama dibandingkan aku, ibu yang telah melahirkan dia. "Kenapa, Ra?" tanya wanita itu lagi. "Emh, tidak apa-apa, Mbak. Rayyan sudah lebih baik dari sebelumnya. Sekarang sudah tenang, sudah anteng." Aku tersenyum kecut. Mbak Cindy. Dia mengembuskan napas kasar, lalu menyeruput tehnya. Tadi, aku dan Mbak Cindy bertemu di koridor rumah sakit. Dia yang hendak melihat keadaan putraku, mengurungkan niat dan malah ikut denganku yang hendak ke kantin. Dan sekarang di sinilah kami berada. Duduk berdua di kantin, seraya menikmati teh manis yang terasa kecut di lidahku. "Syukurlah kalau lebih baik. Tapi ... wajahmu tidak mencerminkan ketenangan, Ra. Apa
"Mah, tadi kronologisnya gimana, sih saat Rayyan didorong sama si Kakak?" Mama menoleh sebentar pada cucunya yang sekarang sedang menyusun lego, kemudian beralih melihatku yang duduk di sofa."Tadi setelah kamu dan Raffi berangkat, Syakila minta uang sama Mama. Katanya uang buat beli buku, padahal Mama tahu itu bohong. Syakila berhutang pada temannya bekas pesta yang waktu itu sampai pulang malam.""Pesta?" Aku berucap kaget seraya menyipitkan mata."Iya. Setelah Mama telusuri, dan mendengar pengakuan Pak Tarmin, Syakila mengadakan pesta di kafe. Katanya untuk merayakan temannya yang ulang tahun. Kebangetan, gak, tuh? Orang lain yang ulang tahun, dia yang modalin buat pesta. Bodoh, mau aja dimanfaatin orang," ujar Mama menggerutu. Aku diam mencerna ucapan Mama yang lumayan membuatku kaget. Kok, mau-maunya Syakila berkorban untuk temannya itu? Sedekat apa mereka hingga Syakila sampai rela keluar uang, bahkan harus bohong pada semua orang untuk mendapatkan biaya pesta? "Temannya lak
"Belum tahu. Tanya besok sama Papa aja."Mbak Kinara manggut-manggut. Kini kakak iparku itu menjauh dari tempat tidur Rayyan, lalu menghampiriku dan Mbak Kinanti. "Ra, maafkan Mbak waktu itu, ya? Jujur, Mbak menyesal telah mengatakan hal demikian. Karena ternyata, apa yang ada dalam pikiran Mbak, tidak benar adanya. Mama masih sayang sama cucu-cucunya yang lain."Seperti ada mata air yang mengaliri hatiku saat Mbak Kinara berucap demikian. Aku merasa lega, juga bahagia dengan perkataan yang menenangkan perasaanku. Akhirnya anakku tidak lagi dicemburui, atau dianggap sebagai perebut Mama dari cucu-cucunya yang lain. "Tidak usah minta maaf, Mbak. Aku sama sekali tidak marah sama Mbak Nara. Aku maklumi perasaan itu," tuturku dengan ketulusan hati. "Ingat, ya kalian." Aku dan kedua iparku mengalihkan pandangan pada wanita paling tua di antara kami. "Tidak ada yang namanya pilih kasih. Tidak ada yang namanya Mama berat ke cucu laki-laki dibandingkan cucu perempuan. Semua Mama perlakuan
"Sudah tidak sakit lagi?" "Endak, Pah.""Bener?" Rayyan mengangguk pasti seraya memakan buah pisang yang suamiku bawa dari rumah. Wajah putraku sudah kembali ceria dan tidak ada rengekan seperti malam tadi. Hal itu tentu saja membuat kekhawatiranku mereda dan percaya jika putraku akan baik-baik saja. "Mas, sudah makan?" Aku bertanya seraya membuka rantang nasi yang dibawa Mas Raffi. "Belum, dong, Sayang .... Mana sempat makan. Lagian, ini masih terlalu pagi untuk sarapan."Aku mengerucutkan bibir sambil menutup kembali rantang berisikan masakan Bi Marni. Sebenarnya aku lapar, tapi malu jika makan sendiri. Apalagi setelah mendengar ucapan Mas Raffi yang mengatakan terlalu pagi untuk sarapan. "Kalau kamu mau makan, ya makan aja, Ra. Kenapa ditutup lagi rantangnya?" Aku diam seraya mengerjapkan mata beberapa kali. Merutuki diri, karena ternyata Mama bisa membaca pikiranku ini. "Ah, enggak. Aku cuma liat isinya aja. Nanti saja sarapannya," tolakku. Hanya basa-basi sebenarnya, kar
"Itu selimut.""Tahu. Maksud aku, apa ini selimut untukku? Katanya kamu gak baca pesan aku, tapi kenapa selimut ini ada di mobil kamu? Aku tahu, loh kalau ini selimut yang ada di lemari kita," cecarku membuat Mas Raffi menarik napas dengan begitu dalam. Beberapa detik dia diam, kini tangan itu mengambil kain dariku. Dia menyimpan selimut itu kembali ke tempatnya, lalu mulai melajukan mobil dengan masih bibir yang terkatup rapat. "Mas ....""Iya, sebenarnya aku memang sudah membaca pesanmu sejak semalam. Aku juga datang ke sini untuk mengantarkan selimut itu. Tapi ....""Tapi kenapa?" tanyaku semakin penasaran. Rasa-rasanya ada yang tidak beres dengan Mas Raffi. Dia seperti memendam sesuatu hingga raut wajahnya berubah. Senyumnya hambar. "Tapi kamu sudah pakai selimut. Karena aku kira kamu sudah gak butuh lagi, makanya aku bawa pulang lagi.""Siapa yang bawain aku selimut tadi malam?" tanyaku lagi. "Mana aku tahu, Ra. Mungkin perawat yang kasihan sama kamu. Makanya dibawain selimu
"Ra, apa kamu tidak ada keinginan untuk membuat usaha sendiri?" "Usaha apa?" tanyaku seraya menyipitkan mata menatap lawan bicara. "Apa aja. Buat kafe atau restoran sendiri, misal?" Aku diam seraya berpikir. Keinginan ada, tapi tidak yakin dengan kemampuan diri. Aku takut gagal. Lagipula, belum tentu Mama dan Mas Raffi mau mengizinkan. "Sepertinya enggak, Rey," jawabku kemudian. Sekarang, aku memang sedang bersama Reyhan. Seperti yang tadi pagi dia katakan, siang ini Reyhan benar-benar makan di restoran Mama. Dan ... memintaku untuk menemaninya. "Kenapa tidak?" Dia kembali bertanya. "Mama tidak akan mengizinkan."Reyhan mendesah panjang. Kini tangannya mengambil gelas, lalu menegak air di dalamnya hingga sisa setengah. "Sepertinya hidupmu terkekang, Ra. Semuanya diatur Tante Rianti. Kamu seperti boneka, dan tidak diberi kesempatan mengembangkan kemampuan dirimu sendiri.""Tidak gitu, Rey!" sanggahku cepat. "Mama tahu aku, dan lebih tahu kemampuanku sampai mana. Makanya dia me
"Baik, Sus. Kalau gitu, saya permisi." Aku menganggukkan kepala, lalu berlalu dari hadapan perawat yang baru saja memberitahuku, jika Rayyan memang sudah pulang siang tadi. Jangan tanya perasaanku saat ini. Demi Tuhan, aku merasa tidak dianggap oleh Mama. Aku ini ibunya Rayyan, orang yang telah melahirkan dia ke dunia. Tapi, Mama seolah-olah pemilik Rayyan seutuhnya. "Apa salahnya ngasih tahu, sih? Kan, bisa kirim pesan," kataku, "kalau tahu sudah pulang, tidak akan repot-repot beli baju ganti segala."Seperti orang gila, aku bicara sendiri sambil berjalan keluar dari rumah sakit. Mulutku komat-kamit dengan langkah kaki lebar. Dan saat sampai di tempat parkir, aku berdiri melihat kendaraan milik orang. Sadar, jika tadi aku ke sini dengan taksi.Aku menyimpan bawaanku, kemudian mengeluarkan ponsel untuk memesan taksi online. Sekarang, aku seperti wanita menyedihkan. Duduk di pinggir jalan menunggu taksiku datang. Oh, ya ampun. Kenapa aku jadi benar-benar bodoh sekali? Kenapa tida