Tidak pernah Elena bayangkan seorang Jhonatan akan memarahi dirinya karena gadis lain.
“Ikut aku, Elana! Kamu juga harus mengetahui siapa gadis itu sebenarnya.” Darren pun membawa Elena ke tengah-tengah keramaian.“Pasti kalian semua bingung dan bertanya-tanya tentang gadis cantik yang saat ini ada di sebelah saya.” Natan melirik Zea setelah menyapa para karyawan nya dengan basa basi singkat.Zea tersenyum kecil dengan begitu anggunnya kepada para karyawan Natan. Kecantikan Zea saat tersenyum anggun begitu membuat semua orang yang ada di sana sangat mengagumi kecantikannya termasuk Natan sendiri.Hanya Elena saja yang terlihat tak suka dan menganggap Zea mencari muka serta sok cantik.“Dia pasti pacarnya bos, ya?” tanya salah satu dari sekian banyaknya karyawan Natan.“Bukan.”Jawaban Natan menimbulkan senyum lebar di wajah Elana. ‘Berarti dia benar-benar wanita bayaran.’ Elan bersorak bahagia didalam hati.HaruTidak ada yang melihat interaksi Abraham dengan Zea selain Natan dan Darren, kalau adapun rasanya tidak akan menimbulkan masalah apa-apa. Mengingat jabatan tinggi Abraham di perusahaan ini, sepertinya wajar-wajar saja kalau Natan mengambil anak Abraham sebagai calon istri. “Pa!” Natan menyapa Abraham dengan muka datar yang tidak berekspresi. Natan menyalami tangan Abraham dengan sopan. Setinggi apapun jabatan Natan, tetap saja Abraham adalah ayah mertuanya. Itu artinya Natan harus bersikap baik dan sopan terhadap Abraham. “Terima kasih telah menjaga Zea dengan baik,” ucap Abraham membuat Zea mendelik. “Baik apanya?” gumam Zea. “Buktinya sekarang kamu terlihat lebih bersinar setelah tinggal sama suami kamu.” Abraham sengaja menggoda Zea yang sudah memanyunkan bibir. “Ya sudah, Papa akan kembali bekerja. Baik-baik ya kalian, kalau ada masalah usahakan jangan ribut.
“Kamu kenapa, Sayang? Apa yang terjadi?”Natan panik melihat Zea menjatuhkan ponselnya setelah berbicara dengan seseorang.Maka dari itu, Natan langsung meninggalkan pekerjaannya lalu menghampiri Zea.Wajah Zea tidak menunjukkan ekspresi apa-apa, hanya matanya saja memerah. Bahkan, tubuh Zea kini gemetaran. Rasa panik Natan semakin bertambah saat merasakan tangan Zea begitu dingin.“Sayang, hey!” Natan sedikit menghuyung lengan Zea agar kesadaran gadis itu kembali seutuhnya.Mata Zea mengerjab beberapa kali, nafasnya yang sempat terasa terhenti kini sudah kembali dengan hadirnya Natan di sampingnya.“M-mas!” panggil Zea terbata.Nafas Zea naik turun, lidah Zea terasa kelu untuk mengatakan apa yang terjadi pada sang suami.Tubuh Zea terasa melemas, makanya sekarang Zea memilih berpegangan pada lengan kekar Natan agar masih bisa duduk dengan kokoh.“Iya, Baby. Aku di sini, tenangkan diri kamu. Rileks, oke
“Kita usahakan sama-sama. Kalau golongan darahnya tidak langka, maka tidak akan sulit mencarinya. Aku akan bantu cari.”Kata-kata Natan membuat Zea merasa sedikit lebih lega. Setidaknya dengan bantuan orang berpengaruh seperti Natan, tidak akan terlalu sulit meskipun harus mencari golongan darah langka sekalipun.Tidak ada yang akan sulit jika kita punya kuasa, urusan yang paling sulit pun bisa dilakukan dengan mudah.Lima menit kemudian Natan dan Zea sudah berada di rumah sakit, Zea berjalan cepat menuju ruangan ICU sesuai dengan arahan dari Abraham melalui handphone.“Baby, jalannya tidak usah terlalu buru-buru. Nanti kamu nab—”Dugh!“Mama sakit! Hiks.”Mata Natan melotot melihat melihat Zea menangis sambil mengusap keningnya. Belum juga Natan menyelesaikan kalimatnya, nyatanya apa yang ia takutkan benar-benar terjadi.Zea yang berjalan tanpa memperhatikan sekitar, Zea malah tidak sengaja menab
“Lukanya tidak terlalu besar, jadi tidak perlu dijahit,” jelas Dokter itu sambil memasang perban di sudut kiri kening Zea yang terluka. “Kalau tidak terlalu besar, terus kenapa tadi darahnya banyak sekali?” “Itu wajar lah, Mas. Namanya juga darah kepala.” Bukan Dokter itu yang menjawab, melainkan Zea. “Sakit tidak, Baby?” Natan mengusap perban di kening Zea yang suda terpasang rapi. Zea tersenyum tipis sambil menggelengkan kepalanya. “Udah nggak sakit kok, Mas,” jawabnya agar Natan tidak khawatir berlebihan dan berakhir lebay. “Kenapa bisa luka begitu, Nona?” tanya si Dokter sambil menuliskan resep obat untuk Zea. “Tadi nggak sengaja nabrak sanding tembok, Dok. Saya kurang hati-hati pas jalan tadi karena terlalu mikirin adik saya yang dirawat di sini.” Zea mendadak sendu saat teringat dengan Maizura yang belum jadi ia jenguk. “Ekhm, Tuan. Ini resep obatnya.” Dokter ter
Harapan Monic hanya satu, kalau Zea tidak bersedia menerima dirinya. Setidaknya Zea harus menerima kehadiran Maizura, setidak suka apapun Zea terhadap Maizura, tetap saja di tubuh mereka mengalir darah yang sama. “Kata Dokter satu kantong saja cukup,” tutur Abraham diangguki mengerti oleh Zea dan Natan. “Gimana ceritanya Maizura bisa main di jalanan? Biasanya ‘kan dia nggak suka main di luar rumah.” Zea menatap Monic seakan pertanyaan itu ia tujukan pada ibu tirinya itu. “Mama nggak tau kapan Zura keluar rumah, Zea. Mama sibuk di dapur, tadi Mama kira dia main di depan tv seperti biasa. Tiba-tiba saja ada tetangga yang manggil-manggil Mama dari luar, ternyata Maizura kecelakaan di depan dia.” Monic menjelaskan tanpa ada yang dilebihkan dan dikurangkan. Dia benar-benar tidak tau kapan Maizura keluar rumah, taunya dia malah melihat putri kecilnya itu tergeletak di jalan dengan tubuh bersimbah darah.
“Big no! Nggak ada, aku belum siap punya anak sekarang,” tolak Zea mentah-mentah.“Tapi akunya sudah kebelet pengen punya anak, memang kamu tidak ingin ada anak kecil di rumah ini? Anak kecil itu lucu loh, Sayang.” Natan tidak ingin menunda punya anak karena dirinya sudah lama hidup kesepian.“Iya sih lucu, tapi aku ini masih mau sekolah, kuliah, kerja, baru abis itu punya anak.” Zea menjelaskan alasan kenapa dia tidak siap.,“Punya anak tidak akan membuat cita-cita kamu terbengkalai. Kalau menunggu kamu selesai bekerja sepuas hati dulu, bisa keburu tua aku ini, Baby. Kamu nggak kasihan sama aku?”Natan memasang tampang memelas agar Zea iba.“Fokus makan dulu bisa ‘kan? Jangan sampai nafsu makan aku hilang gara-gara pembahasan ini?” Zea berusaha mengalihkan topik.“Kalau aku maunya makan kamu aja, gimana?” Natan tersenyum penuh makna, dan itu terlihat mengerikan di mata Zea.“Kamu diam saja berarti kamu bersedia aku
“Ck, baru setengah enam. Harusnya gue bisa tidur lagi beberapa menit baru abis itu mandi,” racau Zea masih dengan mata setengah memicing. Rasanya mata Zea begitu sulit untuk dibuka saking ngantuknya. Sebenarnya Zea masih ingin tidur, bergelung syantik di bawah selimutnya. Tapi apa boleh buat, kewajibannya sebagai seorang pelajar yang harus menuntut ilmu ke sekolah mengharuskan Zea untuk bangun pagi. Di tambah lagi sepulang sekolah nanti Zea harus kembali ke rumah sakit untuk menjenguk Maizura yang masih belum siuman. “Mas, bangun, Mas! Udah jam setengah enam loh.” Zea membangunkan Natan tanpa menoleh karena Zea sibuk mengumpulkan nyawanya sendiri sebelum beraktivitas. “Mas!” panggil Zea sekali lagi karena tak kunjung mendapatkan sahutan dari Natan. Biasanya sekali dipanggil saja Natan sudah bangun, tapi kenapa sekarang tidak ada sahutan?
“Darah?”Natan mengusap hidungnya lalu melihat tangannya yang tadi ia usapkan pada hidungnya, ternyata benar. Ada darah di sana.“Sayang, tolong ambilkan tisu!” Natan meminta tolong sambil mendongak ke atas agar tidak semakin banyak lagi darah yang keluar dari hidungnya.“Muka Mas kok santai banget sih? Mas lagi mimisan loh.” Zea jadi cemas melihat darah yang keluar dari hidung Natan.Zea pun membantu Natan menghentikan darah tersebut dengan beberapa lembar tisu tanpa merasa jijik.“Aku sudah biasa, Sayang. Setiap kali kelelahan pasti seperti ini.” Natan masih mendongak agar darah itu berhenti keluar.“Udah pernah cek Dokter?”“Udah.”“Apa katanya?” tanya Zea.Manik abu-abu Zea saling beradu tatap dengan manik hitam legam Natan.“Tidak ada masalah, hanya karena faktor kelelahan saja,” jawab Natan sejujur-jujurnya.“Mas nggak lagi bohongin aku ‘kan?” tuding Zea merasa curiga dan sangat tidak puas dengan jawaban Natan.“Untuk apa aku berbohong, Baby. Aku sehat kok, hanya saja kalau seda