Share

02. Zea Veronica Alghatama

Sementara itu.... Zea tak sadar bahwa hidupnya akan berubah sebentar lagi.

Gadis itu bahkan tersenyum manis dengan hati berbunga-bunga karena akan diantar pulang oleh sang kekasih.


“Alea, kayaknya gue nggak jadi pulang bareng lo deh. Akas nggak jadi latihan hari ini, jadi gue pulangnya sama dia aja,” ucapnya.

“Ngeri gue liat lo senyum sampe segitunya, Ze.” Alea bergerak menjauh dari Zea yang menurutnya selalu lebay kalau sudah membahas Akas.

“Yee … biarin, namanya juga orang lagi seneng.” Zea masih saja senyum-senyum sambil memeluk tangannya sendiri dan percayalah, hal itu sangat terlihat menggelikan di mata Alea.

Zea sengaja bertingkah seperti itu supaya Alea---sekaligus sepupunya itu merasa kesal. Sebenarnya Zea bukan gadis lebay seperti itu, Zea itu aslinya cuek, tangguh, walau terkadang suka berbuat licik demi kebaikan.

Sesuai motto hidup seorang Zea, berbuat jahat demi kebaikan itu dosanya tidak akan dicatat oleh malaikat.

Benar-benar sinting, enatah darimana Zea mendapatkan perumpamaan seperti itu.

Namanya Zea Veronica ALghatama, gadis nakal nan bar-bar tapi memiliki otak yang sangat pintar.

Zea itu seorang primadona kampus sekaligus mahasiswi berprestasi dan juga langganan mendapatkan hukuman di kampus. Kalau saja tidak sering memenangkan berbagai olimpiade, mungkin sudah dari dulu Zea dikeluarkan dari kampus saking penuhnya kenakalan yang Zea perbuat dengan kedua sahabatnya.

Zea menjadi primadona kampusnya, karena visualnya yang sangat-sangat cantik tanpa celah sedikitpun. Ya iyalah harus cantik, sejak kapan ada primadona kampus elite yang buruk rupa, ya ‘kan?

Zea bukan anak orang kaya yang bergelimangan harta, dan kisah hidup Zea juga tidak seindah visual-nya.

Zea hanyalah anak dari keluarga sederhana tapi masih mampu menyekolahkan Zea hingga kuliah di salah satu universitas ternama, Zea masih memiliki ayah tapi sudah tidak punya ibu. Tamara Alexander--- ibu kandung Zea yang sudah meninggal sejak Zea masih berusia empat tahun karena penyakit gagal ginjal kronis.

“Lea, kok Zea senyum terus? Dia abis minum apa?”

“Minum baygon sampai gila,” Alea menjawab pertanyaan si polos Anes dengan asal bercampur kesal karena ulah nyeleneh Zea.

Azalea Alexander, anak dari kakak kandung Tamara Alexander yang itu artinya Alea adalah sepupu Zea yang merangkap menjadi sahabat Zea.

Anes mengetuk-ngetukkan jarinya di dagu sambil berpikir keras. “Setau gue kalau orang minum baygon itu mati, tapi kok Zea malah berubah gila ya?” Anes beralih menggaruk pucuk kepalanya yang tak gatal karena masih memikirkan ucapan Alea yang sebenarnya tidak masuk akal.

“Anes … Anes, kapan sih lo berubah jadi pinter? Kok bisa gue dapet sahabat modelan kayak elo.” Zea yang tadinya senyum-senyum sendiri berubah haluan menjadi meratap pias karena kepolosan dan betapa lemotnya Anes yang sudah berada di atas rata-rata manusia pada umumnya.

Ingin rasanya Zea melambaikan tangannya ke arah kamera sambil mengatakan ‘saya menyerah’ saking gemesnya dengan kepolosan Anes.

Anezz Stefanya, sahabat Zea yang terlalu polos, lemot, dan cenderung bodoh. Anezz seperti itu karena terlalu dimanja ibu-nya sejak kecil. Jadilah Anes tumbuh menjadi remaja yang menolak untuk dewasa, Anes merasa dirinya masih anak kecil. Oleh sebab itu, Anes menjadi kesayangan Zea dan Alea meskipun tak jarang keduanya akan menjahili Anes.

“Bee!”

Atensi ketiga gadis itu sama-sama teralihkan ketika mendengar suara seorang pria yang berada tepat di belakang mereka.

Ketiganya menoleh ke belakang dengan kompak, walaupun sebenarnya tanpa menoleh pun mereka sudah tau kalau si pemilik suara itu adalah Akas--- kekasih Zea.

“Kamu udah di situ sejak kapan?” tanya Zea sambil berjalan mendekat ke arah Akas.

Zea meninggalkan Alea dan Anes begitu saja dengan sengaja supaya Alea kembali merasa kesal. Kalau Anes mah tidak akan kesal karena tidak mengerti apa yang Zea lakukan padanya dan Alea.

“Baru kok,” sahut Akas sambil membukakan pintu mobil untuk Zea lalu ikut masuk ke dalam mobilnya.

Zea menyembulkan kepalanya dari kaca mobil Akas saat melewati Alea dan Anes. “Dadah, Lea, dadah Anes!” Zea dadah-dadahan layaknya mis Indonesia kehilangan panggung.

“NAJIS!” pekik Alea yang masih bisa didengar oleh Zea karena mobil Akas masih belum berjalan terlalu jauh.

Zea tertawa lepas di dalam mobil saat berhasil memancing rasa kesal Alea, melihat muka merah Alea yang sudah seperti emak-emak ngantri sembako gratis di tengah panas terik sungguh menghibur di mata Zea.

“Seneng banget kayaknya udah bikin Alea kesel?” Akas terkekeh sambil melirik Zea sekilas lalu kembali fokus pada kemudi.

“Banget,” sahut Zea setelah puas tertawa.

“Mau mampir ke suatu tempat dulu atau mau langsung pulang?”

“Pulang aja deh, aku udah capek pengen tidur siang.” Zea benar-benar lelah karena sibuk bermain seharian di kampus.

Dasar Zea, pergi kuliah bukannya sibuk belajar tapi malah sibuk main-main. Untung pintar, kalau enggak bisa jadi si Zea terancam tidak akan pernah lulus dan menjadi mahasiswi abadi.

Akas mematuhi keinginan Zea, Akas mengantar Zea pulang dengan selamat sampai di depan pagar rumah sederhana gadis itu.

“Maaf ya aku nggak bisa ngajak kamu mampir, kamu tau sendiri ‘kan kalau aku males sama ibu tiri aku?” Zea meminta maaf pada Akas sebelum ia keluar dari mobil pria itu.

“Nggak pa-pa kok, Bee. Aku ngerti situasi kamu.” Akas tersenyum tulus karena ia memang benar-benar paham seperti apa hubungan Zea dengan ibu tirinya.

Inilah salah satu hal yang disukai Zea dari Akas, Zea merasa dimengerti, dihargai, dan sangat dicintai oleh Akas---pria yang sudah menjadi kekasih Zea sejak satu tahun yang lalu. Akas dan Zea saling mencintai, Akas selalu mengutamakan kebahagiaan Zea. Akas juga tidak pernah memaksakan kehendaknya pada Zea.

Setelah berpamitan pada Akas, Zea turun dari mobil lalu masuk ke dalam rumah sederhana yang selama dua puluh tahun ini menjadi tempat tinggalnya.

Zea memasang wajah dingin melihat adiknya yang tengah bermain di ruangan tengah, Zea tetap melangkah masuk ke dalam kamarnya tanpa ada niatan menyapa sang adik sedikitpun.

Enam tahun setelah kematian ibu-nya, tepatnya saat Zea berusia tiga belas tahun, ayah Zea menikah lagi dan menghadirkan adik untuk Zea. Namun Zea tidak pernah menganggap adik dan ibu tirinya ada di tengah-tengah dia dan ayah-nya entah karena alasan apa.

Zea begitu pandai berkamuflase, kalau di kampus Zea akan sangat ceria, bobrok, dan sering bertingkah tidak waras. Maka kalau di rumah Zea akan berubah dingin, lebih banyak mengurung diri di dalam kamar yang terkunci, dan hanya akan keluar kamar kalau sang ayah sedang di rumah.

“Kakak kenapa ya ndak pelnah mau main atau ngomong sama Zura?” Anak perempuan berusia lima tahun tahun yang merupakan adik Zea menatap sendu pintu kamar sang kakak yang sudah tertutup rapat.

Namanya Maizuara, dia selalu ingin bermain dengan Zea walaupun Zea selalu bersikap dingin padanya.

Sedangkan di dalam kamar, Zea langsung menghempaskan tubuh lelahnya ke atas kasur yang menjadi tempat tidurnya selama ini. Zea menatap kosong langit-langit kamarnya dan seketika Zea teringat dengan ibu-nya yang sudah di surga.

“Zea hanya menghindari hal-hal yang bikin mental Zea hancur, Ma,” lirih Zea dengan suara serak seiring dengan rasa kantuk yang menyerang dirinya.

Zea memutuskan untuk tidur siang sejenak, jangankan untuk mandi, pakaian dari kampus saja tidak Zea lepas tapi sudah ngorok di atas kasur.

Beberapa Jam kemudian Zea terbangun karena mendengar suara gaduh seperti orang marah-marah dari luar kamarnya, dan itu artinya suara ribut itu berasal dari ruangan tamu.

“Itu berisik-berisik kenapa ya? Kayak suara cowok, tapi bukan suara papa.” Zea mencoba menebak tapi suara itu sangat asing di telinga Zea.

Hanya saja, matanya membelalak kala masuk ke dalam.

"Kalian...."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status