Share

03. Perkara hutang

“Papa … ada tamu.” Si kecil Maizura berlari menuju kamar orang tuanya sambil berteriak memanggil ayah-nya

“Jangan lari-lari, Zura! Papa denger kok, Nak. Nanti kalau Zura jatoh gimana?” Abraham langsung keluar dari dalam kamarnya sambil menyuruh anak bungsunya untuk berhenti berlari.

“Jangan teriak-teriak juga, Zura! Kak Zea lagi tidur kayaknya, Zura mau dimarahin sama Kak Zea lagi?” Monic---ibu kandung Maizura, atau ibu tirinya Zea menegur putrinya sehingga Maizura langsung diam dengan wajah ngeri.

“Keep silent, Ma,” bisik Maizura sambil menggerakkan tangannya seolah tengah mengunci mulutnya membuat kedua orang tuanya tertawa karena merasa gemas.

Maizura benar-benar takut kalau kakak-nya yang cuek dan galak seperti kakak Upin Dan Ipin itu memarahi dirinya lagi. Tak jarang Zea akan menatap tajam Maizura kalau Maizura mengganggu dirinya.

Tapi meskipun sering cuek dan tidak menganggap bahwa Maizura itu ada, tidak pernah sekalipun Zea membentak Maizura karena Zea masih memikirkan mental Maizura mengingat Maizura itu masih sangat kecil.

“Ada tamu yang nanyain Papa di lual.” Telunjuk mungil Maizura mengarah ke arah pintu rumah sederhana mereka.

Abraham dan Monic kompak menatap ke arah pintu tapi tidak bisa melihat dengan jelas siapa tamu yang datang ke rumah mereka sore ini.

“Biar aku aja yang liat, Mas.” Monic yang tadinya sedang menata bunga ke dalam pot yang ia beli di online shop memilih untuk menunda pekerjaannya demi melihat tamu mereka.

“Jangan lupa tamunya disuruh masuk, Mah!” titah Abraham.

Setelah mendapat jawaban yang dia inginkan dari sang istri, Abraham berjalan ke ruangan tamu lalu duduk di sana bersama Maizura untuk menyambut tamu mereka.

“Selamat sore, Pak Abraham!”

Deg!

Abraham kaget dan langsung berdiri ketika melihat ternyata atasannya adalah orang yang menjadi tamunya sore ini.

“Selamat sore, Tuan Zibrano,” sahut Abraham sambil menunduk hormat meskipun atasannya itu jauh lebih muda daripada dirinya, “si-silahkan duduk, Tuan! Anda juga silahkan duduk, Tuan Pradipta!”

Meskipun kaget dan sedikit ketar-ketir dengan kedatangan kedua atasannya itu, Abraham tidak melupakan untuk menawarkan tamunya duduk dengan sangat ramah.

“Ah iya, Pak Abraham.” Melihat Natan tidak ada niatan untuk menjawab basa-basi dari Abraham, akhirnya karena merasa tidak enak hati Darren terpaksa untuk menyahut.

‘Dasar kulkas lima belas pintu!’ Darren merutuki sikap Natan yang terlalu dingin itu di dalam hati.

Sedangkan Natan sendiri malah memperhatikan seisi ruangan tamu rumah Abraham termasuk kursi ruangan tamunya dengan seksama. ‘Bersih.’ Natan membatin singkat lalu mendudukkan dirinya di samping Darren.

Kalau tempatnya tidak bersih, jangan harap Natan akan betah berlama-lama di sana apalagi sampai mau duduk.

Abraham pun sudah hapal betul dengan semua kebiasaan buruk pemilik perusahaan tempatnya bekerja itu, semua kebiasaan buruk Natan sudah bukan rahasia umum lagi di kalangan para karyawannya, termasuk Abraham.

“Ma, bikinin tamu kita minum!” titah Abraham pada istrinya.

Monic yang sejak tadi hanya diam berdiri bak patung yang diberi nyawa, spontan terlonjak kaget mendengar perintah dari suaminya.

“Ba-baik, Mas,” sahut Monic terbata lalu berniat pergi ke dapur untuk membuatkan minuman untuk tamu mereka.

“Tidak usah repot-repot!”

Langkah kaki Monic terhenti ketika mendengar suara bass atasan suaminya yang melarang dirinya.

Monic mematuhi kalimat Natan dan memilih untuk duduk di samping Maizura demi bisa mendengar apa alasan atasan suaminya itu bertamu ke rumah mereka. Meskipun Monic sudah bisa sedikit menebak, tapi Monic hanya ingin benar-benar memastikan saja.

Siapa tau saja tebakan Monic salah?

‘Kok perasaanku nggak enak, ya?’ batin Monic sambil mengelus dadanya yang sejak tadi berdebar hebat.

“Jadi begini, Pak Abraham. Kami ke sini untuk menagih hutang Bapak karena waktu yang diberikan perusahaan kepada Bapak untuk melunasi semua hutang-hutang Bapak sudah habis. Jadi bagaimana? Uangnya sudah ada?”

Darren menagih secara halus dan dengan cara baik-baik mengingat Abraham ini merupakan salah satu karyawan terbaik di perusahaan mereka.

‘Ternyata dugaanku benar,’ Monic meremas erat bawahan dasternya sampai meninggalkan jejak kusut di sana.

Abraham dan Monic saling pandang dengan wajah memucat selama beberapa saat.

‘Sudah kuduga hal ini akan terjadi,’ batin Monic sambil menatap sang suami dengan tatapan pias.

Entah sudah ke berapa kalinya Monic membatin dalam satu menit ini.

“Bisakah kasih saya waktu lagi, Tuan? Jujur saja saat ini saya belum ada uang sebanyak itu,” pinta Abraham.

“Keringan waktu lagi? Anda waras, Bapak Abraham?” desis Natan, “Anda berhutang sudah dari jaman almarhum ayah saya yang menjadi pemimpin perusahaan. Padahal di surat perjanjian tertulis bahwa Anda akan melunasi hutang-hutang Anda selama lima tahun, ini sudah sepuluh tahun, waktu selama apalagi yang Anda minta? Ini sudah dua kali lipat dari waktu yang tertulis di dalam surat perjanjian itu.”

Glek!

Abraham menelan kasar salivanya saat ucapan Natan serasa mencekik lehernya, dengan apa harus ia bayar hutang-hutangnya itu sedangkan saat ini ia tidak memiliki tabungan sama sekali.

“Tapi saat ini saya belum punya uang sebanyak itu, Tuan. Saya mohon kasih saya sedikit waktu lagi.” Abraham benar-benar merasa bingung ke mana ia akan mencari uang untuk membayar hutang itu hari ini juga.

“Saya tidak bisa meringankan Anda lagi, Pak Abraham. Saat ini perusahaan sedang mengerjakan proyek besar dan butuh banyak dana.” Natan benar-benar tidak bisa dibujuk lagi. “Sesuai dengan perjanjian saja, kalau Anda tidak bisa melunasi hutang-hutang Anda maka siap-siap untuk di penjara.”

Abraham dan Monic semakin menegang mendengar apa yang baru saja dikatakan Natan.

Penjara?

Oh tidak, tidak ada dalam list hidup Abraham akan menghuni tempat keramat itu.

Tega tidak tega, Natan harus bersikap tegas pada semua karyawannya. Jangan sampai ada lagi Karyawan lain yang berhutang banyak tapi tidak mau membayar seperti Abraham ini.

Monic hanya bisa menunduk sambil menahan tangis, Monic jadi memikirkan nasib Zea dan Maizura kalau sampai suaminya di penjara.

Bagaimana caranya nanti ia bisa menyekolahkan dan menghidupi kedua putrinya itu jika suaminya benar-benar masukpenjara?

“Emangnya berapa banyak hutang papa saya sampai Anda mau memenjarakan papa saya?” potong Zea tiba-tiba.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status