"Sudah Nak, doakan anak ibu tidak apa-apa. Ibu tidak menyalahkan kamu. Ini kecelakaan. Tidak ada yang meminta. Ibu hanya takut dan khawatir."Laura kembali meminta maaf berkali-kali. Ibu Laura juga mendekat, memperkenalkan diri dan meminta maaf atas kesalahan putrinya.Bu Marni adalah seorang yang bijak, dia memaafkan dan tidak menuntut apapun kecuali hanya meminta bantuan doa.Setelah sekian lama, pintu ruang UGD tempat Rehan ditangani terbuka. Dokter terlihat keluar.Bu Marni dan Laura langsung berlari menyerbu pertanyaan."Anak saya bagaimana, Dok?""Dokter, bagaimana keadaannya?" Laura juga langsung bertanya.Dokter mengulas senyum tipis, membuat Mereka sedikit lega."Luka pasien tidak terlalu parah. Karena kepalanya yang terluka jadi mengeluarkan banyak darah. Tidak terlalu mengkhawatirkan. Hanya kaki kanannya yang terkilir dan luka-luka ringan saja. Jangan khawatir. Akan segera membaik.""Alhamdulillah ya Allah." Bu Marni menarik nafas lega.Laura juga langsung lega, rasanya sep
Rehan minta duduk di kursi sofa yang khusus Mereka taruh di ruangan dapur.Dapur ini memang sudah besar dan terkesan mewah. Sudah di rombak sedemikian rupa sejak zaman Nita masih gadis dulu, bahkan sejak Fiah di kota belum menikah.Meski menurut Rehan dapur mereka sudah sangat besar dan mewah, lagi lagi bagi Laura ya tetap sederhana. Karena dapur milik keluarganya mungkin tiga kali lipat luasnya dari dapur ini.Tapi Laura adalah gadis yang sopan dan tidak membedakan kasta. Meskipun biasa hidup glamor, tapi dia memang pintar membawa diri pada setiap keadaan.Laura membuat dua cangkir kopi. Untung saja kopi sachet jadi dia tidak perlu khawatir kebingungan."Ah, jadi juga." Dia tersenyum, menatap dua cangkir kopi di tangannya. Meskipun hanya menyeduh kopi, tapi bagi Laura, ini adalah pertama kali kopi bulatannya."Ini kopinya. Diminum." Dia menyuguhkan kopi ke depan Rehan."Iya, terima kasih." Rehan mengangguk, mengambil cangkir kopi dan menyeruput sedikit.Laura melakukan hal yang sama.
Heru kembali terdiam. Disini tanah pekarangan memang masih murah. Tapi untuk bikin rumah, kapan bisa kalau hanya mengandalkan kerja buruh harian?Tapi melihat istrinya yang sangat bersemangat, Heru tidak tega. Dia hanya mengangguk saja. Kemudian pasrah.Heru bukan tidak mendengar, banyak tetangga yang sudah menghina istrinya karena pekerjaannya yang tidak tetap. Belum lagi bapaknya sendiri, yang terus menghinanya.Heru menarik tubuh Nita, memeluknya dengan begitu erat."Maafkan aku Nita. Kamu menderita karena aku. Coba kalau kamu dulu nurutin kata mas Rehan, nggak jadi seperti ini. Tapi kamu lebih memilih ikut aku."Nita mengangguk pelan. "Kamu kan suamiku, Mas. Ya kupilih lah. Aneh kamu ini. Yakin saja, Mas. Tidak mungkin kita akan selamanya ada di bawah seperti ini."Nita mendongak, mengusap air mata Heru yang menetes."Cowok kok nangis. Cengeng ah,"Heru mengetuk kening Nita. Merasa sangat malu. "Aku sedih. Sedih banget melihat kamu. Kucel, kumel. Mana bau apek. Berbeda saat belum
Mata Nita masih terbelalak. Dia cukup terkejut dengan nominal yang ia terima dari aplikasi novel online tempat karyanya nangkring disana.Dia cepat-cepat membuka aplikasi banknya yang ada di layar Ponsel untuk memeriksa saldo rekeningnya. Rupanya uang itu benar-benar sudah masuk di akun bank miliknya."Alhamdulillah, Ya Allah!" Dia berseru sendirian di dalam kamar. Entah mau meloncat atau berteriak, tapi Nita sungguh sangat bahagia.Mungkin jika untuk penulis senior yang sudah biasa mendapatkan gaji dari menulis, nominal ini tidak terlalu besar. Tapi bagi Nita yang pemula, nominal ini sudah membuatnya terkagum-kagum.Ini adalah uang pertama yang ia dapat dari hasil jerih payahnya sendiri. Selama hidupnya, baru ini dia bisa menghasilkan uang.Nita menghitung, jika untuk membeli motor seken untuk Heru, uang itu masih ada sisa untuk belanja dapur dan susu anaknya.Hatinya bersorak, dia langsung keluar dan menghampiri suaminya yang masih berusaha menghidupkan motor."Mas Heru, sudah lah.
Bapak yang baru datang dan mengetahui jika Heru membeli motor baru, bukannya ikut senang malah marah-marah."Uang dari mana? Ngredit atau bagaimana?""Cas, Pak. Tenang saja, jadi nggak bakal malu-maluin." Jawab Heru."Nggak malu-maluin gimana? Harusnya kamu mikir dong Her, daripada beli motor baru begitu, mending mikirin beli tanah, buat rumah! Jadi bisa mandiri! Kayak Andi tuh! Udah punya tempat tinggal sendiri.""Pak," Heru berdiri dan menatap bapaknya."Jangan terus membanding-bandingkan aku dan Andi. Rejeki orang itu lain-lain. Sudah ada yang mengatur. Aku masih mampu membeli motor saja. Tapi bukan berarti aku nggak mikir buat beli tanah dan bikin rumah! Aku juga lagi nabung sedikit demi sedikit." Kali ini Heru marah dan membantah bapaknya."Ayo, Nita." Dia membimbing istrinya ke kamar."Mas," Nita ingin merengek, hatinya sedih mendengar ucapan bapak mertuanya tadi."Sudah, jangan terlalu dipikirkan. Kita akan cari kontrakan saja dan pindah. Kamu mau kan? Dari pada kita cuma haru
"Tapi kamu tidak bilang jika dia itu Tuan muda Azam. Aku kan tidak tau? Belum pernah melihat wajahnya???" Rengek Arumi."Aduh... Entahlah. Pikirkan sendiri keselamatanmu. Aku tidak mau terlibat!!""Mana bisa seperti itu, Siska. Aku pasti akan dipecatnya. Bantu aku, Siska." Gadis itu terus merengek."Itu sudah pasti, kamu akan dipecatnya secara tidak terhormat. Kamu tau, Tuan muda Azam itu sangat kejam dan tidak punya toleransi, tidak seperti Tuan Gara ayahnya, yang sangat lembut dan ramah. Apalagi kamu ini hanya karyawan baru disini, tamatlah riwayatmu segera!""Aduh.. bagaimana ini? Tolong aku Siska, tolong aku. Kalau aku sampai dipecat, bagaimana nasibku, bagaimana dengan hutang-hutangku, aku banyak hutang, Siska." Arumi menarik narik lengan Siska."Ah..Mana kutahu. Bisa apa aku memangnya? Kamu pikir pangkatku apa disini untuk bisa menolongmu? Huh, dasar bodoh. Cari masalah saja bisanya!" Maki Siska , kemudian pergi.Arumi tidak bisa lagi merengek pada temannya itu, terduduk lesu sa
"Tapi Bu, Mbak Fiah saja, bisa dapat orang kota kaya. Mbak Dinda juga. Memang aku nggak boleh kalau mengikuti jejak mereka?" Rehan protes."Rehan, beda dong. Mbak Dinda dan Mbak Fiah itu kan perempuan. Mereka hanya tinggal membawa diri saja. Kalau laki-laki itu, harus membawa istri. Mencukupi kebutuhan Istri. Emang kamu punya apa untuk mencukupi Laura? Level dia jauh sekali di atas kita dibandingkan kita! Jangan ketinggian jika punya keinginan! Istighfar, Rehan!" Bu Marni marah saat itu.Makan siang mereka mulai penuh keheningan, hingga dikejutkan dengan getaran ponsel milik Laura."Mama," dia melirik sang pemanggil."Sebentar ya Bu, Rehan." Dia bergegas berdiri dan berlalu menjauh untuk mengangkat panggilan."Halo Laura! Cepat pulang!"Laura tersentak saat mengangkat panggilan, itu bukan Mamanya tapi Papanya."Pa,""Pulang! Anak gadis macam apa kamu ini, Hah! Main terus ke tempat laki-laki! Cepat pulang! Atau Papa kesana dan menyeretmu!" Belum sempat Laura menjawab, panggilan sudah d
Hari ini, Heru dan Nita sepakat untuk pindah ke rumah kontrakan yang baru didapatkan Heru kemarin sore, dengan sisa uang milik Nita.Bapaknya Heru kembali mengoceh, marah saat mereka pamit, mengatakan akan kembali mengontrak."Nanti diusir lagi, kayak waktu itu! Bikin malu lagi!""Mudah-mudahan kali ini nggak, Pak. Biar kami mandiri nggak nyusahin Bapak terus." Jawab Heru."Sama aja lah, kalau sampai nggak kebayar ya malah malu-maluin. Mending uangnya ditabung untuk beli tanah, daripada untuk ngontrak."Heru memilih diam, karena dia tidak tau harus menjawab apa lagi.'Di tabung apanya? Kalau terus tinggal disini yang ada nombok, iya.' dalam hati Heru mengomel.Kenyataannya memang seperti itu. Bapak tidak pernah memikirkan uang belanja dapur kalau ada Heru disini.Beberapa tetangga juga ikut membicarakan Heru dan Nita. Andi dan istrinya adalah orang pertama yang mencibir."Ngontrak lagi, ngontrak lagi. Kayak kucing beranak kamu Her. Makanya buat rumah lho.. Biar nggak kayak kucing ber