Maklumlah, dia hanya lulusan SD. Bisa baca dan tulis aja sudah bersyukur. Kalau yang begituan dia sama sekali tidak paham. Hanya sekedar paham jika itu adalah Email.Nita langsung terlonjak, segera meminta ponsel dari tangan suaminya dan langsung memeriksa email yang masuk itu.Matanya terbelalak lebar dengan jantung yang berdebar kencang. Tangannya sampai gemetaran dan suhu badannya langsung panas dingin."Alhamdulillah Ya Allah..! Mas!"Dia histeris bukan main. "Aku dapat pembayaran dari Platform yang satunya! Ya Allah! Besar pendapatanku disana!"Heru langsung ikut melihat lagi. "Masa sih?""Apaan? Cuma 3000 lebih gitu." Celetuk Heru setelah melihat nominal yang hanya beberapa ribu saja itu.Nita langsung melotot pada Heru. "Mas! Ini Dollar! Bukan rupiah! Berapa coba kalau jadi rupiah, hah?""Nggak tau." Heru menggeleng."Ya Allah, Mas! Ini banyak kalau jadi rupiah. Kaliin aja, 1$ itu Lima belas ribu. Berapa coba?"Heru langsung mencoba menghitung dengan kalkulator. Dia menganga sa
"Kapan-kapan saja lah. Yang penting kalian bisa ganti." Jawab Heru.Tentu saja dia tidak mau menghamburkan uang istrinya. Dia sudah sangat bersyukur istrinya bisa mendapatkan rezeki yang tidak disangka dengan jumlah yang sangat banyak menurutnya. Tidak mungkin Heru berani untuk berbelanja macam-macam semisal baju untuk dirinya. Apalagi jika mengingat selama ini dia belum bisa membelikan pakaian yang layak untuk istri dan anaknya.Nita tahu apa yang dipikirkan suaminya."Mas, ini uang kita ya. Bukan uangku saja. Aku nggak mau kalau mas Heru punya pikiran nggak enak mau pakai uang ini. Aku berjuang demi keluargaku, bukan untuk diriku sendiri."Heru mendongak, menatap mata Nita yang berkaca-kaca."Bukan begitu. Aku hanya,""Mas, selama ini kamu sudah berusaha segenap jiwa raga untuk anak dan istrimu. Kadang kamu gak makan hanya demi aku bisa makan. Tolong jangan sekalipun berpikir jika ini uangku, dan hanya aku yang berhak."Nita meneteskan air mata. Dia begitu mencintai pria ini, meskip
Mendengar penjelasan Heru, membuat Andi semakin terkejut, tapi dia pura-pura tenang saja. "Iya sih, bisa bikin pakai-pakai plastik dulu gak papa. Asal gak kehujanan aja." Ucapnya, padahal dalam hati dia merasa heran, Heru dapat uang dari mana bisa beli tanah secara cash begitu.Pada akhirnya, Sore ini semua Dil, disaksikan dua warga yang sengaja diminta kehadirannya untuk menjadi saksi dan Pak RT tentunya.Dan pengesahan ini dilakukan di teras rumah Andi. Pak RT sengaja minta numpang sejenak disana. Di teras Andi lah, Heru menyerahkan uang dan Anas menyerah berkas sertifikat tanah lalu tanda tangan dari kedua belah pihak serta para saksi."Alhamdulillah.." Pak RT dan Heru mengucap hamdalah secara bersamaan. Sementara Nita tersenyum dalam hati dengan ucapan syukur yang banyak.Rani merengut di dalam rumahnya sambil mengintip di pinggiran pintu. Dia merasa kesal, dia dan suaminya saja, tanah yang mereka tempati ini masih kurang separo baru lunas dan bisa menerima sertifikat. Ini Nita, m
Beberapa hari ini Laura terus memantau akun sosial miliknya. Berharap ada pesan balasan dari Rehan. Tapi ternyata harapannya sia-sia karena tidak ada balasan pesan seperti yang dia harapkan.Laura juga mencoba untuk membuka bagian profil akun sosial media milik Rehan, berharap akan ada satu postingan saja yang bisa ia kirimi komentar agar Rehan bisa melihatnya. Tapi semua postingan milik Rehan ternyata di log.Laura benar-benar kesal luar biasa. Ketika menelpon Santi, sepupunya itu juga mengatakan kalau belum sempat pergi ke desa Rehan. Jadi Santi belum bisa bertemu dengan Rehan untuk meminta Nomor Ponselnya.Laura termenung di tepi tempat tidur. Pikirannya terus dipenuhi oleh bayangan Rehan.Apa dia harus pulang ke kampung halaman itu lagi? Tapi bagaimana dia membuat alasan agar diizinkan oleh orang tuanya?Saat dia sedang melamun, pintunya diketuk. Mamanya sudah membuka pintu dan masuk."Laura. Ada Reza di bawah. Bukannya malam ini kalian ada janji akan pergi makan malam diluar?"L
"Kenapa dimatiin, Mas. Nggak sopan itu namanya. Jawab dulu seenggaknya." Nita yang ada di samping suaminya langsung menegur tindakan suaminya itu. Mematikan panggilan dari orang tua yang sedang bertanya, itu seperti bukan sikap Heru yang selama ini selalu sabar menghadapi siapapun."Biarlah, dianggap nggak sopan juga bodo amat lah. Lagian mau jawab apa? Sekolahin BPKB enggak. Maling duit? Nuduh yang aneh aneh aja. Emang aku tukang maling?" Jawab Heru ketus."Kan memang pernah maling, maling beras bapak. Hayo, ngaku…" Nita malah meledek, sambil menunjuk dada suaminya. Dia masih ingat, kala itu bukan Nita tidak tau kalau suaminya datang dengan membawa beras hasil mencuri dari rumah bapaknya sendiri. Hanya saja, Nita tak sampai hati untuk membahasnya.Heru tertawa. "Kalau itu lain. Habisnya ditanya katanya gak punya. Padahal banyak. Jadi ya tak maling sekalian."Mereka berdua tertawa bersama. "Lain kali jangan seperti itu lagi ya Mas. Gak papa aku laper, dari pada harus makan beras malin
"Siapa bilang, kata pak ustadz, suami yang seharusnya melayani istri, cuma kalau suami sibuk, barulah istri boleh membantu."Pada akhirnya mereka hanya tertawa dan jadi rebutan piring.Sikap Heru inilah yang membuat Nita begitu mencintai suaminya tanpa pamrih. Tidak pernah ingin mengeluh, tidak pernah berpikir untuk pergi sedikitpun, meskipun mereka hidup penuh kekurangan dan pernah berada di titik terendah sekalipun. Selalu penuh senyuman.Nita melihat wajah suaminya, meskipun terlihat tenang, tapi Nita bisa tahu jika Heru sedang berusaha menyembunyikan kegelisahan."Ada apa Mas, apa ada yang dipikirkan?"Heru tersenyum, mengelus pipi Nita. "Tau saja kamu ini kalau orang lagi puyeng." Heru kadang merasa aneh, istrinya ini tidak bisa dibohongi."Tau lah. Ada apa?"Heru menghela nafas panjang, "Kebun tempatku bekerja dijual Nit, dan yang beli sudah ada anak buah tetap. Jadi kami diberhentikan. Puyeng, harus cari kerjaan yang baru. Padahal bos kami itu sangat baik."Nita mengerti, betap
Selesai Maghrib, Adi sudah berada di rumah kontrakan Heru. Nita membuatkan dua cangkir kopi untuk mereka berdua.Karena tidak ada ruangan lain, Heru dan Adi mengobrol di ruangan depan sekaligus yang juga dijadikan ruangan kamar untuk mereka. Tapi rata-rata Kontrakan di sana memang seperti itu, jadi sudah tidak heran lagi. Makan ya disitulah, tidur ya disitu, ada tamu atau teman main pun ya tetap disitu. Kecuali dapur dan tempat mandi, memang berpisah."Gimana-gimana? Mau ngajak kerja apa nih? Aku tadi di telepon belum terlalu jelas." Adi bertanya setelah menyesap sedikit kopi buatan Nita."Jadi gini Di, gimana kalau kamu bekerja saja sama aku, buat batako untuk rumah kami. Kamu kan bisa, gimana? Kamu mau gak? Boleh borongan, harian juga boleh. Terserah bagaimana baiknya." Ucap Heru menjelaskan.Adi manggut-manggut, paham dengan apa yang diutarakan oleh Heru."Jadi ini seriusan?" Dia bertanya, bukan tidak yakin sebenarnya hanya saja Adi sekedar ingin basa-basi saja."Serius lah, kalau
Mereka belum menjawab, sampai bapak kembali berujar."Kalau bapak tau darimana kalian dapat uang kan enak, apa dari keluarga Nita, atau dari mana, kan kalau ada orang ngomong macam-macam, bapak bisa jelasin.""Bukannya orang tua itu cerewet Her, Nita. Tapi mau gimana pun namanya anak. Meskipun bapak selama ini nggak bisa bantu apa-apa ke anak, yang namanya anak tetap kepikiran kalau ada apa-apa." Ucap Bapak. Kali ini dia lebih lembut.Nita menyenggol lengan suaminya. Memberi kode agar suaminya menjelaskan.Heru berdehem, kemudian mulai menjelaskan. Mengerti atau tidak, dia berusaha menjelaskan. Dan bapak beserta ibu, manggut-manggut.Mereka sebenarnya tidak terlalu paham, tapi mulai sedikit mengerti apa yang dijelaskan oleh Heru."Oalah, pantes aja. Ibu juga pernah denger dari Anas. Kalau gak salah ya begitu kata Anas. Kalian dapat uang dari Nita yang gajian, kerja nulis. Tapi ibu gak paham, nulis apa gitu kata Anas." Ibu langsung menyela.Sementara Bapak, ikut mengucapkan syukur."Al