Perjuangan dalam mencari dalang dibalik kecelakaan Aarav nyatanya tak membuahkan hasil. Terbukti satu bulan ini Aavar, Kinara maupun Vanzo tak menemukan kecurigaan apapun. Tak menemukan bukti apapun dan tak menemukan apa-apa yang membuat mereka curiga. Semuanya bersih, tidak ada yang mampu mereka curigai. Ya, nyatanya satu bulan lebih mereka mengawasi setiap orang yang ada. Dan sudah satu bulan pula Aarav masih koma, masih setia dengan tidurnya yang terhitung amat lama ini. Awal mula mereka mencurigai Devan, namun pria itu sampai sejauh ini tak melakukan apapun. Bertanya? Jelas akan membuat pria itu curiga. Atau … akan menjadi masalah teruntuk Aavar, Kinara, maupun Vanzo sekalipun. Dan lagian, dari sisi Devan pun memang tidak ada hal yang perlu dicurigai. Laki-laki itu sering datang satu minggu sekali untuk melihat keadaan Aarav, dengan penjagaan yang super ketat menjadikan wajah di balik layar itu tertutup sifat aslinya. Sebenarnya siapa orang yang masih menjadi abu-abu itu? Siap
“Aaaa… !” Kinara terpekik heboh. Tak bisa mengendalikan rasa bahagianya Kinara memeluk tubuh Aarav sampai pria itu terperanjat, kaget. “Aduh!” Aarav meringis, membuat Kinara tersadar bahwa ia terlalu erat dalam memeluk suaminya. “Maaf, Mas. Kinara terlalu kencang ya,” ujarnya cengengesan. Tatapan mata itu saling bertemu dalam pancaran penuh kerinduan. Baik Aarav maupun Kinara keduanya saling melepas rasa rindu tersebut. Aarav yang masih terbaring berinisiatif untuk bersandar, dengan sigap Kinara membantu pria itu yang masih lemah. “Kalo gak kuat baringan aja, Mas.” Aarav menggeleng. “Mas baik-baik aja,” jawabnya tersenyum tipis. Pria itu kini tengah bersandar pada sisi ranjang. Matanya masih sayu, bibirnya masih terlihat pucat, namun senyum itu … tidak bisa mengalahkan aura hagiaannya saat melihat Kinara. Aarav menghela nafas sejenak, menoleh pada Kinara yang juga menatapnya. Hendak membuka suara namun tiba-tiba Kinara menangis. Menangis yang berhasil membasahi pipinya. Aarav
“Makan yang banyak ya Mas, biar badan Mas kembali ngisi,” ujar Kinara sembari menyuapi makanan ke dalam mulut Aarav.“Selama sebulan ini badan kamu semakin kurusan saja, Rav. Berbeda denganku, lihat?” Aavar yang berada di sebelah Aarav menaikan kaos lengan pendeknya, memperlihatkan otot-ototnya yang keluar. Begitu padat nan kekar. “punyaku besar nan keren kan? Kinar saja sampai tak berkedip,” ucap Aavar diiringi tawa. Kinara ikut tertawa, merasa terhibur atas humor yang dibawakan Aavar. Namun berbeda dengan Aarav, pria itu merasa tidak terima jika dibandingkan begini, apalagi Aavar yang membawa-bawa nama istrinya. Hal tersebut terlihat jelas dari mukanya. “Kau kira aku gak punya, heh?” Aarav merasa tersaingi, pria itu menaikan tangan kirinya dengan gagah berani. “Lihat? Ak--aw!”“Mas?” Kinara terkejut panik saat Aarav meringis sakit. Tangan yang sempat Aarav angkat kembali turun. “Udah tau Mas masih lemah, so-soan kuat lagi!” Kinara menggeleng, menarik pelan lengan Aarav agar lurus
“Mas, Mas beneran udah maafin Kinar?”Kening Aarav mengernyit. “Maafkan untuk apa?”“Sebelum kecelakaan itu, Kinar udah cuekin Mas.”“Ooo yang itu ….” Aarav tampak mangut-mangut saja. Sebenarnya perkara ini sudah dibicarakan kemarin tepat saat Aarav sudah sadar. Kinara mengatakan kalau alasan dibalik cueknya ia semata-mata karena ingin memberinya sebuah hadiah.Dikarenakan hari itu adalah hari ulang tahun Aarav membuat semua kediaman Vanzo ikut memeriahkan. Hal itu pula membuat Aarav merasa bersalah karena sempat berpikiran buruk pada Kinara. Bukan, lebih tepatnya ia takut Kinara mendadak berpaling dari dirinya. Namun, ternyata alasan di balik semua itu tak lain karena ulang tahunnya. Jika begitu, bukankah tidak ada alasan untuk Aarav marah terhadap Kinara? Mau bagaimana pun Kinara kan istrinya. Dan tentu ia sangat menyayangi istrinya itu. “Eum … maafin gak ya?” jawab Aarav seolah-olah tengah berpikir. Pura-pura berpikir antara memaafkan atau tidak. “Maaf ya? Mas kan suami paling b
Sehabis masuk ke dalam kamar Kinara langsung membersihkan dirinya ke dalam kamar mandi. Tadi ia belum sempat mandi, menjadikan tubuhnya terasa lengket. “Mas, Kinar mau mandi dulu ya? Kalau Mas mau istirahat duluan—”“Mandi?” tanya Aarav tiba-tiba. Pria itu sempat ingin duduk di tepi ranjang namun ia urungkan saat mendengar kata mandi. “Iya, kenapa?”“Mas juga mau mandi,” ujarnya gemblang. Aarav menoleh pada Kinara. “Mandi bareng yu?”“Hah?” Kinara melongo mendengar penuturan tersebut. Bukan apa-apa tapi … “Iya? Kenapa? Ada masalah?* Kinara meneguk salivanya pelan. Masalahnya ya … masa mandi bareng? Keduanya saja bahkan belum … tidak! Kinara dengan spontan menggeleng. “Mas boleh mandi duluan,” ucap Kinara pada akhirnya. Sungguh, ia malu jika harus mandi berdua dengan Aarav. Mau bagaimana pun ia belum berpengalaman dalam hal begini. Aarav menggeleng, pria itu berjalan menuju Kinara. “Mas mau mandi bareng!” ucapnya menegaskan. Pria itu terus berjalan menuju Kinara. Kinara semakin
“Sakit Mas, Kinar gak tau sakit ini bakal berlanjut apa enggak,” jawab Kinar pelan. Apa yang barusan keduanya lakukan memang menyenangkan, bahkan membuat ia mabuk kepalang. Ya, nyatanya Kinara menikmati juga apa yang barusan dilakukan selama lebih dari tiga puluh menit, perasaan aneh yang mampu membuatnya ingin bermain lagi. Hanya saja rasa sakit nan linu di bawah sana membuat ia ragu apa ia bisa melakukannya lagi atau tidak? “Nanti juga gak bakal sakit kok, sayang. Biasalah, kan ini awal-awal jadi ya … terasa sakit.”Kinara tersenyum, menyembunyikan kepalanya di dada Aarav yang polos saja. “Hari ini Kinar benar-benar terpuaskan,” ucapnya dengan jejujuran penuh. “semoga Mas juga merasa puas, ya Mas?”Aarav tersenyum, “belum puas karena gak lanjut ronde dua!”Kinara terkekeh kecil. “Mas bohong sama Kinar ya?” “Bohong?”Kinara mengangguk. “Bilangnya sakit, tapi pas ginian kok ….”Kinara tak melanjutkan ucapannya, namun berbeda dengan Aarav, pria itu tergelak tawa. “Justru dengan mela
“Ada apa?” tanya Kinara. Aarav melepaskan genggaman tangannya. “Tunggu sebentar,” ucapnya kemudian berlalu. Pria itu mengambil sebuah kain di lemari, kemudian berbalik menuju Kinara. “Mas gak mau ada yang melihat rambut indah ini kecuali Mas sendiri,” ucap Aarav. “sekarang pake kerudungnya bukan cuma ke luar dari rumah, melainkan ketika keluar dari kamar.”Seulas senyum terbit di bibir Kinara. Wanita itu menatap sang suami yang tengah memakainya kerudung. Karena bukan wanita alim ia melupakan kalau berjilbab harus benar-benar tertutup dari mata yang bukan mahramnya. Karena belum terbiasa membuat Kinara lupa tiap kali ia ke luar kamar dirinya tak memakai jilbab. Namun berbeda saat ke luar dari rumah atau berpergian, ia selalu memakai kerudung—penutup kepala. “Makasih Mas ….” Kinara berterima kasih saat Aarav selesai memakainya. “Kinar akan menurut sama ucapan Mas,” lanjutnya membuat Aarav mengangguk.“Ayo.”**“Ini kunci rumah yang bakal kalian tinggali,” ucap Hanzo sembari menyera
“Kinar, ucapan Kakek kemarin … sepertinya kita tidak bisa menghindar dari Paman Devan. Tentang rumah ini, dia pasti akan tahu.”“Jika dipikirkan perkataanmu memang benar Mas. Seberapa besar kita merahasiakan di mana keberadaan kita dari dia, dia pasti akan tau. Lalu, apa yang harus kita lakukan?”Aarav terdiam sejenak. Ia menelusuri rumah yang sudah ia tinggali ini. Ya, kemarin keduanya langsung pindah rumah, sebelum itu Aarav mengadakan terlebih dahulu acara syukuran demi keberkahan rumah ini. Semua itu ia lakukan pula agar tidak ada hal-hal yang tak diinginkan. Sekarang keduanya tengah duduk di kursi sofa ruang tengah. Dengan Kinara yang bersandar di bahu sang suami. “Mas tidak akan melakukan apapun, hanya saja … Mas percayakan padamu.” Ucapan Aarav membuat Kinara menarik kepalanya. “Kenapa jadi Kinar?” tanyanya protes. “Iya karena memang ada di kamu.”“Ooo, jadi Mas gak mau peduli? Terus kalau Kinar pada akhirnya kembali ke Mas Dev—”“Gak ya! Mas gak mau kalau kamu sampai kemba
“Assalamu'alaikum…?” Khalifa mengucap salam saat ia masuk ke dalam rumah, ah, bukan hanya Khalifa, Alby juga ada. Keduanya masuk dengan raut muka terlihat capek. “Kak, eum … aku mau mandi dulu ya, seharian kerja bikin aku gerah,” ucap Khalifa pada Alby. Alby tersenyum. “okke, tapi jangan lama-lama ya, udah malam soalnya. Ah iya, pake air hangat biar nggak kedinginan.”Khalifa terkekeh. “Aku bukan kamu yang harus pake air dingin kali, aku kan nggak alergi dingin,” timpal Khalifa menjawab. “Masalahnya kan udah malam, nggak baik buat kesehatan.”“Enggak bakal kak. Udah, lagian aku mandi bakal cepet kok. Dah ya, aku mau mandi dulu!” ucap Khalifa gegas berlari namun dengan cepat Alby menahannya lebih dahulu membuat Khalifa kembali berbalik menatap Alby. “Kalo udah mandi nanti turun ke bawah ya? Aku mau masakin kesukaan kamu. Kita makan bareng,” ucap Alby. Kebetulan sekali keduanya belum makan membuat Khalifa mengangguk antusias. “Cium dulu sini.” Alby menampilkan pipi kanannya. Ia men
Seminggu berlalu…Seorang wanita berjalan dengan menyeret kopernya. Tergesa-gesa sebab terlambat,bahkan saking tergesa-gesanya, wanita itu tanpa sengaja menabrak bahu seseorang membuat wanita itu menyeru minta maaf. “Ya ampun maaf, Mas. Saya enggak sengaja!” ucapnya sedikit menundukkan kepala, detik berikut kepala wanita itu mendongak. Namun… “Lho?” Sesaat pandangan keduanya bertemu. “Gama?”“Khanza?” Keduanya berseru secara berbarengan. Gama dengan pandangan mata menelisik, sedang Khanza menatap dengan tarikan napas. “Kukira siapa, taunya kamu,” ucapnya merubah raut wajah. Khanza menghela napas, tanpa sepatah kata apapun perempuan itu pergi begitu saja. Gama menaikan alisnya, namun sedetik kemudian ia mengedikkan bahu, ikut pergi dengan menyeret kopernya. Ia tahu yang dirinya tabrak, untuk itu tidak peduli baginya.Gama memilih duduk setelah melakukan check up,melalui maskapai yang telah memberitahukannya kini ia duduk menunggu antrian untuk masuk ke dalam pesawat. Gama menghel
Pagi ini Khalifa bangun lebih awal, melihat sosok suaminya yang tertidur pulas. Ah, mungkin efek cairan infus yang masuk ke dalam tubuhnya, membuat pria itu terjaga dari tidurnya. Merasa pegal dibagian lengannya, Khalifa merenggangkan otot-ototnya. Tidur seranjang dengan Alby jelas membuatnya tak bergerak sana-sini, menjadikan ia merasakan pegal. Khalifa menghela napas, ia menunduk melihat pakaiannya yang kotor nan penuh darah, lupa, bahwa memang ia tak mengganti baju. Ah, jangankan untuk mengganti baju, justru hatinya saat itu resah memikirkan Alby. “Aku harus memberitahukan Bunda. Jika tidak mereka pasti khawatir.” Khalifa menatap terlebih dahulu Alby, mumpung pria itu masih tertidur membuat Khalifa gegas pergi. Selain merasa tak nyaman dengan pakaiannya ia juga tak nyaman dengan keadaan ini. Sungguh, walau ada perasaan lega melihat Alby selamat namun ada sisi lain yang membuatnya resah. Mengenai Khanza … Ia belum berani untuk menghadap padanya dan mengatakan yang sejujurnya. *
Lihatlah, wajah Alby yang dulunya tampan kini banyak dipenuhi luka. Beberapa luka itu diperban, entah bagian kepala, rahang, maupun anggota tubuh lainnya. Tak kuasa melihat keadaannya seperti ini, Khalifa menunduk dengan hati penuh sesal. “Maafin, Alifa Kak… maaf ….” Khalifa terduduk di kursi yang berada di pinggir ranjang tersebut, menggenggam tangan Alby yang begitu kekar. Dulu, tangan inilah yang selalu siap siaga menggenggam tangannya. “Andai aku tidak menurutinya, andai kita kabur saat itu mungkin keadaan kamu enggak bakal separah ini Kak. Bodoh, harusnya aku menolak ajakanmu untuk melawan mereka. Bodoh!” Khalifa merutuk dirinya, menarik tangan Alby untuk ia kecup. “Sekarang aku baru menyadarinya, Kak. Kalau aku … benar-benar takut kehilangan kamu. Aku takut ….” Khalifa tak bisa lagi membendung tangis yang kian jatuh menimpa pipinya, bengkak sudah kedua matanya sebab terus menangis. “Setelah kehilangan Mama dan Papa, aku enggak mau kehilangan kamu, Kak. Boleh aku egois? Aku i
Khalifa menunduk, semakin menangis tertahan dengan tangan yang masi menyentuh kepala Alby. “Kak … tolong … jangan tinggalin aku kayak gini … tolong bangunlah….”“Uhuk!”Sebuah semburat darah tiba-tiba keluar di bibir Alby tatkala pria itu terbatuk. “Kak Al?” Terkejut, Khalifa mendapati Alby membuka matanya dengan ringisan kecil yang keluar. “Khalifa….”Sudah menangis deras kini Khalifa menambah tangisnya tatkala suara lembut itu terdengar. Bergetar hatinya mendengar hal itu. “Kak Al….” Khalifa menangis, memeluk kepala Alby. “maafin aku, Kak. Maaf….”Alby memejamkan matanya menahan rasa sakit, ia menggeleng. “aku kembali untuk kamu, Alif….”Khalifa mengangguk, entah harus bagaiamana tapi ia benar-benar senang tatkala Alby kembali. Terbangun untuk menepati janjinya. Menggenggam erat tangan yang amat dingin itu Khalifa berucap, ““Kita harus ke rumah sakit dulu, Kak. Secepatnya luka kakak harus diatasi,” ucap Khalifa melihat keadaan Alby yang kian parah. “Kakak masih sanggup berdiri?
“Kau akan mati ditanganku!” Bugh! Alby langsung menghindar saat orang itu hendak menendang, belati yang dirinya pegang ia tusukkan ke depan untuk mengenal tubuh Alby, namun dengan gesit, Alby menghindar secara agresif. Memilih melawan dari belakang, Alby bisa menghajarnya dari belakang tersebut. Seseorang itu terjatuh, mukanya makin memerah. Satu diantara mereka berjalan maju, membuat Alby harus melawan dua orang sekaligus. Ah tidak, bahkan satunya lagi ikut-ikutan maju, menambah orang yang harus Alby lawan. Cukup kewalahan sebab mereka memiliki senjata masing-masing, sedang Alby hanya menggunakan tangan kosong sebagai tameng dirinya. Satu kali dua kali ia mendapat pukulan yang tak bisa ia hindari, bahkan goresan belati pula harus terkena sampai kulitnya saking keagresifan mereka. Murka, mereka murka sebab merasa terkalahkan oleh Alby. Alby mengatur napasnya dalam-dalam. Melawan 10 orang sekaligus benar-benar menguras tenaganya. Apalagi tidak diberi jeda untuk berhenti se
Khalifa berlari dan langsung memeluk Alby. Ia menangis dengan tubuh bergetar hebat. “Kak Al, makasih, makasih telah kembali….” Alby menelan salivanya pelan, bergetar hatinya kala melihat keadaan Khalifa seperti ini. “Maaf, maafkan aku baru datang Alif. Maaf telah meninggalkan kamu seorang diri.” Khalifa menggeleng, ia melerai pelukannya, mendongak untuk melihat wajah Alby. “Mereka … mereka ingin melecehkan aku, Kak. Aku--aku takut ….” Alby melihat wajah ketakutan itu, ia pegang tangan Khalifa untuk menenangkan gadisnya. Namun, yang ia lihat justru gurat merah dari pergelangan tangannya. Khalifa menunduk, ia masih terisak. “Mereka pegang tangan aku dengan keras Kak… mereka kasar dan menyeramkan….” Mendengar lirihan itu rahang Alby mengeras, menoleh ke kanan, ia dapati 11 orang itu yang tampak tertawa saja. “Ayo kabur, Kak. Mereka bukan tandingan kita,” ucap Khalifa kembali. Alby menatap Khalifa, memilih kabur? Itu bukan dirinya. “Tidak Alif, mereka harus membayar at
Nyatanya bukan sehabis magrib Khalifa pulang, melainkan sehabis isya baru ia bisa pulang. Jangan tanyakan kenapa, karena saat ini Khalifa ingin sendirian, menjadikan ia habiskan beberapa waktu sendirian di kantor. Dan sekarang waktunya ia pulang beberapa security yang jaga pula sebagian sudah pulang, paling hanya beberapa yang tetap berjaga karena bekerja sesuai shif. Khalifa berjalan terburu-buru menuju mobilnya, lantas melaju membelah jalan tanpa menunggu lama. Takut kemalaman Khalifa makin mempercepat lajunya. Sebuah dering ponsel terdengar namun tak Khalifa gubris untuk mengangkatnya. Memilih abai Khalifa terus melajukan mobilnya di tengah keramaian. Namun, kala ia berbelok ia harus di hadapkan dengan jalan yang cukup sepi. “Huft, semoga tidak terjadi apa-apa.” Khalifa mengucap doa dalam hati. Mau bagaimana pun ia perempuan, dan jelas ia takut jika tiba-tiba ada hal aneh yang melintas. Suara bisingnya motor terdengar dari arah belakang, memusat perhatian Khalifa untuk m
Khalifa menangkup kedua pipi di atas meja, bosan melanda hatinya. Hari ini tugas yang diberikan Aavar dalam mempelajari berbagai perbisnisan cukup menguras pikiran dan tenaga. Ternyata susah sekali untuk memahami berbagai persoalan dalam perbisnisan ini. Jika bukan karena otak yang encer mungkin Khalifa memilih tidur saja di atas kasur. Hari ini jam sudah menunjukan pukul empat sore. Tidak terasa, dari pagi sampai saat ini Khalifa menghabiskan waktu hanya di kantor saja, tentunya dengan Khanza. Namun, saat ini perempuan itu entah pergi ke mana, katanya izin keluar sebentar. “Khalifa, Om pulang lebih dulu ya, istri Om kasihan di rumah sendirian.” Tiba-tiba suara Aavar terdengar setelah pintu terbuka. “Kamu pulang lah, besok bisa dilanjutkan.” Punggung Khalifa berdiri tegap. “Nggak deh, Khalifa mau lembur. Soalnya masih banyak banget yang belum dikerjakan Om.” Aavar menoleh. “lembur?” Ia tertawa. “ya ampun Khalifa, ini kan cuma belajar aja. Gak usah terlalu dibuat serius jug