“Kinar, ucapan Kakek kemarin … sepertinya kita tidak bisa menghindar dari Paman Devan. Tentang rumah ini, dia pasti akan tahu.”“Jika dipikirkan perkataanmu memang benar Mas. Seberapa besar kita merahasiakan di mana keberadaan kita dari dia, dia pasti akan tau. Lalu, apa yang harus kita lakukan?”Aarav terdiam sejenak. Ia menelusuri rumah yang sudah ia tinggali ini. Ya, kemarin keduanya langsung pindah rumah, sebelum itu Aarav mengadakan terlebih dahulu acara syukuran demi keberkahan rumah ini. Semua itu ia lakukan pula agar tidak ada hal-hal yang tak diinginkan. Sekarang keduanya tengah duduk di kursi sofa ruang tengah. Dengan Kinara yang bersandar di bahu sang suami. “Mas tidak akan melakukan apapun, hanya saja … Mas percayakan padamu.” Ucapan Aarav membuat Kinara menarik kepalanya. “Kenapa jadi Kinar?” tanyanya protes. “Iya karena memang ada di kamu.”“Ooo, jadi Mas gak mau peduli? Terus kalau Kinar pada akhirnya kembali ke Mas Dev—”“Gak ya! Mas gak mau kalau kamu sampai kemba
"Hueeek ... huekk ...."Kinara memuntahkan cairan bening di wastafel. Perutnya kali ini terasa mual, terasa terkocok di dalamnya, membuat ia terus menerus memuntahkan cairan yang ada. Namun anehnya hanya cairan bening yang keluar di dalam mulutnya. "Huekk!""Non, Non Kinar tidak apa-apa?" Bi Wawa, selaku pelayan yang dikhususkan dalam mengurus Kinara berseru khawatir. Wanita itu berlari menuju dapur di mana sang tuan majikan tidak enak badan. Setelah dua minggu pindah dari rumah baru, majikan barunya itu sering tidak enak badan. Tidak parah, hanya saja perempuan itu selalu terlihat lemas. Sebelumnya Kinara di suruh untuk memeriksa kondisinya ke rumah sakit, namun perempuan itu menolak. Katanya dia baik-baik saja. Tapi setelah hari ini wanita itu tampak tak baik-baik saja, terlihat dari bibirnya yang tampak pucat. Ah, andai Aarav mengetahui jika istrinya seperti ini jelas membuat Aarav akan merasa bersalah sekaligus khawatir, pasalnya sudah tiga hari ini Aarav izin pergi ke luar ko
"Mas, Kinar bosan ... jalan-jalan yu?"Kinara melingkarkan tangannya di perut suami. Dia memeluk Aarav dari belakang. "Mau jalan-jalan ke mana?"Laila bergeming. Bingung juga mau jalan-jalan ke mana. Aarav membalikkan badannya untuk menatap sang istri. Dia kemudian mencium keningnya. "Mas ayo, ayo aja kalau kamu mau," ujarnya tersenyum tipis. Kinara akan menjawab, namun tiba-tiba perutnya terasa mual, membuat ia refleks mengeluarkan suara muntah. "Hueek ..." Telapak tangannya langsung menutup bibir. "Huuek....""Kinar, kamu kenapa?" Aarav dengan cepat bangun dari jaringannya. Sedang Kinara sudah ngebirit lari menuju wastafel, melupa bahwa ia belum memakai baju. Aarav yang terlihat akan wajah pucat sang istri dengan segera berlari membawa handuk, sebelum itu, ia memakai celana pendek lebih dahulu kemudian menuju wastafel di mana istrinya berada. Menutup tubuh polosnya kemudian membantu istrinya yang sedari tadi terus muntah-muntah. Pria itu bergeming. "Sepertinya ... kamu hamil
Mobil yang ditumpangi Aarav meninggalkan perkarangan rumah. Dengan dikemudi oleh sopir— Pak Anwar, Aarav menatap kepergian Kinara dari belakang sana. "Pak, tolong arahkan mobilnya ke rumah sakit." Mendengar penuturan tersebut membuat Pak Anwar terkejut. "Aden tidak apa-apa kan?" tanya Pak Anwar melihat Aarav dari kaca tengah yang tergantung. Pria itu melihat raut yang tak biasa dari wajah majikan barunya."Cepat arahkan saja apa yang aku suruh!" perintah Aarav dengan nada tegas. Mendengar penuturan tersebut mau tak mau Pak Anwar mengarahkan mobilnya ke rumah sakit terdekat, takut-takut telah terjadi sesuatu pada majikannya itu. Walau Pak Anwar amat kepo namun tak menjadikan dia memperlihatkan wajah khawatirnya. Diam-diam pria itu hanya menatap majikannya dengan prihatin. "Semoga tidak terjadi sesuatu pada Aden," batin Pak Anwar berucap. **"Uhuk!" Aarav keluar dari mobil dengan terbatuk, sebuah cairan merah keluar dari mulutnya. "Astaghfirullah Aden!" Pak Anwar terpekik saat mend
“Apa yang terjadi? Katakan, apa yang sebenarnya terjadi Mas?” tanya Kinara meronta-ronta. Menunggu jawaban Aarav yang sedari tadi hanya diam. “Aku tanya, Mas. Apa yang sebenarnya terjadi?”Kinara menatap Aarav dengan sorot mata penuh takut, khawatir sekaligus cemas. Namun sedari tadi Aarav hanya diam saja, enggan bersuara. Sebenarnya setelah mendengar info dari Pak Anwar membuat Kinara benar-benar datang ke rumah sakit. Menemui suaminya yang saat itu hendak pergi dari rumah sakit. Untung, untung saja Kinara bertemu sebelum Aarav benar-benar pergi ke kantor. Pria itu jika sudah begitu pasti akan diam, tidak akan memberitahukan apa-apa padanya. Merahasiakan sesuatu tersebut seorang diri. Jika bukan karena Pak Anwar, Kinara mungkin tidak akan tau apa yang sebenarnya terjadi. “Mas?”“Mas baik-baik aja, Kinar—”“Baik apanya? Dari tadi Kinar bertanya, apa yang sebenarnya terjadi? Mas mau menyembunyikan sesuatu itu dari Kinar, iya?!” Emosi Kinara sedikit naik. Wajar, di dalam perutnya ten
"Kira-kira siapa yang ingin membunuhku di rumahku sendiri?" tanya Aarav dengan pikiran yang terus berkecamuk. "Mas, Kinar ... ngerasa takut dalam hal ini. Apa Mas, tidak takut?" tanya Kinara. Keduanya kini berada di dalam mobil. Seperti biasa, Anwar yang mengemudi. "Den, maaf jika Bapak ikut campur. Tapi menurut saya ... ada orang dalam yang diam-diam ingin menusuk Aden dari belakang. Jika sudah terbukti akan hal ini, sudah tidak salah lagi kalau orang itu ada di dalam rumah Aden." Ucapan Anwar diangguki oleh Aarav dan Kinara. "Yang dikatakan Bapak benar. Kinar juga ngerasa begitu. Ah, Mas, sebenarnya ada suatu hal yang aku sembunyikan dari kamu," ucap Kinara membuat Aarav mengerutkan dahinya. "Jangan bilang kamu selingkuh?""Ish! Siapa juga yang mau selingkuh? Mas suka ngelantur!"Aarav terkekeh kecil. "Terus apa dong?"Kinara menghela nafas lebih dahulu. "Kejadian di mana Mas kecelakaan. Apa Mas ngerass ada yang aneh?" tanyanya membuat Aarav semakin mengerutkan dahinya. "Rem bl
Lusi. Ya, dia yang tak lain adalah Lusi, tersenyum samar. Perempuan yang kini sudah menginjak pas 16 tahun itu tertawa menggelegar. "Kau yang membunuh Ayahku! Bagaimana mungkin aku berdiam diri?" tanya Lusi pada dirinya sendiri. Ah bukan, melainkan pada foto Aarav yang ia tempeli dicermin. Foto tersebut sudah di penuhi dengan tusukan jarum, ditambah dengan coretan bolpoin yang ia gunakan untuk menghancurkan kepala Aarav. Perempuan itu berbicara pada foto tersebut. "Kau tau kesalahanmu kan Kak?" tanya Lusi dengan nada jahat. "Kau ... orang yang sudah merengut kebahagiaan kami. Dengan membunuh Ayahku, kau ingin membalaskannya sebagai bentuk balas budi?" Lusi terkekeh. Namun tiba-tiba air matanya jatuh menetes. Ia menangis, menangis dalam kemarahan yang selama ini ia tahan. Sampai tiba-tiba Lusi terjatuh dengan lutut yang ia peluk. Sendirian. Ia menangis sendirian. Putaran akan ucapan Aarav saat itu melintas di otaknya, membuat kemarahan itu kian bermunculan di hati Lusi. "Kak Aara
Hari ini Lusi libur, menjadikan waktu terasa panjang baginya. Dan tentu, rencana yang sedang ia buat semakin dekat. Membunuh Aarav! Benar, ia akan memikirkan cara agar kematian Aarav cepat laki-laki itu dapat. Dunia yang kejam menutup mata hati Lusi. Rasa sakit yang dipendam tak mampu meluluhkan hatinya bahwa sebuah pembunuh adalah dosa besar. Lusi tidak peduli, entah dicap apa Lusi akan menerima konsekuensi, termasuk sekarang. Ia akan melakukan apapun asal Aarav berhasil masuk ke dalam jebakannya. Tentunya tanpa diketahui Kinara. "Kak Kinar?" Lusi tersenyum polos kala mendapati kakanya hanya lesehan saja di ruang tengah. Wanita itu sedang menonton TV. "Eh, ada apa Lusi? Baru bangun?"Lusi mengangguk, pura-pura mengiyakan."Kak, Lusi kan libur ... libur panjang lagi. Lusi bosan kak," ucapnya membuat Kinara mengernyit. Melihat ketidak mengertian Kinara membuat Lusi langsung berkata, "kita liburan yuk kak? Ke pantai, kayaknya seru," ucap Lusi penuh girang. Gadis itu menatap binar K