“Apa yang terjadi? Katakan, apa yang sebenarnya terjadi Mas?” tanya Kinara meronta-ronta. Menunggu jawaban Aarav yang sedari tadi hanya diam. “Aku tanya, Mas. Apa yang sebenarnya terjadi?”Kinara menatap Aarav dengan sorot mata penuh takut, khawatir sekaligus cemas. Namun sedari tadi Aarav hanya diam saja, enggan bersuara. Sebenarnya setelah mendengar info dari Pak Anwar membuat Kinara benar-benar datang ke rumah sakit. Menemui suaminya yang saat itu hendak pergi dari rumah sakit. Untung, untung saja Kinara bertemu sebelum Aarav benar-benar pergi ke kantor. Pria itu jika sudah begitu pasti akan diam, tidak akan memberitahukan apa-apa padanya. Merahasiakan sesuatu tersebut seorang diri. Jika bukan karena Pak Anwar, Kinara mungkin tidak akan tau apa yang sebenarnya terjadi. “Mas?”“Mas baik-baik aja, Kinar—”“Baik apanya? Dari tadi Kinar bertanya, apa yang sebenarnya terjadi? Mas mau menyembunyikan sesuatu itu dari Kinar, iya?!” Emosi Kinara sedikit naik. Wajar, di dalam perutnya ten
"Kira-kira siapa yang ingin membunuhku di rumahku sendiri?" tanya Aarav dengan pikiran yang terus berkecamuk. "Mas, Kinar ... ngerasa takut dalam hal ini. Apa Mas, tidak takut?" tanya Kinara. Keduanya kini berada di dalam mobil. Seperti biasa, Anwar yang mengemudi. "Den, maaf jika Bapak ikut campur. Tapi menurut saya ... ada orang dalam yang diam-diam ingin menusuk Aden dari belakang. Jika sudah terbukti akan hal ini, sudah tidak salah lagi kalau orang itu ada di dalam rumah Aden." Ucapan Anwar diangguki oleh Aarav dan Kinara. "Yang dikatakan Bapak benar. Kinar juga ngerasa begitu. Ah, Mas, sebenarnya ada suatu hal yang aku sembunyikan dari kamu," ucap Kinara membuat Aarav mengerutkan dahinya. "Jangan bilang kamu selingkuh?""Ish! Siapa juga yang mau selingkuh? Mas suka ngelantur!"Aarav terkekeh kecil. "Terus apa dong?"Kinara menghela nafas lebih dahulu. "Kejadian di mana Mas kecelakaan. Apa Mas ngerass ada yang aneh?" tanyanya membuat Aarav semakin mengerutkan dahinya. "Rem bl
Lusi. Ya, dia yang tak lain adalah Lusi, tersenyum samar. Perempuan yang kini sudah menginjak pas 16 tahun itu tertawa menggelegar. "Kau yang membunuh Ayahku! Bagaimana mungkin aku berdiam diri?" tanya Lusi pada dirinya sendiri. Ah bukan, melainkan pada foto Aarav yang ia tempeli dicermin. Foto tersebut sudah di penuhi dengan tusukan jarum, ditambah dengan coretan bolpoin yang ia gunakan untuk menghancurkan kepala Aarav. Perempuan itu berbicara pada foto tersebut. "Kau tau kesalahanmu kan Kak?" tanya Lusi dengan nada jahat. "Kau ... orang yang sudah merengut kebahagiaan kami. Dengan membunuh Ayahku, kau ingin membalaskannya sebagai bentuk balas budi?" Lusi terkekeh. Namun tiba-tiba air matanya jatuh menetes. Ia menangis, menangis dalam kemarahan yang selama ini ia tahan. Sampai tiba-tiba Lusi terjatuh dengan lutut yang ia peluk. Sendirian. Ia menangis sendirian. Putaran akan ucapan Aarav saat itu melintas di otaknya, membuat kemarahan itu kian bermunculan di hati Lusi. "Kak Aara
Hari ini Lusi libur, menjadikan waktu terasa panjang baginya. Dan tentu, rencana yang sedang ia buat semakin dekat. Membunuh Aarav! Benar, ia akan memikirkan cara agar kematian Aarav cepat laki-laki itu dapat. Dunia yang kejam menutup mata hati Lusi. Rasa sakit yang dipendam tak mampu meluluhkan hatinya bahwa sebuah pembunuh adalah dosa besar. Lusi tidak peduli, entah dicap apa Lusi akan menerima konsekuensi, termasuk sekarang. Ia akan melakukan apapun asal Aarav berhasil masuk ke dalam jebakannya. Tentunya tanpa diketahui Kinara. "Kak Kinar?" Lusi tersenyum polos kala mendapati kakanya hanya lesehan saja di ruang tengah. Wanita itu sedang menonton TV. "Eh, ada apa Lusi? Baru bangun?"Lusi mengangguk, pura-pura mengiyakan."Kak, Lusi kan libur ... libur panjang lagi. Lusi bosan kak," ucapnya membuat Kinara mengernyit. Melihat ketidak mengertian Kinara membuat Lusi langsung berkata, "kita liburan yuk kak? Ke pantai, kayaknya seru," ucap Lusi penuh girang. Gadis itu menatap binar K
"Khusus tiga hari ini ... kita akan pergi berlibur ...!" seru Aarav penuh kegirangan. Diikuti Kinara, perempuan itu tertawa renyah, dia menoleh pada Lusi yang ikut tertawa lebar. Ah, Lusi pasti sangat senang karena Aarav mengabulkan keinginannya dalam berlibur ke pantai. Kemarin, Kinara langsung memberitahukan pada Aarav akan keinginan Lusi yang katanya ingin liburan. Tak disangka, Aarav langsung menyetujuinya tanpa bertanya ini-itu, pria itu langsung mengiyakan tanpa syarat apapun, membut Kinara benar-benar senang bukan kepalang. Bagaimana tidak? Ia yang tidak pernah liburan diajak untuk berlibur, tentu hal tersebut tidak boleh ia sia-siakan. Sebelumnya barang-barang yang akan dibawa sudah dikemasi, membuat ketiga, ah bukan, sebenarnya Aarav mengajak pula semua pelayan yang ada di rumahnya untuk ikut bergabung. Sekitar 5 pelayan yang ada di rumahnya, membuat rumah itu kini kosong. Kini, orang yang akan berlibur itu langsung meluncur menuju tempat yang akan diliburi. Dengan dikemud
"Pakai ini, Mas gak mau sampai istri Mas masuk angin," ucap Aarav memakaikan jaket tebal kepada Kinara. Seperti seorang anak yang dipakaikan jaket oleh orang tua mereka, Kinara pun sama, dipakaikan oleh suaminya sendiri. Kinara tersenyum, suaminya itu benar-benar memanjakannya, sangat malah, dia tidak membiarkan barang sedetik pun untuk ia bekerja, atau mungkin membantu. Semuanya selalu diurus oleh Aarav. Katanya, hamil muda itu harus mengurangi rasa beban dan strees, dan lebih penting, jangan banyak bekerja yang membuat badan lelah. Ah, liburan kali ini benar-benar dibuat manja! Membuat Kinara semakin sayang pada Aarav. Entahlah, rasa cinta dan sayang itu kian besar saja. "Makasih sayang ...." seru Kinara. Aarav mengacak rambut Kinara yang tertutup jilbab. "Cium dulu?" Tanpa embel-embel malu, Kinara dengan segera mencium seluruh muka Aarav tanpa terkecuali, membuat Aarav dibuat tertawa geli karenanya. "Makin gemes ya?" tanya Aarav diangguki oleh Kinara. "Makin sayang Mas Aarav
"Tolong, tolong mereka?!" teriak Kinara dengan suara bergetar, perempuan itu hendak berlari namun ditahan oleh salah satu pelayan. "Pak Anwar ikut turun Non, jadi Nona tak usah khawatir."Bagaimana aku tidak bisa khawatir jika suami dan adikku ada di sana?" teriak Kinara dengan napas memburu. Perempuan itu menatap Aarav yang sedari tadi terus bertarung dengan air. Di kejauhan sana pria itu mencari adiknya. Namun, kebaikan kali ini tampaknya berpihak pada Aarav, terbukti dari orang-orang yang juga ikut turun ke dasar laut. Ikut mencari perempuan yang tadi berteriak. Bahkan tak hanya itu, sebuah perahu nelayan pula berlayar ke dasar air tersebut, mencoba membantu mereka. Lusi mengepalkan tangannya saat melihat begitu banyak orang yang berkontribusi dalam menolong. Sial! Lagi-lagi rencananya harus gagal! Atau ah? Apa ia terlalu gegabah dengan melakukan rencana ini? Yang ia kira akan berhasil justru gagal total? Karena tidak ingin mendapat tuduhan dan kecurigaan, Lusi yang bersembunyi
Lusi meluruhkan tubuhnya di dekat gundukan tanah milik Ayahnya. Memeluk batu nisan bernamakan Nizam. "Ayah ... Lusi rindu Ayah ... Lusi juga rindu Ibu ...." Lirih. Lusi mengatakan kalimat tersebut dengan amat lirih. Kelopak matanya tak bisa menahan air mata yang siap jatuh, kembali meruntuhkan pertahanannya. "Lusi mau Ayah dan Ibu ...."Lusi menangis. Gadis itu memejamkan matanya dengan tangan yang setia memeluk batu nisan. "Ayah, Ayah di sana udah tenang Dek." Kinara yang sedari tadi hanya diam akhirnya bersuara. Setelah memenuhi keinginan Lusi untuk bertemu dengan Ayahnya, Kinara sedari tadi hanya terdiam menyaksikan semuanya. Ada perasaan rindu yang amat mendalam, namun pula ada perasaan sesak saat rindu itu terucap. Bagaimana tidak? Sekalipun rindu itu terobati, semuanya pasti akan berbeda. Menahan rasa dari sakitnya kehilangan, apalagi menahan gejolak sesak yang kian sakit akibat ditinggal pergi membuat Kinara merasakan di posisi Lusi. Ah tidak, seiring berjalannya waktu Kin