"Kakek tau semuanya?" tanya Aarav tidak percaya. "lalu siapa orang yang kakek maksud?" tanya Aarav. Pria itu menarik Vanzo agar sedikit berjauh dari rumah. Sebatas halaman, Aarav mengajak Vanzo berbincang empat mata. "Kau tidak akan percaya ini setelah kakek menyebutkan namanya.""Katakan saja," ucap Aarav tak sabaran. "siapa orangnya?"Vanzo tampak menarik napas terlebih dahulu sebelum berucap, "Lusi."Bola mata Aarav berhasil melebar. Pria itu terkejut dengan tatapan termangu. "Apa?" tanyanya memastikan. "Lusi, dialah dalang dibalik kecelakaan yang terjadi padamu," ucap Vanzo mengulangi ucapannya. "Alasan apa yang membuat Kakek yakin kalau Lusi adalah pelakunya?" "Bukti ini." Vanzo menunjukkan ponselnya, menunjukkan hasil di mana Lusi yang masuk ke dalam mobil Aarav secara diam-diam. Bola mata Aarav lagi-lagi dibuat terkejut. "Bukti ini berhasil ditemukan oleh Aavar. Dia menyelediki kasus ini sampai benar-benar menemukan pelakunya.""Aavar?" Raut Aarav mulai menunjukkan raut
"Lusi sekarang harus langsung istirahat, oh iya, nanti kakak bawain makan ke kamar Lusi, biar tidurnya nyenyak."Lusi tersenyum mengangguk mendapati perhatian besar dari Kinara. Ah, kakaknya ini selalu saja baik dan perhatian, membuat Lusi benar-benar amat senang. Keduanya masuk ke dalam, tak sadar kalau di belakang sana Aarav dan Vanzo sedang sibuk berbicara satu sama lain. Sampai saat Kinara masuk ke dalam ... "Kau sudah kembali?" Sebuah suara menghentikan langkah Kinara dan Lusi. Kinara terkejut, namun kemudian ia berseru, " Mas Aavar?" Baik Aavar dan Kinara mereka langsung terkekeh kecil. Aavar berjalan menuju Kinara, pria itu menatap sekilas Lusi. "Bagaimana liburan kalian? Senang atau ... telah terjadi suatu hal yang tak diinginkan?" Enteng Aavar berkata demikian. Tatapan mata sesekali mengarah pada Lusi. Kinara terdiam sejenak, mendengar pertanyaan tersebut tak memungkinkan jika ia harus berkata jujur. "Baik. Semuanya jelas baik. Kami bersenang-senang di pantai sana. Ah,
Semua orang yang ada tercengang mendengar pernyataan dari Lusi, apalagi teruntuk Kinara yang mendadak lemas. "Lusi---""Tidak!" Lusi berteriak murka saat melihat Aavar hendak menujunya. "jangan menghentikan aku ketika semua orang menyudutkan aku atas kesalahan ini! Sedari tadi aku hanya diam, tapi apa ada yang membelaku, ha? Berbeda lagi dengan laki-laki pembunuh itu, kalian langsung membelanya! Tidak menyudutkannya!" Lusi tertawa hambar, tangannya dengan kasar menghapus air mata yang jatuh ke pipi. "Lusi ... kakak---"Tanpa mendengar ucapan Kinara, Lusi berlari meninggalkan semua orang yang ada. Dia berlari dengan tangis yang berhasil jatuh secara terus-menerus. Mata Kinara berkaca-kaca melihat kepergian Lusi. Matanya menunduk untuk melihat telapak tangan yang sempat menampar Lusi. Ia ... telah menampar adiknya. Lusi yang tidak pernah ia bentak seberapa nakal anak itu. Apalagi menampar seberapa susahnya Lusi apabila diatur. Tapi dengan mudahnya ia telah mengecewakan adiknya? "K
"Bi, tolong bawa ini ke kamar Kinar ya? Pastiin kalau dia makan!" ucap Aarav memberikan nampan pada Bi Wawa. "Iye Den, kalaupun Non Kinar nolak lagi, Bibi bakal paksa dia buat makan!" ujarnya dengan tegas. Aarav mengangguk saja, pria itu menatap kepergian Bi Wawa ke dalam kamar. Rasa cemas, khawatir dan takut Aarav rasakan saat Kinara enggan makan. Perempuan itu menolak untuk makan setelah tiga kali dikirimkan oleh Bi Wawa. Lihatlah, bahkan menjelang malam pun perempuan itu tak mau keluar kamar atau bahkan makan, membuat Aarav nambah khawatir saja. Aarav menatap pintu yang tertutup, pria itu menghembuskan napas gusar. Tak bisa dipungkiri, bahwa ketakutan ini pada akhirnya terjadi juga. Kinaranya marah tanpa mau mendengarkan penjelasannya terlebih dahulu. Aarav berjalan gontai menuju kamar Lusi, ah, gadis itu sama seperti kakaknya, tidak keluar kamar atau bahkan menerima makanan barang satu suap saja. Keduanya memiliki sikap yang sama, "Lusi?" Aarav memanggil namanya sembari menge
"Apa yang Mas lakukan?!" teriak Kinara membuang pisau tersebut ke sembarang arah. Napas perempuan itu menggebu-gebu, tangisan yang sudah basah makin basah jatuh ke pipinya. "Apa kamu tidak waras, hah?" teriak Kinara marah, namun dibalik itu dengan sigap Kinara memeluk tubuh Aarav dan menangis di sandaran dadanya. "Kau tidak waras Mas ... kau sudah tidak waras ...," ujarnya tersedu-sedu. Siapa yang menyangka bahwa Aarav tadi nekad ingin menusukkan pisau tersebut di dada tepat jantungnya? Siapa yang mengira kalau Aarav akan melakukan sampai sejauh itu? "Ini bukan jantungku, Kinar. Ini bukan jantungku ...," ucap Aarav dengan tatapan sendu. "Ini jantung Ayahmu. Kau ingin jantung ini kan? Maka ambil Kinar, ambil jantung ini. Mas ... Mas tidak membutuhkannya. Mas bahkan rela mati jika memang kamu yang meminta, Mas ... ""Diamlah!" teriak Kinara dengan suara parau. Tampaknya suara perempuan itu sedikit habis karena tangisan, membuat Kinara hanya menjawab dengan seadanya. "Kinar memang m
Cup. Sebuah kecupan terasa hangat di pipi kanan Kinara, kemudian kecupan itu ia rasa pada keningnya. Perlahan Kinara membuka matanya, seulas senyum terbit di bibirnya saat tatapan itu bertemu. "Mas?" Kinara tersenyum binar, perempuan itu dengan sigap melingkarkan kedua tangan pada leher Aarav. Ya, pria itu tak lain adalah suaminya sendiri, dia membangunkan dirinya dengan cara memberi kecupan. Aarav terkekeh kecil, mencium kembali kening Kinara untuk sekian kali. Setelahnya Aarav menarik Kinara agar bangun dari baringannya."Selamat pagi untuk istriku tercinta dan selamat pagi pula untuk anakku yang paling aku sayang," ujar Aarav tersenyum tipis, pria itu menangkup pipi Kinara, kemudian beralih mencium perut Kinara. Mendapat respon hangat seperti itu jelas membuat Kinara merasa malu, merah sudah pipinya karena hal tersebut. Biasanya setiap pagi dirinya lah yang lebih awal bangun, menjadikan momen romantis seperti ini tidak Kinara rasakan. Namun sekarang berbeda. Pagi ini Aarav la
"Tunggu! Apa maksud semua ini?" tanya Aavar tidak mengerti. "apa yang kalian bicarakan?" tanyanya lagi. Aavar memang tidak mengerti, apa maksud dari perasaan tersebut? Siapa? Dan ... apa artinya? Kenapa ia baru tau akan hal ini? "Paman, kau .... mencintai Kinar?" tanya Aavar tak habis pikir. Kejutan apalagi ini sampai ia baru tau sekarang. "Ck! Kau terlambat untuk memahaminya," jawab Vanzo berdecak. "Apa ada yang bisa menjelaskan?" tanya Aavar. "tidak ada kan?""Kau tidak perlu tau Aavar, karena ini bukan urusanmu!" Devan menyandarkan punggungnya ke kursi sofa, pria itu bersedekap dada. "Oh, oke. Langsung ke intinya saja. Jadi sebelumnya Paman memiliki hubungan dengan Kinara?" tanya Aavar to the point. Sungguh ia benar-benar penasaran kenapa tiba-tiba Devan kenal dengan Kinar samapai memiliki perasaan itu. "Lupakan, semua itu tidak penting," sinis Devan. Apa-apaan coba? Membuka privasi diri sendiri apa baik? Tentu saja tidak! "Dev, Ayah cuma ingin mengingatkan. Menikahlah!" ujar
"Kinara ... dia .... ""Dia yang membunuh Mama!" teriak Aavar dengan menggebu-gebu. Pria itu menjawab lirihan Vanzo. "dengar, Kek. Aku tidak bisa diam. Setelah apa yang terjadi aku tidak bisa diam lagi!""Apa yang mau kamu lakukan Aavar?" tanya Vanzo masih menahan Aavar agar tidak pergi. "Melakukan apa yang seharusnya dilakukan!" Aavar menyentakkan tangan Vanzo, pria itu bergegas lari ke luar, terlihat emosi tengah menguasai dirinya. "Kau mengetahui kebenaran ini, Devan?" tanya Vanzo tak percaya. "lalu kenapa kau memberitahukan semuanya sekarang, hah! Kenapa?!" Vanzo ikut emosi, namun bukan pada isi relakan tersebut melainkan pada Devan yang malah menyembunyikan sebuah kebenaran. "Aku tidak berniat menyembunyikan, Ayah. Aku ....""Apa kau tau dengan cara seperti ini akan membuat mereka bercerai? Astaghfirullah ... Devan .... " Vanzo semakin dilanda frustasi. Pria itu dengan cepat berlari menuju pintu luar. Ia tahu bahwa Aavar pasti akan menuju rumah Aarav. Kejadian yang belum beber