"Lusi sekarang harus langsung istirahat, oh iya, nanti kakak bawain makan ke kamar Lusi, biar tidurnya nyenyak."Lusi tersenyum mengangguk mendapati perhatian besar dari Kinara. Ah, kakaknya ini selalu saja baik dan perhatian, membuat Lusi benar-benar amat senang. Keduanya masuk ke dalam, tak sadar kalau di belakang sana Aarav dan Vanzo sedang sibuk berbicara satu sama lain. Sampai saat Kinara masuk ke dalam ... "Kau sudah kembali?" Sebuah suara menghentikan langkah Kinara dan Lusi. Kinara terkejut, namun kemudian ia berseru, " Mas Aavar?" Baik Aavar dan Kinara mereka langsung terkekeh kecil. Aavar berjalan menuju Kinara, pria itu menatap sekilas Lusi. "Bagaimana liburan kalian? Senang atau ... telah terjadi suatu hal yang tak diinginkan?" Enteng Aavar berkata demikian. Tatapan mata sesekali mengarah pada Lusi. Kinara terdiam sejenak, mendengar pertanyaan tersebut tak memungkinkan jika ia harus berkata jujur. "Baik. Semuanya jelas baik. Kami bersenang-senang di pantai sana. Ah,
Semua orang yang ada tercengang mendengar pernyataan dari Lusi, apalagi teruntuk Kinara yang mendadak lemas. "Lusi---""Tidak!" Lusi berteriak murka saat melihat Aavar hendak menujunya. "jangan menghentikan aku ketika semua orang menyudutkan aku atas kesalahan ini! Sedari tadi aku hanya diam, tapi apa ada yang membelaku, ha? Berbeda lagi dengan laki-laki pembunuh itu, kalian langsung membelanya! Tidak menyudutkannya!" Lusi tertawa hambar, tangannya dengan kasar menghapus air mata yang jatuh ke pipi. "Lusi ... kakak---"Tanpa mendengar ucapan Kinara, Lusi berlari meninggalkan semua orang yang ada. Dia berlari dengan tangis yang berhasil jatuh secara terus-menerus. Mata Kinara berkaca-kaca melihat kepergian Lusi. Matanya menunduk untuk melihat telapak tangan yang sempat menampar Lusi. Ia ... telah menampar adiknya. Lusi yang tidak pernah ia bentak seberapa nakal anak itu. Apalagi menampar seberapa susahnya Lusi apabila diatur. Tapi dengan mudahnya ia telah mengecewakan adiknya? "K
"Bi, tolong bawa ini ke kamar Kinar ya? Pastiin kalau dia makan!" ucap Aarav memberikan nampan pada Bi Wawa. "Iye Den, kalaupun Non Kinar nolak lagi, Bibi bakal paksa dia buat makan!" ujarnya dengan tegas. Aarav mengangguk saja, pria itu menatap kepergian Bi Wawa ke dalam kamar. Rasa cemas, khawatir dan takut Aarav rasakan saat Kinara enggan makan. Perempuan itu menolak untuk makan setelah tiga kali dikirimkan oleh Bi Wawa. Lihatlah, bahkan menjelang malam pun perempuan itu tak mau keluar kamar atau bahkan makan, membuat Aarav nambah khawatir saja. Aarav menatap pintu yang tertutup, pria itu menghembuskan napas gusar. Tak bisa dipungkiri, bahwa ketakutan ini pada akhirnya terjadi juga. Kinaranya marah tanpa mau mendengarkan penjelasannya terlebih dahulu. Aarav berjalan gontai menuju kamar Lusi, ah, gadis itu sama seperti kakaknya, tidak keluar kamar atau bahkan menerima makanan barang satu suap saja. Keduanya memiliki sikap yang sama, "Lusi?" Aarav memanggil namanya sembari menge
"Apa yang Mas lakukan?!" teriak Kinara membuang pisau tersebut ke sembarang arah. Napas perempuan itu menggebu-gebu, tangisan yang sudah basah makin basah jatuh ke pipinya. "Apa kamu tidak waras, hah?" teriak Kinara marah, namun dibalik itu dengan sigap Kinara memeluk tubuh Aarav dan menangis di sandaran dadanya. "Kau tidak waras Mas ... kau sudah tidak waras ...," ujarnya tersedu-sedu. Siapa yang menyangka bahwa Aarav tadi nekad ingin menusukkan pisau tersebut di dada tepat jantungnya? Siapa yang mengira kalau Aarav akan melakukan sampai sejauh itu? "Ini bukan jantungku, Kinar. Ini bukan jantungku ...," ucap Aarav dengan tatapan sendu. "Ini jantung Ayahmu. Kau ingin jantung ini kan? Maka ambil Kinar, ambil jantung ini. Mas ... Mas tidak membutuhkannya. Mas bahkan rela mati jika memang kamu yang meminta, Mas ... ""Diamlah!" teriak Kinara dengan suara parau. Tampaknya suara perempuan itu sedikit habis karena tangisan, membuat Kinara hanya menjawab dengan seadanya. "Kinar memang m
Cup. Sebuah kecupan terasa hangat di pipi kanan Kinara, kemudian kecupan itu ia rasa pada keningnya. Perlahan Kinara membuka matanya, seulas senyum terbit di bibirnya saat tatapan itu bertemu. "Mas?" Kinara tersenyum binar, perempuan itu dengan sigap melingkarkan kedua tangan pada leher Aarav. Ya, pria itu tak lain adalah suaminya sendiri, dia membangunkan dirinya dengan cara memberi kecupan. Aarav terkekeh kecil, mencium kembali kening Kinara untuk sekian kali. Setelahnya Aarav menarik Kinara agar bangun dari baringannya."Selamat pagi untuk istriku tercinta dan selamat pagi pula untuk anakku yang paling aku sayang," ujar Aarav tersenyum tipis, pria itu menangkup pipi Kinara, kemudian beralih mencium perut Kinara. Mendapat respon hangat seperti itu jelas membuat Kinara merasa malu, merah sudah pipinya karena hal tersebut. Biasanya setiap pagi dirinya lah yang lebih awal bangun, menjadikan momen romantis seperti ini tidak Kinara rasakan. Namun sekarang berbeda. Pagi ini Aarav la
"Tunggu! Apa maksud semua ini?" tanya Aavar tidak mengerti. "apa yang kalian bicarakan?" tanyanya lagi. Aavar memang tidak mengerti, apa maksud dari perasaan tersebut? Siapa? Dan ... apa artinya? Kenapa ia baru tau akan hal ini? "Paman, kau .... mencintai Kinar?" tanya Aavar tak habis pikir. Kejutan apalagi ini sampai ia baru tau sekarang. "Ck! Kau terlambat untuk memahaminya," jawab Vanzo berdecak. "Apa ada yang bisa menjelaskan?" tanya Aavar. "tidak ada kan?""Kau tidak perlu tau Aavar, karena ini bukan urusanmu!" Devan menyandarkan punggungnya ke kursi sofa, pria itu bersedekap dada. "Oh, oke. Langsung ke intinya saja. Jadi sebelumnya Paman memiliki hubungan dengan Kinara?" tanya Aavar to the point. Sungguh ia benar-benar penasaran kenapa tiba-tiba Devan kenal dengan Kinar samapai memiliki perasaan itu. "Lupakan, semua itu tidak penting," sinis Devan. Apa-apaan coba? Membuka privasi diri sendiri apa baik? Tentu saja tidak! "Dev, Ayah cuma ingin mengingatkan. Menikahlah!" ujar
"Kinara ... dia .... ""Dia yang membunuh Mama!" teriak Aavar dengan menggebu-gebu. Pria itu menjawab lirihan Vanzo. "dengar, Kek. Aku tidak bisa diam. Setelah apa yang terjadi aku tidak bisa diam lagi!""Apa yang mau kamu lakukan Aavar?" tanya Vanzo masih menahan Aavar agar tidak pergi. "Melakukan apa yang seharusnya dilakukan!" Aavar menyentakkan tangan Vanzo, pria itu bergegas lari ke luar, terlihat emosi tengah menguasai dirinya. "Kau mengetahui kebenaran ini, Devan?" tanya Vanzo tak percaya. "lalu kenapa kau memberitahukan semuanya sekarang, hah! Kenapa?!" Vanzo ikut emosi, namun bukan pada isi relakan tersebut melainkan pada Devan yang malah menyembunyikan sebuah kebenaran. "Aku tidak berniat menyembunyikan, Ayah. Aku ....""Apa kau tau dengan cara seperti ini akan membuat mereka bercerai? Astaghfirullah ... Devan .... " Vanzo semakin dilanda frustasi. Pria itu dengan cepat berlari menuju pintu luar. Ia tahu bahwa Aavar pasti akan menuju rumah Aarav. Kejadian yang belum beber
“Mas, aku tidak tahu siapa perempuan itu. Dia … dia orang gila—”“Dia bukan orang gila, Kinara!” potong Aarav setengah berteriak. Napas pria itu naik turun saat mendengar Kinara menyebut Mamanya dengan nama orang gila. “Dia Mamaku! Mamaku!”Deg. Jantung Kinara terasa berhenti berdetak saat teriakan kedua terdengar begitu menusuk jantungnya. “A--apa? Ma--ma?”“Iya! Yang kau tinggalkan itu Mamaku, Kinar! Mamaku!” Tak bisa membendung rasa sakit yang ia rasa, air mata Aarav pada akhirnya berhasil jatuh menetes. “Mas, aku benar-benar tidak tahu.” Kinara mencoba menyentuh lengan Aarav, namun sang empu dengan kasar menghempaskan tangan Kinara darinya. “Mas kecewa sama kamu Kinar. Mas benar-benar kecewa ….” Setelah mengatakan demikian Aarav berlari menjauh menaiki anak tangga. Sedang Kinara dibuat tercengang atas apa yang terjadi. Perempuan itu berlari untuk menyusul Aarav, namun dengan cepat ditahan oleh Aavar. “Kau tau takdir ini Kinar? Bahwa kalian sebenarnya tidaklah berjodoh!”“Apa
“Assalamu'alaikum…?” Khalifa mengucap salam saat ia masuk ke dalam rumah, ah, bukan hanya Khalifa, Alby juga ada. Keduanya masuk dengan raut muka terlihat capek. “Kak, eum … aku mau mandi dulu ya, seharian kerja bikin aku gerah,” ucap Khalifa pada Alby. Alby tersenyum. “okke, tapi jangan lama-lama ya, udah malam soalnya. Ah iya, pake air hangat biar nggak kedinginan.”Khalifa terkekeh. “Aku bukan kamu yang harus pake air dingin kali, aku kan nggak alergi dingin,” timpal Khalifa menjawab. “Masalahnya kan udah malam, nggak baik buat kesehatan.”“Enggak bakal kak. Udah, lagian aku mandi bakal cepet kok. Dah ya, aku mau mandi dulu!” ucap Khalifa gegas berlari namun dengan cepat Alby menahannya lebih dahulu membuat Khalifa kembali berbalik menatap Alby. “Kalo udah mandi nanti turun ke bawah ya? Aku mau masakin kesukaan kamu. Kita makan bareng,” ucap Alby. Kebetulan sekali keduanya belum makan membuat Khalifa mengangguk antusias. “Cium dulu sini.” Alby menampilkan pipi kanannya. Ia men
Seminggu berlalu…Seorang wanita berjalan dengan menyeret kopernya. Tergesa-gesa sebab terlambat,bahkan saking tergesa-gesanya, wanita itu tanpa sengaja menabrak bahu seseorang membuat wanita itu menyeru minta maaf. “Ya ampun maaf, Mas. Saya enggak sengaja!” ucapnya sedikit menundukkan kepala, detik berikut kepala wanita itu mendongak. Namun… “Lho?” Sesaat pandangan keduanya bertemu. “Gama?”“Khanza?” Keduanya berseru secara berbarengan. Gama dengan pandangan mata menelisik, sedang Khanza menatap dengan tarikan napas. “Kukira siapa, taunya kamu,” ucapnya merubah raut wajah. Khanza menghela napas, tanpa sepatah kata apapun perempuan itu pergi begitu saja. Gama menaikan alisnya, namun sedetik kemudian ia mengedikkan bahu, ikut pergi dengan menyeret kopernya. Ia tahu yang dirinya tabrak, untuk itu tidak peduli baginya.Gama memilih duduk setelah melakukan check up,melalui maskapai yang telah memberitahukannya kini ia duduk menunggu antrian untuk masuk ke dalam pesawat. Gama menghel
Pagi ini Khalifa bangun lebih awal, melihat sosok suaminya yang tertidur pulas. Ah, mungkin efek cairan infus yang masuk ke dalam tubuhnya, membuat pria itu terjaga dari tidurnya. Merasa pegal dibagian lengannya, Khalifa merenggangkan otot-ototnya. Tidur seranjang dengan Alby jelas membuatnya tak bergerak sana-sini, menjadikan ia merasakan pegal. Khalifa menghela napas, ia menunduk melihat pakaiannya yang kotor nan penuh darah, lupa, bahwa memang ia tak mengganti baju. Ah, jangankan untuk mengganti baju, justru hatinya saat itu resah memikirkan Alby. “Aku harus memberitahukan Bunda. Jika tidak mereka pasti khawatir.” Khalifa menatap terlebih dahulu Alby, mumpung pria itu masih tertidur membuat Khalifa gegas pergi. Selain merasa tak nyaman dengan pakaiannya ia juga tak nyaman dengan keadaan ini. Sungguh, walau ada perasaan lega melihat Alby selamat namun ada sisi lain yang membuatnya resah. Mengenai Khanza … Ia belum berani untuk menghadap padanya dan mengatakan yang sejujurnya. *
Lihatlah, wajah Alby yang dulunya tampan kini banyak dipenuhi luka. Beberapa luka itu diperban, entah bagian kepala, rahang, maupun anggota tubuh lainnya. Tak kuasa melihat keadaannya seperti ini, Khalifa menunduk dengan hati penuh sesal. “Maafin, Alifa Kak… maaf ….” Khalifa terduduk di kursi yang berada di pinggir ranjang tersebut, menggenggam tangan Alby yang begitu kekar. Dulu, tangan inilah yang selalu siap siaga menggenggam tangannya. “Andai aku tidak menurutinya, andai kita kabur saat itu mungkin keadaan kamu enggak bakal separah ini Kak. Bodoh, harusnya aku menolak ajakanmu untuk melawan mereka. Bodoh!” Khalifa merutuk dirinya, menarik tangan Alby untuk ia kecup. “Sekarang aku baru menyadarinya, Kak. Kalau aku … benar-benar takut kehilangan kamu. Aku takut ….” Khalifa tak bisa lagi membendung tangis yang kian jatuh menimpa pipinya, bengkak sudah kedua matanya sebab terus menangis. “Setelah kehilangan Mama dan Papa, aku enggak mau kehilangan kamu, Kak. Boleh aku egois? Aku i
Khalifa menunduk, semakin menangis tertahan dengan tangan yang masi menyentuh kepala Alby. “Kak … tolong … jangan tinggalin aku kayak gini … tolong bangunlah….”“Uhuk!”Sebuah semburat darah tiba-tiba keluar di bibir Alby tatkala pria itu terbatuk. “Kak Al?” Terkejut, Khalifa mendapati Alby membuka matanya dengan ringisan kecil yang keluar. “Khalifa….”Sudah menangis deras kini Khalifa menambah tangisnya tatkala suara lembut itu terdengar. Bergetar hatinya mendengar hal itu. “Kak Al….” Khalifa menangis, memeluk kepala Alby. “maafin aku, Kak. Maaf….”Alby memejamkan matanya menahan rasa sakit, ia menggeleng. “aku kembali untuk kamu, Alif….”Khalifa mengangguk, entah harus bagaiamana tapi ia benar-benar senang tatkala Alby kembali. Terbangun untuk menepati janjinya. Menggenggam erat tangan yang amat dingin itu Khalifa berucap, ““Kita harus ke rumah sakit dulu, Kak. Secepatnya luka kakak harus diatasi,” ucap Khalifa melihat keadaan Alby yang kian parah. “Kakak masih sanggup berdiri?
“Kau akan mati ditanganku!” Bugh! Alby langsung menghindar saat orang itu hendak menendang, belati yang dirinya pegang ia tusukkan ke depan untuk mengenal tubuh Alby, namun dengan gesit, Alby menghindar secara agresif. Memilih melawan dari belakang, Alby bisa menghajarnya dari belakang tersebut. Seseorang itu terjatuh, mukanya makin memerah. Satu diantara mereka berjalan maju, membuat Alby harus melawan dua orang sekaligus. Ah tidak, bahkan satunya lagi ikut-ikutan maju, menambah orang yang harus Alby lawan. Cukup kewalahan sebab mereka memiliki senjata masing-masing, sedang Alby hanya menggunakan tangan kosong sebagai tameng dirinya. Satu kali dua kali ia mendapat pukulan yang tak bisa ia hindari, bahkan goresan belati pula harus terkena sampai kulitnya saking keagresifan mereka. Murka, mereka murka sebab merasa terkalahkan oleh Alby. Alby mengatur napasnya dalam-dalam. Melawan 10 orang sekaligus benar-benar menguras tenaganya. Apalagi tidak diberi jeda untuk berhenti se
Khalifa berlari dan langsung memeluk Alby. Ia menangis dengan tubuh bergetar hebat. “Kak Al, makasih, makasih telah kembali….” Alby menelan salivanya pelan, bergetar hatinya kala melihat keadaan Khalifa seperti ini. “Maaf, maafkan aku baru datang Alif. Maaf telah meninggalkan kamu seorang diri.” Khalifa menggeleng, ia melerai pelukannya, mendongak untuk melihat wajah Alby. “Mereka … mereka ingin melecehkan aku, Kak. Aku--aku takut ….” Alby melihat wajah ketakutan itu, ia pegang tangan Khalifa untuk menenangkan gadisnya. Namun, yang ia lihat justru gurat merah dari pergelangan tangannya. Khalifa menunduk, ia masih terisak. “Mereka pegang tangan aku dengan keras Kak… mereka kasar dan menyeramkan….” Mendengar lirihan itu rahang Alby mengeras, menoleh ke kanan, ia dapati 11 orang itu yang tampak tertawa saja. “Ayo kabur, Kak. Mereka bukan tandingan kita,” ucap Khalifa kembali. Alby menatap Khalifa, memilih kabur? Itu bukan dirinya. “Tidak Alif, mereka harus membayar at
Nyatanya bukan sehabis magrib Khalifa pulang, melainkan sehabis isya baru ia bisa pulang. Jangan tanyakan kenapa, karena saat ini Khalifa ingin sendirian, menjadikan ia habiskan beberapa waktu sendirian di kantor. Dan sekarang waktunya ia pulang beberapa security yang jaga pula sebagian sudah pulang, paling hanya beberapa yang tetap berjaga karena bekerja sesuai shif. Khalifa berjalan terburu-buru menuju mobilnya, lantas melaju membelah jalan tanpa menunggu lama. Takut kemalaman Khalifa makin mempercepat lajunya. Sebuah dering ponsel terdengar namun tak Khalifa gubris untuk mengangkatnya. Memilih abai Khalifa terus melajukan mobilnya di tengah keramaian. Namun, kala ia berbelok ia harus di hadapkan dengan jalan yang cukup sepi. “Huft, semoga tidak terjadi apa-apa.” Khalifa mengucap doa dalam hati. Mau bagaimana pun ia perempuan, dan jelas ia takut jika tiba-tiba ada hal aneh yang melintas. Suara bisingnya motor terdengar dari arah belakang, memusat perhatian Khalifa untuk m
Khalifa menangkup kedua pipi di atas meja, bosan melanda hatinya. Hari ini tugas yang diberikan Aavar dalam mempelajari berbagai perbisnisan cukup menguras pikiran dan tenaga. Ternyata susah sekali untuk memahami berbagai persoalan dalam perbisnisan ini. Jika bukan karena otak yang encer mungkin Khalifa memilih tidur saja di atas kasur. Hari ini jam sudah menunjukan pukul empat sore. Tidak terasa, dari pagi sampai saat ini Khalifa menghabiskan waktu hanya di kantor saja, tentunya dengan Khanza. Namun, saat ini perempuan itu entah pergi ke mana, katanya izin keluar sebentar. “Khalifa, Om pulang lebih dulu ya, istri Om kasihan di rumah sendirian.” Tiba-tiba suara Aavar terdengar setelah pintu terbuka. “Kamu pulang lah, besok bisa dilanjutkan.” Punggung Khalifa berdiri tegap. “Nggak deh, Khalifa mau lembur. Soalnya masih banyak banget yang belum dikerjakan Om.” Aavar menoleh. “lembur?” Ia tertawa. “ya ampun Khalifa, ini kan cuma belajar aja. Gak usah terlalu dibuat serius jug