“Mas, aku tidak tahu siapa perempuan itu. Dia … dia orang gila—”“Dia bukan orang gila, Kinara!” potong Aarav setengah berteriak. Napas pria itu naik turun saat mendengar Kinara menyebut Mamanya dengan nama orang gila. “Dia Mamaku! Mamaku!”Deg. Jantung Kinara terasa berhenti berdetak saat teriakan kedua terdengar begitu menusuk jantungnya. “A--apa? Ma--ma?”“Iya! Yang kau tinggalkan itu Mamaku, Kinar! Mamaku!” Tak bisa membendung rasa sakit yang ia rasa, air mata Aarav pada akhirnya berhasil jatuh menetes. “Mas, aku benar-benar tidak tahu.” Kinara mencoba menyentuh lengan Aarav, namun sang empu dengan kasar menghempaskan tangan Kinara darinya. “Mas kecewa sama kamu Kinar. Mas benar-benar kecewa ….” Setelah mengatakan demikian Aarav berlari menjauh menaiki anak tangga. Sedang Kinara dibuat tercengang atas apa yang terjadi. Perempuan itu berlari untuk menyusul Aarav, namun dengan cepat ditahan oleh Aavar. “Kau tau takdir ini Kinar? Bahwa kalian sebenarnya tidaklah berjodoh!”“Apa
“Aarav, di sini Aarav gak boleh nakal ya? Di sini Aarav harus sama kakek, apa-apa bilang sama Kakek.”“Mama ke rumah sakit lagi? Mama sering ke rumah sakit,” keluh Aarav dengan sendu. Bibirnya menunjukkan cemberut. “Bukan, sekarang Mama mau nyari putrinya Pak Nizam, kamu tau kan kalau dia mewasiatkan untuk Mama jaga keluarga mereka? Atas apa yang dia korbankan tidak menjadikan Mama harus diam saja kan?”“Memangnya Mama mau nyari mereka ke mana?”“Ke mana saja asal ada mereka.” Keila tersenyum mengelus surai rambut Aarav yang sekarang tengah bersandar di pundaknya. Sedang tangan satunya Keila gunakan untuk mengelus rambut Aavar yang tertidur di atas pangkuannya. “Ajak Aarav juga ya? Aarav pengen nyari mereka juga.”“Enggak. Kamu kan baru sembuh, jadi gak boleh banyak gerak dulu,” ucap Keila lagi-lagi membuat Aarav cemberut. “Udah malam, kamu harus tidur.”“Mau sama Mama,” rengek Aarav menahan lengan Keila. Pemuda yang baru menginjak 13 tahun itu menatap sang Mama sendu. “Baiklah. Un
Seperti yang dikatakan Aarav. Bahwa ia akan menemui Kinara di kamar Lusi. Meminta maaf padanya atas apa yang terjadi kemarin. Kejadian itu bukanlah sepenuhnya salah Kinara, membuat Aarav akan meminta maaf padanya. Setulus itu cinta Aarav untuk Kinara. Kesalahan sedikitpun tak terlihat dimata Aarav. Yang ia lihat hanyalah kebahagiaan, ya. Ia ingin merayakan bahagia itu selalu bersama Kinara. Aarav berdiri di depan pintu kamar Lusi, pria itu hendak mengetuk pintu namun ia urungkan. “Lusi pasti masih marah padaku. Apa ia akan mengizinkanku masuk?” gumamnya pelan. Ya, Lusi masih belum memaafkan Aarav, gadis itu masih marah padanya, tidak ingin berbicara padanya atau bahkan melihat wajahnya. Sekarang apa yang harus Aarav lakukan? Ketuk atau menunggu pintu terbuka?Sibuk berkecamuk dengan pikirannya, Aarav pada akhirnya memutuskan untuk mengetuk pintu. “Kinar? Lusi?” panggil Aarav sembari mengetuk pintu. “Kinar?”Tidak ada sahutan apapun, membuat Aarav mengerutkan keningnya. “Lusi?”
“Barang-barang sudah, telur sudah, minyak? Sudah ada juga, sayuran … ada.” Di dalam sebuah troli Kinara menghitung berbagai belanjaan yang ada. Melihat barangkali ada yang ia lupakan atau mungkin tertinggal. “Udah, sepertinya udah lengkap!” ujarnya kemudian berjalan pelan ke arah taksi yang sedari tadi menunggu. Kinara menghela napas terlebih dahulu, mengelus perutnya yang sudah naik 7 bulan.Benar-benar tidak terasa. Waktu berlalu begitu cepat, sampai Kinara pun tak tersadar sudah memasuki 7 bulan masa kehamilannya. Perempuan itu benar-benar menutup diri, jauh dari manapun yang mungkin membuat orang lain mengenalnya. Pasca beberapa bulan yang lalu, ia digemparkan oleh Aarav yang katanya mencari dirinya. Setiap poster bertuliskan namanya di pampang sedemikian banyak, bahkan beberapa polisi tak sedikit mencari keberadaannya, membuat Kinara benar-benar dilanda was-was. Namun, seketat apapun yang suaminya itu lakukan dalam mencari dirinya, Kinara bisa mengatasinya tanpa ada yang men
Kinara membekap mulutnya sendiri, terkejut mendapati Aarav yang … terbaring lemah di atas ranjang. “Mas?!” Kinara dengan cepat menyerobot masuk, tak sadar air matanya jatuh tatkala mata itu menatap jelas wajah suaminya. “Mas Aarav ….” Tak bisa membendung tangis, Kinara dengan sigap memeluk tubuh Aarav yang kurus kering, pria itu amat tirus, bibirnya pucat, dan … matanya memejam. “Mas, kamu kenapa?” Kinara menangis, menggoyangkan Aarav agar membuka matanya. “Mas! Ini aku istri kamu!” teriaknya semakin terisak menangis. Namun lagi, Aarav tidak membuka matanya. “Mas, kamu kenapa ….?” Semakin menangis terisak, Kinara dibuat sesenggukan tatkala mata itu tak kunjung terbuka. “Kami tidak tau apa yang terjadi dengan Aarav.” Ucapan Devan yang terdengar di telinga Kinara membuat perempuan itu menoleh. “Apa maksudmu? Katakan, apa maksudmu?” Kinara menatap Devan dengan sorot mata tajam. Menunggu Devan agar segera mengatakan yang sebenarnya. “Sepertinya dia tidak akan bangun lagi, Kinar. Do
“Kau sudah menemukan Kinara?” tanya Vanzo menatap cucunya yang baru pulang dari pencarian Kinara. Sekarang Vanzo ikut tinggal di kediaman Aarav, melihat keadaan di mana Kinara tidak ada membuat Vanzo ikut mencari. “Belum Kek, entah ke mana Kinar pergi, sampai-sampai kami harus kewalahan dibuatnya.” Aarav merasa frustasi, menjatuhkan bobot tubuhnya di atas kursi sofa. Pria itu memijit pelipis, terasa pusing karena setiap hari waktunya digunakan untuk mencari Kinara. “Kinara tidak akan pergi jauh, kakek yakin itu. Hanya saja mungkin tempat persembunyiannya yang memang sulit untuk dicari, membuat kita harus extra sabar dalam mencarinya.”Aarav menghembuskan napas lelah, mata pria itu tampak sekali bundaran hitam, sangat terlihat bahwa Aarav kurang tidur. Bagaimana mau tidur jika istrinya saja belum ditemukan? Bagaimana hidupnya akan tenang sedang di sisi lain ada kehidupan lain yang dia bawa? Ya, anaknya. Kinara membawa anaknya. “Biar kakek yang cari, kau istirahat saja Aarav.”“Tidak
“Jadi maksud Kakek, karena kecelakaan itu mengakibatkan Mas Aarav kehilangan kesadaraannya? Itu berarti, apa-apa yang dia rasa tidak akan merasakan apapun selain perasaan hampa nak kosong?” tanya Kinara tidak percaya. “Iya, itulah maksud dari perkataan Dokter saat itu. Karena memang, saat Aarav tersadar … dia tak memiliki gairah hidup di dalamnya. Tatapannya kosong, hampa, bahkan tak sekali dua kali dia terdiam saat kakek memanggil namanya.”“Tapi Mas Aarav masih hidup dan sadar kan Kek? Lalu kenapa saat aku mencoba membangunkannya dia tak kunjung bangun Kek. Ada apa dengan Mas Aarav?” Kinara menatap sayu Vanzo, meminta kejelaskan lebih mengenai Aarav. “Itu dikarenakan perasaannya yang mati. Menjadikan hati dan pikiran tidak bisa berjalan beriringan. Tapi kau tenang saja, setelah ini Aarav pasti akan terbangun. Dia sering begitu, karena hidup yang tampak tidak ada rasa membuat tidur Aarav pun tak merasakan apapun. Jadi, sebesar apapun kita mencoba membangunkannya, jika bukan karena d
Rombak ulang dari part 112-114. Yang pernah baca sebelumnya bisa baca ulang ya. Terimakasih. . . . Kinara mengelus perutnya yang sudah memasuki 8 bulan, tak sadar bahwa kemarin baru 7 bulan, sekarang tau-tau sudah 8 bulan saja. “Kamu bakal cepat lahir sayang, tetap bertahan di sana ya? Sehat-sehat,” ujar Kinara tersenyum kecil. Perempuan itu tengah duduk di tepi ranjang, menunggu Aarav yang tadi pergi ke kamar mandi. Menunggu suaminya untuk kembali. Seperti biasa, setiap harinya Aarav tidak pernah berbicara. Pria itu dingin, hanya saja bukan dingin seperti awal melainkan dingin tanpa perasaan apapun. Hatinya masih kosong, membuat Kinara harus berusaha keras untuk mengembalikan perasaannya. Malam ini Kinara memilih untuk tidur bersama, kemarin-kemarin Aarav selalu menatapnya dengan tatapan dingin namun kosong, seolah mengatakan kalau dirinya tidak boleh tidur seranjang. Kala itu Kinara menurut, tidur di tempat lain demi ketenangan Aarav. “Semoga Ayah kalian cepat sembuh dari p
“Assalamu'alaikum…?” Khalifa mengucap salam saat ia masuk ke dalam rumah, ah, bukan hanya Khalifa, Alby juga ada. Keduanya masuk dengan raut muka terlihat capek. “Kak, eum … aku mau mandi dulu ya, seharian kerja bikin aku gerah,” ucap Khalifa pada Alby. Alby tersenyum. “okke, tapi jangan lama-lama ya, udah malam soalnya. Ah iya, pake air hangat biar nggak kedinginan.”Khalifa terkekeh. “Aku bukan kamu yang harus pake air dingin kali, aku kan nggak alergi dingin,” timpal Khalifa menjawab. “Masalahnya kan udah malam, nggak baik buat kesehatan.”“Enggak bakal kak. Udah, lagian aku mandi bakal cepet kok. Dah ya, aku mau mandi dulu!” ucap Khalifa gegas berlari namun dengan cepat Alby menahannya lebih dahulu membuat Khalifa kembali berbalik menatap Alby. “Kalo udah mandi nanti turun ke bawah ya? Aku mau masakin kesukaan kamu. Kita makan bareng,” ucap Alby. Kebetulan sekali keduanya belum makan membuat Khalifa mengangguk antusias. “Cium dulu sini.” Alby menampilkan pipi kanannya. Ia men
Seminggu berlalu…Seorang wanita berjalan dengan menyeret kopernya. Tergesa-gesa sebab terlambat,bahkan saking tergesa-gesanya, wanita itu tanpa sengaja menabrak bahu seseorang membuat wanita itu menyeru minta maaf. “Ya ampun maaf, Mas. Saya enggak sengaja!” ucapnya sedikit menundukkan kepala, detik berikut kepala wanita itu mendongak. Namun… “Lho?” Sesaat pandangan keduanya bertemu. “Gama?”“Khanza?” Keduanya berseru secara berbarengan. Gama dengan pandangan mata menelisik, sedang Khanza menatap dengan tarikan napas. “Kukira siapa, taunya kamu,” ucapnya merubah raut wajah. Khanza menghela napas, tanpa sepatah kata apapun perempuan itu pergi begitu saja. Gama menaikan alisnya, namun sedetik kemudian ia mengedikkan bahu, ikut pergi dengan menyeret kopernya. Ia tahu yang dirinya tabrak, untuk itu tidak peduli baginya.Gama memilih duduk setelah melakukan check up,melalui maskapai yang telah memberitahukannya kini ia duduk menunggu antrian untuk masuk ke dalam pesawat. Gama menghel
Pagi ini Khalifa bangun lebih awal, melihat sosok suaminya yang tertidur pulas. Ah, mungkin efek cairan infus yang masuk ke dalam tubuhnya, membuat pria itu terjaga dari tidurnya. Merasa pegal dibagian lengannya, Khalifa merenggangkan otot-ototnya. Tidur seranjang dengan Alby jelas membuatnya tak bergerak sana-sini, menjadikan ia merasakan pegal. Khalifa menghela napas, ia menunduk melihat pakaiannya yang kotor nan penuh darah, lupa, bahwa memang ia tak mengganti baju. Ah, jangankan untuk mengganti baju, justru hatinya saat itu resah memikirkan Alby. “Aku harus memberitahukan Bunda. Jika tidak mereka pasti khawatir.” Khalifa menatap terlebih dahulu Alby, mumpung pria itu masih tertidur membuat Khalifa gegas pergi. Selain merasa tak nyaman dengan pakaiannya ia juga tak nyaman dengan keadaan ini. Sungguh, walau ada perasaan lega melihat Alby selamat namun ada sisi lain yang membuatnya resah. Mengenai Khanza … Ia belum berani untuk menghadap padanya dan mengatakan yang sejujurnya. *
Lihatlah, wajah Alby yang dulunya tampan kini banyak dipenuhi luka. Beberapa luka itu diperban, entah bagian kepala, rahang, maupun anggota tubuh lainnya. Tak kuasa melihat keadaannya seperti ini, Khalifa menunduk dengan hati penuh sesal. “Maafin, Alifa Kak… maaf ….” Khalifa terduduk di kursi yang berada di pinggir ranjang tersebut, menggenggam tangan Alby yang begitu kekar. Dulu, tangan inilah yang selalu siap siaga menggenggam tangannya. “Andai aku tidak menurutinya, andai kita kabur saat itu mungkin keadaan kamu enggak bakal separah ini Kak. Bodoh, harusnya aku menolak ajakanmu untuk melawan mereka. Bodoh!” Khalifa merutuk dirinya, menarik tangan Alby untuk ia kecup. “Sekarang aku baru menyadarinya, Kak. Kalau aku … benar-benar takut kehilangan kamu. Aku takut ….” Khalifa tak bisa lagi membendung tangis yang kian jatuh menimpa pipinya, bengkak sudah kedua matanya sebab terus menangis. “Setelah kehilangan Mama dan Papa, aku enggak mau kehilangan kamu, Kak. Boleh aku egois? Aku i
Khalifa menunduk, semakin menangis tertahan dengan tangan yang masi menyentuh kepala Alby. “Kak … tolong … jangan tinggalin aku kayak gini … tolong bangunlah….”“Uhuk!”Sebuah semburat darah tiba-tiba keluar di bibir Alby tatkala pria itu terbatuk. “Kak Al?” Terkejut, Khalifa mendapati Alby membuka matanya dengan ringisan kecil yang keluar. “Khalifa….”Sudah menangis deras kini Khalifa menambah tangisnya tatkala suara lembut itu terdengar. Bergetar hatinya mendengar hal itu. “Kak Al….” Khalifa menangis, memeluk kepala Alby. “maafin aku, Kak. Maaf….”Alby memejamkan matanya menahan rasa sakit, ia menggeleng. “aku kembali untuk kamu, Alif….”Khalifa mengangguk, entah harus bagaiamana tapi ia benar-benar senang tatkala Alby kembali. Terbangun untuk menepati janjinya. Menggenggam erat tangan yang amat dingin itu Khalifa berucap, ““Kita harus ke rumah sakit dulu, Kak. Secepatnya luka kakak harus diatasi,” ucap Khalifa melihat keadaan Alby yang kian parah. “Kakak masih sanggup berdiri?
“Kau akan mati ditanganku!” Bugh! Alby langsung menghindar saat orang itu hendak menendang, belati yang dirinya pegang ia tusukkan ke depan untuk mengenal tubuh Alby, namun dengan gesit, Alby menghindar secara agresif. Memilih melawan dari belakang, Alby bisa menghajarnya dari belakang tersebut. Seseorang itu terjatuh, mukanya makin memerah. Satu diantara mereka berjalan maju, membuat Alby harus melawan dua orang sekaligus. Ah tidak, bahkan satunya lagi ikut-ikutan maju, menambah orang yang harus Alby lawan. Cukup kewalahan sebab mereka memiliki senjata masing-masing, sedang Alby hanya menggunakan tangan kosong sebagai tameng dirinya. Satu kali dua kali ia mendapat pukulan yang tak bisa ia hindari, bahkan goresan belati pula harus terkena sampai kulitnya saking keagresifan mereka. Murka, mereka murka sebab merasa terkalahkan oleh Alby. Alby mengatur napasnya dalam-dalam. Melawan 10 orang sekaligus benar-benar menguras tenaganya. Apalagi tidak diberi jeda untuk berhenti se
Khalifa berlari dan langsung memeluk Alby. Ia menangis dengan tubuh bergetar hebat. “Kak Al, makasih, makasih telah kembali….” Alby menelan salivanya pelan, bergetar hatinya kala melihat keadaan Khalifa seperti ini. “Maaf, maafkan aku baru datang Alif. Maaf telah meninggalkan kamu seorang diri.” Khalifa menggeleng, ia melerai pelukannya, mendongak untuk melihat wajah Alby. “Mereka … mereka ingin melecehkan aku, Kak. Aku--aku takut ….” Alby melihat wajah ketakutan itu, ia pegang tangan Khalifa untuk menenangkan gadisnya. Namun, yang ia lihat justru gurat merah dari pergelangan tangannya. Khalifa menunduk, ia masih terisak. “Mereka pegang tangan aku dengan keras Kak… mereka kasar dan menyeramkan….” Mendengar lirihan itu rahang Alby mengeras, menoleh ke kanan, ia dapati 11 orang itu yang tampak tertawa saja. “Ayo kabur, Kak. Mereka bukan tandingan kita,” ucap Khalifa kembali. Alby menatap Khalifa, memilih kabur? Itu bukan dirinya. “Tidak Alif, mereka harus membayar at
Nyatanya bukan sehabis magrib Khalifa pulang, melainkan sehabis isya baru ia bisa pulang. Jangan tanyakan kenapa, karena saat ini Khalifa ingin sendirian, menjadikan ia habiskan beberapa waktu sendirian di kantor. Dan sekarang waktunya ia pulang beberapa security yang jaga pula sebagian sudah pulang, paling hanya beberapa yang tetap berjaga karena bekerja sesuai shif. Khalifa berjalan terburu-buru menuju mobilnya, lantas melaju membelah jalan tanpa menunggu lama. Takut kemalaman Khalifa makin mempercepat lajunya. Sebuah dering ponsel terdengar namun tak Khalifa gubris untuk mengangkatnya. Memilih abai Khalifa terus melajukan mobilnya di tengah keramaian. Namun, kala ia berbelok ia harus di hadapkan dengan jalan yang cukup sepi. “Huft, semoga tidak terjadi apa-apa.” Khalifa mengucap doa dalam hati. Mau bagaimana pun ia perempuan, dan jelas ia takut jika tiba-tiba ada hal aneh yang melintas. Suara bisingnya motor terdengar dari arah belakang, memusat perhatian Khalifa untuk m
Khalifa menangkup kedua pipi di atas meja, bosan melanda hatinya. Hari ini tugas yang diberikan Aavar dalam mempelajari berbagai perbisnisan cukup menguras pikiran dan tenaga. Ternyata susah sekali untuk memahami berbagai persoalan dalam perbisnisan ini. Jika bukan karena otak yang encer mungkin Khalifa memilih tidur saja di atas kasur. Hari ini jam sudah menunjukan pukul empat sore. Tidak terasa, dari pagi sampai saat ini Khalifa menghabiskan waktu hanya di kantor saja, tentunya dengan Khanza. Namun, saat ini perempuan itu entah pergi ke mana, katanya izin keluar sebentar. “Khalifa, Om pulang lebih dulu ya, istri Om kasihan di rumah sendirian.” Tiba-tiba suara Aavar terdengar setelah pintu terbuka. “Kamu pulang lah, besok bisa dilanjutkan.” Punggung Khalifa berdiri tegap. “Nggak deh, Khalifa mau lembur. Soalnya masih banyak banget yang belum dikerjakan Om.” Aavar menoleh. “lembur?” Ia tertawa. “ya ampun Khalifa, ini kan cuma belajar aja. Gak usah terlalu dibuat serius jug