Seperti yang dikatakan Aarav. Bahwa ia akan menemui Kinara di kamar Lusi. Meminta maaf padanya atas apa yang terjadi kemarin. Kejadian itu bukanlah sepenuhnya salah Kinara, membuat Aarav akan meminta maaf padanya. Setulus itu cinta Aarav untuk Kinara. Kesalahan sedikitpun tak terlihat dimata Aarav. Yang ia lihat hanyalah kebahagiaan, ya. Ia ingin merayakan bahagia itu selalu bersama Kinara. Aarav berdiri di depan pintu kamar Lusi, pria itu hendak mengetuk pintu namun ia urungkan. “Lusi pasti masih marah padaku. Apa ia akan mengizinkanku masuk?” gumamnya pelan. Ya, Lusi masih belum memaafkan Aarav, gadis itu masih marah padanya, tidak ingin berbicara padanya atau bahkan melihat wajahnya. Sekarang apa yang harus Aarav lakukan? Ketuk atau menunggu pintu terbuka?Sibuk berkecamuk dengan pikirannya, Aarav pada akhirnya memutuskan untuk mengetuk pintu. “Kinar? Lusi?” panggil Aarav sembari mengetuk pintu. “Kinar?”Tidak ada sahutan apapun, membuat Aarav mengerutkan keningnya. “Lusi?”
“Barang-barang sudah, telur sudah, minyak? Sudah ada juga, sayuran … ada.” Di dalam sebuah troli Kinara menghitung berbagai belanjaan yang ada. Melihat barangkali ada yang ia lupakan atau mungkin tertinggal. “Udah, sepertinya udah lengkap!” ujarnya kemudian berjalan pelan ke arah taksi yang sedari tadi menunggu. Kinara menghela napas terlebih dahulu, mengelus perutnya yang sudah naik 7 bulan.Benar-benar tidak terasa. Waktu berlalu begitu cepat, sampai Kinara pun tak tersadar sudah memasuki 7 bulan masa kehamilannya. Perempuan itu benar-benar menutup diri, jauh dari manapun yang mungkin membuat orang lain mengenalnya. Pasca beberapa bulan yang lalu, ia digemparkan oleh Aarav yang katanya mencari dirinya. Setiap poster bertuliskan namanya di pampang sedemikian banyak, bahkan beberapa polisi tak sedikit mencari keberadaannya, membuat Kinara benar-benar dilanda was-was. Namun, seketat apapun yang suaminya itu lakukan dalam mencari dirinya, Kinara bisa mengatasinya tanpa ada yang men
Kinara membekap mulutnya sendiri, terkejut mendapati Aarav yang … terbaring lemah di atas ranjang. “Mas?!” Kinara dengan cepat menyerobot masuk, tak sadar air matanya jatuh tatkala mata itu menatap jelas wajah suaminya. “Mas Aarav ….” Tak bisa membendung tangis, Kinara dengan sigap memeluk tubuh Aarav yang kurus kering, pria itu amat tirus, bibirnya pucat, dan … matanya memejam. “Mas, kamu kenapa?” Kinara menangis, menggoyangkan Aarav agar membuka matanya. “Mas! Ini aku istri kamu!” teriaknya semakin terisak menangis. Namun lagi, Aarav tidak membuka matanya. “Mas, kamu kenapa ….?” Semakin menangis terisak, Kinara dibuat sesenggukan tatkala mata itu tak kunjung terbuka. “Kami tidak tau apa yang terjadi dengan Aarav.” Ucapan Devan yang terdengar di telinga Kinara membuat perempuan itu menoleh. “Apa maksudmu? Katakan, apa maksudmu?” Kinara menatap Devan dengan sorot mata tajam. Menunggu Devan agar segera mengatakan yang sebenarnya. “Sepertinya dia tidak akan bangun lagi, Kinar. Do
“Kau sudah menemukan Kinara?” tanya Vanzo menatap cucunya yang baru pulang dari pencarian Kinara. Sekarang Vanzo ikut tinggal di kediaman Aarav, melihat keadaan di mana Kinara tidak ada membuat Vanzo ikut mencari. “Belum Kek, entah ke mana Kinar pergi, sampai-sampai kami harus kewalahan dibuatnya.” Aarav merasa frustasi, menjatuhkan bobot tubuhnya di atas kursi sofa. Pria itu memijit pelipis, terasa pusing karena setiap hari waktunya digunakan untuk mencari Kinara. “Kinara tidak akan pergi jauh, kakek yakin itu. Hanya saja mungkin tempat persembunyiannya yang memang sulit untuk dicari, membuat kita harus extra sabar dalam mencarinya.”Aarav menghembuskan napas lelah, mata pria itu tampak sekali bundaran hitam, sangat terlihat bahwa Aarav kurang tidur. Bagaimana mau tidur jika istrinya saja belum ditemukan? Bagaimana hidupnya akan tenang sedang di sisi lain ada kehidupan lain yang dia bawa? Ya, anaknya. Kinara membawa anaknya. “Biar kakek yang cari, kau istirahat saja Aarav.”“Tidak
“Jadi maksud Kakek, karena kecelakaan itu mengakibatkan Mas Aarav kehilangan kesadaraannya? Itu berarti, apa-apa yang dia rasa tidak akan merasakan apapun selain perasaan hampa nak kosong?” tanya Kinara tidak percaya. “Iya, itulah maksud dari perkataan Dokter saat itu. Karena memang, saat Aarav tersadar … dia tak memiliki gairah hidup di dalamnya. Tatapannya kosong, hampa, bahkan tak sekali dua kali dia terdiam saat kakek memanggil namanya.”“Tapi Mas Aarav masih hidup dan sadar kan Kek? Lalu kenapa saat aku mencoba membangunkannya dia tak kunjung bangun Kek. Ada apa dengan Mas Aarav?” Kinara menatap sayu Vanzo, meminta kejelaskan lebih mengenai Aarav. “Itu dikarenakan perasaannya yang mati. Menjadikan hati dan pikiran tidak bisa berjalan beriringan. Tapi kau tenang saja, setelah ini Aarav pasti akan terbangun. Dia sering begitu, karena hidup yang tampak tidak ada rasa membuat tidur Aarav pun tak merasakan apapun. Jadi, sebesar apapun kita mencoba membangunkannya, jika bukan karena d
Rombak ulang dari part 112-114. Yang pernah baca sebelumnya bisa baca ulang ya. Terimakasih. . . . Kinara mengelus perutnya yang sudah memasuki 8 bulan, tak sadar bahwa kemarin baru 7 bulan, sekarang tau-tau sudah 8 bulan saja. “Kamu bakal cepat lahir sayang, tetap bertahan di sana ya? Sehat-sehat,” ujar Kinara tersenyum kecil. Perempuan itu tengah duduk di tepi ranjang, menunggu Aarav yang tadi pergi ke kamar mandi. Menunggu suaminya untuk kembali. Seperti biasa, setiap harinya Aarav tidak pernah berbicara. Pria itu dingin, hanya saja bukan dingin seperti awal melainkan dingin tanpa perasaan apapun. Hatinya masih kosong, membuat Kinara harus berusaha keras untuk mengembalikan perasaannya. Malam ini Kinara memilih untuk tidur bersama, kemarin-kemarin Aarav selalu menatapnya dengan tatapan dingin namun kosong, seolah mengatakan kalau dirinya tidak boleh tidur seranjang. Kala itu Kinara menurut, tidur di tempat lain demi ketenangan Aarav. “Semoga Ayah kalian cepat sembuh dari p
Suara kicauan burung di pagi hari menjadi pemicu seseorang mengerjapkan mata. Dia, Aarav. Mengerjakan matanya tatkala kicauan burung itu semakin nyaring masuk ke dalam telinga. Perlahan, mata itu terbuka lebar. Terdiam dengan tatapan kosong, manik hitamnya menatap lurus atap-atap. Ia terdiam, tampak sekali hampa yang dirinya rasakan. “Anak kita bakal perempuan, Mas.”Suara yang amat familiar membuat Aarav menoleh ke kanan, di mana ia menemukan seorang wanita yang … entahlah. Tidak ada gairah sedikitpun dalam menatapnya. Aarav terdiam kembali. Yng sering dirinya lakukan tak lebih berkedip mata, bernapas dan terdiam. Aarav kembali menatap atap-atap, masih sama. Terasa kosong dan hampa. Sampai saat tak sengaja tangan Kinara tersimpan di bawah perutnya … jantung Aarav terasa berhenti berdetak. Pria itu menelan salivanya pelan saat melihat tangan Kinara tersimpan di sana. Gelenyar aneh terasa di dalam dirinya, namun tidak tahu apa itu. Aarav menolehkan kembali pandangan mata dalam me
“Bagaimana dengan kondisi suami saya sekarang, Dok?” tanya Kinara pada Dokter yang barusan memeriksa Aarav. Hari ini adalah hari pemeriksaan untuk Aarav, membuat Kinara mengajaknya untuk diperiksa. Ditambah Vanzo yang tidak bisa datang menjadikan pemeriksaan itu dilakukan oleh dirinya saja. “Ada sedikit perubahan pada Aarav. Sedikitnya dia sudah mulai berbicara dengan orang lain. Walau terlihat masih kebingungan tapi perubahan itu cukup bagus untuk otaknya yang berfungsi kembali.” “Apalagi yang harus aku lakukan demi meningkatkan fungsi otaknya agar terus berjalan Dok? Aku ingin Mas Aarav benar-benar sembuh dari penyakit ini,” ucap Kinara sayu. Perempuan itu menatap Aarav yang tengah duduk di kursi sofa, sendirian. Pria itu hanya terdiam, tampak kebingungan yang diperlihatkan oleh Aarav. “Kau hanya perlu mengajaknya untuk beradaptasi dengan orang-orang terdekatnya. Mengenalkan kembali lingkungannya agar bisa memahami sekitar. Jangan jauh-jauh,cukup dekatkan saja dia dengan orang-o