“Bagaimana dengan kondisi suami saya sekarang, Dok?” tanya Kinara pada Dokter yang barusan memeriksa Aarav. Hari ini adalah hari pemeriksaan untuk Aarav, membuat Kinara mengajaknya untuk diperiksa. Ditambah Vanzo yang tidak bisa datang menjadikan pemeriksaan itu dilakukan oleh dirinya saja. “Ada sedikit perubahan pada Aarav. Sedikitnya dia sudah mulai berbicara dengan orang lain. Walau terlihat masih kebingungan tapi perubahan itu cukup bagus untuk otaknya yang berfungsi kembali.” “Apalagi yang harus aku lakukan demi meningkatkan fungsi otaknya agar terus berjalan Dok? Aku ingin Mas Aarav benar-benar sembuh dari penyakit ini,” ucap Kinara sayu. Perempuan itu menatap Aarav yang tengah duduk di kursi sofa, sendirian. Pria itu hanya terdiam, tampak kebingungan yang diperlihatkan oleh Aarav. “Kau hanya perlu mengajaknya untuk beradaptasi dengan orang-orang terdekatnya. Mengenalkan kembali lingkungannya agar bisa memahami sekitar. Jangan jauh-jauh,cukup dekatkan saja dia dengan orang-o
“Di mana—”“Pergi?!” Aarav, pria itu ternyata sudah berdiri di depan Kinara sembari membawa kayu balok. Pria itu tampak ketakutan namun juga terlihat berani. “Pergi?!” Aarav kembali berteriak, sesekali dia melihat Kinara yang kesakitan. Seakan perasaan untuk menjaga hadir, Aarav berdiri untuk melindungi Kinara. “Hah, menyusahkan!” ucap pria berwajah bengis itu. “lawan dia?!” perintahnya kemudian diangguki oleh dua orang. Dua orang berbadan kekar maju menuju Aarav, dengan sigap Aarav menghuyungkan kayu balok tersebut pada mereka, namun sayang, kekuatan Aarav yang tidak stabil membuat dua orang berbadan kekar itu tertawa keras. “Laki-laki pengecut!” desis mereka lantas menarik paksa kayu balok yang dipegang oleh Aarav. Bugh! “Mas Aarav?!” Kinara menjerit histeris tatkala satu pukulan didapat Aarav. Pria itu terjatuh. “Mas Aarav?!” Kinara menangis histeris saat seseorang menendang tubuhnya yang sudah tergeletak. “Hentikan, tolong hentikan! Lepaskan suamiku?!” Kinara menjerit hist
“Shh … sakit, perutku sakit.”“Cepat bawa ke ruang darurat!” perintah Dokter pada para perawat yang mendorong brankar. Di belakang juga Aarav berada di atas brankar, didorong menuju ruang darurat lain. Keduanya harus terpisah ruangan kala Kinara sudah dibawa ke arah lain. Ruang di mana Kinara berada berwarna lampu merah, tak jauh beda dengan Aarav yang sudah dimasukan ke ruang darurat pula. Ruangan itu berlampu merah, bertandakan bahwa keadaan mereka tidak baik-baik saja. Di belakang Anwar bingung untuk memilih antara siapa yang harus ia lihat keadaan, pasalnya Kinara dibelokkan ke arah kanan, sedang Aarav dibelokkan ke arah kiri, membuatnya bingung untuk ikut ke siapa. Karena panik yang Anwar rasakan pada akhirnya Anwar memilih menelpon kepada Vanzo, memberitahukan akan keadaan keduanya yang tidak baik-baik saja, termasuk dirinya sendiri yang tadi terkena serangan brutal. Telepon awal Vanzo tidak mengangkatnya, namun saat telepon kedua pria paruh baya itu mengangkatnya. Tak perl
“Mas Aarav---Mas Aaa—” Ucapan Kinara tercekat tatkala di depannya terlihat … Aarav? Bola mata Kinara melebar, tangis yang terkumpul di pelupuk mata berhasil jatuh membasahi pipinya. Ia tersenyum, namun pula menangis. “Mas Aarav … ?” Mendengar lirihan Kinara, Vanzo ikut menjatuhkan tatapannya ke depan. Seketika matanya melebar sempurna. Ya, tepat di hadapan koridor setelah belokan, Aarav, pria itu berdiri didampingi oleh Aavar dan Devan. Mata Aarav berkaca-kaca di kejauhan sana, menatap Kinara dengan tatapan … rindu? “Kinar ….?”Suara yang amat dirindukan Kinara berhasil membuat perempuan itu melebarkan pupil matanya. Sampai tepat saat Aarav kembali memanggil namanya, Kinara dengan gegas melepas pegangan tangan Vanzo yang menahannya. Perempuan itu kian menangis, berjalan menuju Aarav yang juga tengah berjalan menuju ke arahnya. Ya, di sisi Aarav pria itu juga melepas pegangan tangan Aavar yang menahan tubuhnya. Gegas pria itu berjalan menuju Kinara. “Mas Aarav ….” Antara tangis da
-SEASON 2-Sekuel ini akan berfokus ke anak-anaknya Kinara Aarav. Semoga sukkkaaa … . . . .. . “Sayang … sayangnya Papa, umm ….” Aarav mencium penuh wajah putrinya. Menggendong sampai mengajaknya bermain. “Haha, geli ….” Anak perempuan yang kini Aarav ajak main tertawa geli. Tertawa lepas menampilkan sederet gigi yang belum tumbuh. “Anak Papa siapa namanya, hm?”“Khanza!” Anak perempuan itu menjawab cepat. Umurnya sekarang sudah memasuki 5 tahun, menjadikan dia mengerti bahasa manusia. “Khanza apa sayang?”“Khanza Amara Andszar!”Aarav tertawa lepas melihat tingkah putrinya yang amat menggemaskan, membuat ia tak tahan untuk tidak mencium wajahnya. Wajah Khanza lebih mirip ke Kinara, sangat mirip malah. Dilihat dari bibir dan mata, putrinya itu sangat mirip dengan Kinara. “Eh, Khalifa mana?” tanya Aarav baru sadar akan putri satunya. Sebenarnya ia baru pulang kerja. Dan setiap hari Aarav selalu menyempatkan diri untuk bermain dengan putrinya itu. Seberapa sibuknya ia akan
“Haha, gendut, gendut, gendut! Lihat perutnya, besar,” ejekan dari anak berusia 6 tahun membuat anak gadis itu menangis. “Khalifa gendut! Khalifa gendut! Hahaha.” Tawaan dari anak-anak lain membuat Khalifa semakin menunduk. Menangis terisak. Di tengah kepalanya yang menunduk, Khalifa merasakan basah diarea kepala sampai punggungnya. Khalifa terkejut, mata gadis itu melebar saat cairan itu membasahi baju belakangnya. “Iuuwww bau!” Suara tawa menggelegar bersamaan ejekan yang kian menggema, saling menyahut dan menghina. Tak tahan akan dirinya yang dibully Khalifa memilih untuk berlari menjauh dari mereka. “Huuhhh, pengecutt. Huuhhh, penakut!” seru mereka saat melihat Khalifa berlari menjauh dari kerumunan. Mereka tertawa terbahak-bahak. Anak-anak yang berusia 6 tahun itu saling adu jotos, merasa senang karena berhasil mengerjai Khalifa. Di sisi lain seseorang menyenggol lengan anak gadis lain dan berkata. “Dia kembaran kamu, kan? Gak kamu bantu?” tanyanya. “Aku bantu pun nanti
“Di mana Khalifa?” Pertanyaan Kinara mengundang tatapan untuk Khanza. “Tidak tau, Mam. Kami kan tidak bareng,” jawabnya malas menjawa. “Ck, kamu ini gimana sih Za? Saudara kamu kok di tinggal. Terus, tadi kamu pulang sama siapa?” “Sama Pak Anwar.”“Pak Anwarnya ke mana?” tanya Kinara lagi. Khanza menarik napas terlebih dahulu lalu menjawab, “mungkin Pak Anwar balik lagi buat jemput Khalifa Mama. Lagipula Mama kenapa sih? Segitu khawatirnya sama Khalifa?” Khanza mulai bosan akan Kinara yang selalu menanyakan perihal Khalifa. Entah berangkat sekolah, pulang sekolah, atau pada hal-hal lainnya. Jujur, Khanza sudah bosan untuk mendengarnya selalu. “Bukan gitu sayang, Mama kan khawatir sama anak-anak Mama. Kalian kan biasanya suka bersama-sama, sekarang pas beda? Kan jadi kekhawatiran untuk Mama,” ucap Kinara dengan tatapan lembut. Bagi Kinara menjaga dua anak perempuan jelas sudah menjadi tanggung jawabnya. Menjadi seorang Ibu pula harus selalu stand by melihat keadaan anak-anaknya,
17 Tahun Kemudian… “Besok kita akan melangsungkan pernikahan.” Ucapan seseorang di sebrang sana mengukir senyum lebar di bibir. “Tidak sabar rasanya menjadikan kamu istri aku, Za.” Untuk kedua kalinya, bibir perempuan itu tersenyum lebar mendengar penuturan tersebut. “Aku deg-deg an, Kak. Aku … aku takut melakukan kesalahan,” cicitnya sembari meremas ujung roknya. Tangannya memainkan ujung jilbab, sedang raut wajahnya kentara penuh cemas. “Bismillah ya, Insya Allah, Allah bakal mudahkan,” ucap di sebrang sana. Perempuan bernama lengkap Khanza Amara Andszar itu mengangguk pelan. “Kak Alby jangan banyak pikiran, nanti drop lagi,” celetuknya terkekeh kecil. Di sebrang sana laki-laki tersebut ikut terkekeh. “Insya Allah tidak akan. Justru semangat yang sekarang aku rasakan.”Khanza tertawa kembali. “ya sudah, obrolannya sampai di sini ya? Nanti kalau udah halal ….” Khanza menggantung ucapannya. “kalo dah halal bebas melakukan apapun.” Tut! Khanza mematikan secara langsung telepon te