“Mas Aarav---Mas Aaa—” Ucapan Kinara tercekat tatkala di depannya terlihat … Aarav? Bola mata Kinara melebar, tangis yang terkumpul di pelupuk mata berhasil jatuh membasahi pipinya. Ia tersenyum, namun pula menangis. “Mas Aarav … ?” Mendengar lirihan Kinara, Vanzo ikut menjatuhkan tatapannya ke depan. Seketika matanya melebar sempurna. Ya, tepat di hadapan koridor setelah belokan, Aarav, pria itu berdiri didampingi oleh Aavar dan Devan. Mata Aarav berkaca-kaca di kejauhan sana, menatap Kinara dengan tatapan … rindu? “Kinar ….?”Suara yang amat dirindukan Kinara berhasil membuat perempuan itu melebarkan pupil matanya. Sampai tepat saat Aarav kembali memanggil namanya, Kinara dengan gegas melepas pegangan tangan Vanzo yang menahannya. Perempuan itu kian menangis, berjalan menuju Aarav yang juga tengah berjalan menuju ke arahnya. Ya, di sisi Aarav pria itu juga melepas pegangan tangan Aavar yang menahan tubuhnya. Gegas pria itu berjalan menuju Kinara. “Mas Aarav ….” Antara tangis da
-SEASON 2-Sekuel ini akan berfokus ke anak-anaknya Kinara Aarav. Semoga sukkkaaa … . . . .. . “Sayang … sayangnya Papa, umm ….” Aarav mencium penuh wajah putrinya. Menggendong sampai mengajaknya bermain. “Haha, geli ….” Anak perempuan yang kini Aarav ajak main tertawa geli. Tertawa lepas menampilkan sederet gigi yang belum tumbuh. “Anak Papa siapa namanya, hm?”“Khanza!” Anak perempuan itu menjawab cepat. Umurnya sekarang sudah memasuki 5 tahun, menjadikan dia mengerti bahasa manusia. “Khanza apa sayang?”“Khanza Amara Andszar!”Aarav tertawa lepas melihat tingkah putrinya yang amat menggemaskan, membuat ia tak tahan untuk tidak mencium wajahnya. Wajah Khanza lebih mirip ke Kinara, sangat mirip malah. Dilihat dari bibir dan mata, putrinya itu sangat mirip dengan Kinara. “Eh, Khalifa mana?” tanya Aarav baru sadar akan putri satunya. Sebenarnya ia baru pulang kerja. Dan setiap hari Aarav selalu menyempatkan diri untuk bermain dengan putrinya itu. Seberapa sibuknya ia akan
“Haha, gendut, gendut, gendut! Lihat perutnya, besar,” ejekan dari anak berusia 6 tahun membuat anak gadis itu menangis. “Khalifa gendut! Khalifa gendut! Hahaha.” Tawaan dari anak-anak lain membuat Khalifa semakin menunduk. Menangis terisak. Di tengah kepalanya yang menunduk, Khalifa merasakan basah diarea kepala sampai punggungnya. Khalifa terkejut, mata gadis itu melebar saat cairan itu membasahi baju belakangnya. “Iuuwww bau!” Suara tawa menggelegar bersamaan ejekan yang kian menggema, saling menyahut dan menghina. Tak tahan akan dirinya yang dibully Khalifa memilih untuk berlari menjauh dari mereka. “Huuhhh, pengecutt. Huuhhh, penakut!” seru mereka saat melihat Khalifa berlari menjauh dari kerumunan. Mereka tertawa terbahak-bahak. Anak-anak yang berusia 6 tahun itu saling adu jotos, merasa senang karena berhasil mengerjai Khalifa. Di sisi lain seseorang menyenggol lengan anak gadis lain dan berkata. “Dia kembaran kamu, kan? Gak kamu bantu?” tanyanya. “Aku bantu pun nanti
“Di mana Khalifa?” Pertanyaan Kinara mengundang tatapan untuk Khanza. “Tidak tau, Mam. Kami kan tidak bareng,” jawabnya malas menjawa. “Ck, kamu ini gimana sih Za? Saudara kamu kok di tinggal. Terus, tadi kamu pulang sama siapa?” “Sama Pak Anwar.”“Pak Anwarnya ke mana?” tanya Kinara lagi. Khanza menarik napas terlebih dahulu lalu menjawab, “mungkin Pak Anwar balik lagi buat jemput Khalifa Mama. Lagipula Mama kenapa sih? Segitu khawatirnya sama Khalifa?” Khanza mulai bosan akan Kinara yang selalu menanyakan perihal Khalifa. Entah berangkat sekolah, pulang sekolah, atau pada hal-hal lainnya. Jujur, Khanza sudah bosan untuk mendengarnya selalu. “Bukan gitu sayang, Mama kan khawatir sama anak-anak Mama. Kalian kan biasanya suka bersama-sama, sekarang pas beda? Kan jadi kekhawatiran untuk Mama,” ucap Kinara dengan tatapan lembut. Bagi Kinara menjaga dua anak perempuan jelas sudah menjadi tanggung jawabnya. Menjadi seorang Ibu pula harus selalu stand by melihat keadaan anak-anaknya,
17 Tahun Kemudian… “Besok kita akan melangsungkan pernikahan.” Ucapan seseorang di sebrang sana mengukir senyum lebar di bibir. “Tidak sabar rasanya menjadikan kamu istri aku, Za.” Untuk kedua kalinya, bibir perempuan itu tersenyum lebar mendengar penuturan tersebut. “Aku deg-deg an, Kak. Aku … aku takut melakukan kesalahan,” cicitnya sembari meremas ujung roknya. Tangannya memainkan ujung jilbab, sedang raut wajahnya kentara penuh cemas. “Bismillah ya, Insya Allah, Allah bakal mudahkan,” ucap di sebrang sana. Perempuan bernama lengkap Khanza Amara Andszar itu mengangguk pelan. “Kak Alby jangan banyak pikiran, nanti drop lagi,” celetuknya terkekeh kecil. Di sebrang sana laki-laki tersebut ikut terkekeh. “Insya Allah tidak akan. Justru semangat yang sekarang aku rasakan.”Khanza tertawa kembali. “ya sudah, obrolannya sampai di sini ya? Nanti kalau udah halal ….” Khanza menggantung ucapannya. “kalo dah halal bebas melakukan apapun.” Tut! Khanza mematikan secara langsung telepon te
Albyshaka Ghibran Arseno. Menatap pantulan dirinya dibalik kaca cermin besar. Tersenyum cerah secerah pagi ini. Sebuah jas putih sudah melekat sempurna dibadannya, dibaluti sarung yang hanya sebatas setengah dengan perpaduan celana senada. Tak lupa, sebuah kopea yang melekat di kepala menambah kesan kesempurnaan untuk dirinya. “Khanza Amara, setelah ini kamu akan menjadi istriku,” ucapnya lirih. Kedua pipinya menampilkan lesung pipi, melengkung indah dengan lesungan yang tercipta. Alby menatap liontin dengan warna biru muda di dalamnya. Sebuah liontin di mana ia merasakan jatuh cinta. Ya, karena liontin inilah yang membuatnya merasakan jatuh cinta. Teringat atas dirinya yang tenggelam di danau, dan pemilik liontin inilah yang telah menolongnya. “Kak Alby?! Kata Bunda kakak udah siap belum? Kalau sudah cepat turun!” Sebuah teriakan dari luar kamar membuat Alby menoleh. Ah, suara adiknya—Nazeeva.“Iya Dek, kakak ke bawah sekarang!” teriaknya mulai senyum-senyum sendiri. Sedang di tem
“Khalif? Dengerin penjelasan Papa kamu dulu ya sayang?” Kinara dengan cepat menarik lengan Khalifa. Ikut bergabung diantara perkumpulan yang ada. “Ma, Khalif gak mau—”“Mau ya Nak, demi menjaga baik nama keluarga kita.” Bukan Kinara, melainkan Laila yang memotong ucapan Khalifa. “Aku gak masalah kalo Alby nikah sama kamu, kalian berdua sama, aku merestuinya.”“Laila?”“Mas! Setidaknya hal ini menutup malu keluarga kita. Daripada pernikahan dibatalkan? Lebih baik kita nikahkan mereka.” Laila menjawab cepat saat Bara ingin menyangkal. “Tapi aku gak mau, Tante. Aku —aku belum siap.” Khalifa meremas ujung kebayanya. Gugup sekaligus takut ia rasakan saat ini. “Begini saja, Khalif? Papa boleh minta tolong sama kamu? Papa cuma minta satu bulan untuk menggantikan posisi Khanza. Hanya satu bulan Khalif? Jika nanti Papa menemukan Khanza, kau bisa berpisah dengan Alby. Bagaimana?” Ungkapan Aarav membuat semua orang yang ada terdiam. Hening menyelimuti yang ada. Bara hanya bisa menghembuskan
Di atas pelaminan yang dihadiri banyak orang, Khalifa menunduk, benar-benar menunduk, tak berani menatap sekeliling apalagi menatap Alby. Keringat dingin mulai bercucuran di pelipisnya, apalagi tangannya yang basah karena keringat. “Ayo, cium punggung tangan suami,” ucap penghulu kembali mengintrupsi. Dengan resah Khalifa menatap Alby, lantas tangan kanannya terangkat untuk menyambut tangan Alby untuk ia cium. Namun tiba-tiba.. Mata Khalifa membelalak sempurna tatkala Alby menarik pinggangnya hingga jarak diantara keduanya tak tersisa. Jantungnya seakan berhenti berdetak saat Alby mendekatkan wajahnya pada wajah Khalifa. “Ini kan yang kamu inginkan, sayang?” ucap Alby tersenyum smirik. Hembusan napas Alby menelusur halus pada pipi Khalifa, sedang sang empu menahan napas karena rasa tegang yang ia rasakan. “A--aku—”Cup! Khalifa melebarkan pupil matanya tatkala sebuah kecupan ia rasakan di kening, sampai didetik berikutnya Khalifa mendorong paksa Alby agar berjauh dengannya. “Ow
“Assalamu'alaikum…?” Khalifa mengucap salam saat ia masuk ke dalam rumah, ah, bukan hanya Khalifa, Alby juga ada. Keduanya masuk dengan raut muka terlihat capek. “Kak, eum … aku mau mandi dulu ya, seharian kerja bikin aku gerah,” ucap Khalifa pada Alby. Alby tersenyum. “okke, tapi jangan lama-lama ya, udah malam soalnya. Ah iya, pake air hangat biar nggak kedinginan.”Khalifa terkekeh. “Aku bukan kamu yang harus pake air dingin kali, aku kan nggak alergi dingin,” timpal Khalifa menjawab. “Masalahnya kan udah malam, nggak baik buat kesehatan.”“Enggak bakal kak. Udah, lagian aku mandi bakal cepet kok. Dah ya, aku mau mandi dulu!” ucap Khalifa gegas berlari namun dengan cepat Alby menahannya lebih dahulu membuat Khalifa kembali berbalik menatap Alby. “Kalo udah mandi nanti turun ke bawah ya? Aku mau masakin kesukaan kamu. Kita makan bareng,” ucap Alby. Kebetulan sekali keduanya belum makan membuat Khalifa mengangguk antusias. “Cium dulu sini.” Alby menampilkan pipi kanannya. Ia men
Seminggu berlalu…Seorang wanita berjalan dengan menyeret kopernya. Tergesa-gesa sebab terlambat,bahkan saking tergesa-gesanya, wanita itu tanpa sengaja menabrak bahu seseorang membuat wanita itu menyeru minta maaf. “Ya ampun maaf, Mas. Saya enggak sengaja!” ucapnya sedikit menundukkan kepala, detik berikut kepala wanita itu mendongak. Namun… “Lho?” Sesaat pandangan keduanya bertemu. “Gama?”“Khanza?” Keduanya berseru secara berbarengan. Gama dengan pandangan mata menelisik, sedang Khanza menatap dengan tarikan napas. “Kukira siapa, taunya kamu,” ucapnya merubah raut wajah. Khanza menghela napas, tanpa sepatah kata apapun perempuan itu pergi begitu saja. Gama menaikan alisnya, namun sedetik kemudian ia mengedikkan bahu, ikut pergi dengan menyeret kopernya. Ia tahu yang dirinya tabrak, untuk itu tidak peduli baginya.Gama memilih duduk setelah melakukan check up,melalui maskapai yang telah memberitahukannya kini ia duduk menunggu antrian untuk masuk ke dalam pesawat. Gama menghel
Pagi ini Khalifa bangun lebih awal, melihat sosok suaminya yang tertidur pulas. Ah, mungkin efek cairan infus yang masuk ke dalam tubuhnya, membuat pria itu terjaga dari tidurnya. Merasa pegal dibagian lengannya, Khalifa merenggangkan otot-ototnya. Tidur seranjang dengan Alby jelas membuatnya tak bergerak sana-sini, menjadikan ia merasakan pegal. Khalifa menghela napas, ia menunduk melihat pakaiannya yang kotor nan penuh darah, lupa, bahwa memang ia tak mengganti baju. Ah, jangankan untuk mengganti baju, justru hatinya saat itu resah memikirkan Alby. “Aku harus memberitahukan Bunda. Jika tidak mereka pasti khawatir.” Khalifa menatap terlebih dahulu Alby, mumpung pria itu masih tertidur membuat Khalifa gegas pergi. Selain merasa tak nyaman dengan pakaiannya ia juga tak nyaman dengan keadaan ini. Sungguh, walau ada perasaan lega melihat Alby selamat namun ada sisi lain yang membuatnya resah. Mengenai Khanza … Ia belum berani untuk menghadap padanya dan mengatakan yang sejujurnya. *
Lihatlah, wajah Alby yang dulunya tampan kini banyak dipenuhi luka. Beberapa luka itu diperban, entah bagian kepala, rahang, maupun anggota tubuh lainnya. Tak kuasa melihat keadaannya seperti ini, Khalifa menunduk dengan hati penuh sesal. “Maafin, Alifa Kak… maaf ….” Khalifa terduduk di kursi yang berada di pinggir ranjang tersebut, menggenggam tangan Alby yang begitu kekar. Dulu, tangan inilah yang selalu siap siaga menggenggam tangannya. “Andai aku tidak menurutinya, andai kita kabur saat itu mungkin keadaan kamu enggak bakal separah ini Kak. Bodoh, harusnya aku menolak ajakanmu untuk melawan mereka. Bodoh!” Khalifa merutuk dirinya, menarik tangan Alby untuk ia kecup. “Sekarang aku baru menyadarinya, Kak. Kalau aku … benar-benar takut kehilangan kamu. Aku takut ….” Khalifa tak bisa lagi membendung tangis yang kian jatuh menimpa pipinya, bengkak sudah kedua matanya sebab terus menangis. “Setelah kehilangan Mama dan Papa, aku enggak mau kehilangan kamu, Kak. Boleh aku egois? Aku i
Khalifa menunduk, semakin menangis tertahan dengan tangan yang masi menyentuh kepala Alby. “Kak … tolong … jangan tinggalin aku kayak gini … tolong bangunlah….”“Uhuk!”Sebuah semburat darah tiba-tiba keluar di bibir Alby tatkala pria itu terbatuk. “Kak Al?” Terkejut, Khalifa mendapati Alby membuka matanya dengan ringisan kecil yang keluar. “Khalifa….”Sudah menangis deras kini Khalifa menambah tangisnya tatkala suara lembut itu terdengar. Bergetar hatinya mendengar hal itu. “Kak Al….” Khalifa menangis, memeluk kepala Alby. “maafin aku, Kak. Maaf….”Alby memejamkan matanya menahan rasa sakit, ia menggeleng. “aku kembali untuk kamu, Alif….”Khalifa mengangguk, entah harus bagaiamana tapi ia benar-benar senang tatkala Alby kembali. Terbangun untuk menepati janjinya. Menggenggam erat tangan yang amat dingin itu Khalifa berucap, ““Kita harus ke rumah sakit dulu, Kak. Secepatnya luka kakak harus diatasi,” ucap Khalifa melihat keadaan Alby yang kian parah. “Kakak masih sanggup berdiri?
“Kau akan mati ditanganku!” Bugh! Alby langsung menghindar saat orang itu hendak menendang, belati yang dirinya pegang ia tusukkan ke depan untuk mengenal tubuh Alby, namun dengan gesit, Alby menghindar secara agresif. Memilih melawan dari belakang, Alby bisa menghajarnya dari belakang tersebut. Seseorang itu terjatuh, mukanya makin memerah. Satu diantara mereka berjalan maju, membuat Alby harus melawan dua orang sekaligus. Ah tidak, bahkan satunya lagi ikut-ikutan maju, menambah orang yang harus Alby lawan. Cukup kewalahan sebab mereka memiliki senjata masing-masing, sedang Alby hanya menggunakan tangan kosong sebagai tameng dirinya. Satu kali dua kali ia mendapat pukulan yang tak bisa ia hindari, bahkan goresan belati pula harus terkena sampai kulitnya saking keagresifan mereka. Murka, mereka murka sebab merasa terkalahkan oleh Alby. Alby mengatur napasnya dalam-dalam. Melawan 10 orang sekaligus benar-benar menguras tenaganya. Apalagi tidak diberi jeda untuk berhenti se
Khalifa berlari dan langsung memeluk Alby. Ia menangis dengan tubuh bergetar hebat. “Kak Al, makasih, makasih telah kembali….” Alby menelan salivanya pelan, bergetar hatinya kala melihat keadaan Khalifa seperti ini. “Maaf, maafkan aku baru datang Alif. Maaf telah meninggalkan kamu seorang diri.” Khalifa menggeleng, ia melerai pelukannya, mendongak untuk melihat wajah Alby. “Mereka … mereka ingin melecehkan aku, Kak. Aku--aku takut ….” Alby melihat wajah ketakutan itu, ia pegang tangan Khalifa untuk menenangkan gadisnya. Namun, yang ia lihat justru gurat merah dari pergelangan tangannya. Khalifa menunduk, ia masih terisak. “Mereka pegang tangan aku dengan keras Kak… mereka kasar dan menyeramkan….” Mendengar lirihan itu rahang Alby mengeras, menoleh ke kanan, ia dapati 11 orang itu yang tampak tertawa saja. “Ayo kabur, Kak. Mereka bukan tandingan kita,” ucap Khalifa kembali. Alby menatap Khalifa, memilih kabur? Itu bukan dirinya. “Tidak Alif, mereka harus membayar at
Nyatanya bukan sehabis magrib Khalifa pulang, melainkan sehabis isya baru ia bisa pulang. Jangan tanyakan kenapa, karena saat ini Khalifa ingin sendirian, menjadikan ia habiskan beberapa waktu sendirian di kantor. Dan sekarang waktunya ia pulang beberapa security yang jaga pula sebagian sudah pulang, paling hanya beberapa yang tetap berjaga karena bekerja sesuai shif. Khalifa berjalan terburu-buru menuju mobilnya, lantas melaju membelah jalan tanpa menunggu lama. Takut kemalaman Khalifa makin mempercepat lajunya. Sebuah dering ponsel terdengar namun tak Khalifa gubris untuk mengangkatnya. Memilih abai Khalifa terus melajukan mobilnya di tengah keramaian. Namun, kala ia berbelok ia harus di hadapkan dengan jalan yang cukup sepi. “Huft, semoga tidak terjadi apa-apa.” Khalifa mengucap doa dalam hati. Mau bagaimana pun ia perempuan, dan jelas ia takut jika tiba-tiba ada hal aneh yang melintas. Suara bisingnya motor terdengar dari arah belakang, memusat perhatian Khalifa untuk m
Khalifa menangkup kedua pipi di atas meja, bosan melanda hatinya. Hari ini tugas yang diberikan Aavar dalam mempelajari berbagai perbisnisan cukup menguras pikiran dan tenaga. Ternyata susah sekali untuk memahami berbagai persoalan dalam perbisnisan ini. Jika bukan karena otak yang encer mungkin Khalifa memilih tidur saja di atas kasur. Hari ini jam sudah menunjukan pukul empat sore. Tidak terasa, dari pagi sampai saat ini Khalifa menghabiskan waktu hanya di kantor saja, tentunya dengan Khanza. Namun, saat ini perempuan itu entah pergi ke mana, katanya izin keluar sebentar. “Khalifa, Om pulang lebih dulu ya, istri Om kasihan di rumah sendirian.” Tiba-tiba suara Aavar terdengar setelah pintu terbuka. “Kamu pulang lah, besok bisa dilanjutkan.” Punggung Khalifa berdiri tegap. “Nggak deh, Khalifa mau lembur. Soalnya masih banyak banget yang belum dikerjakan Om.” Aavar menoleh. “lembur?” Ia tertawa. “ya ampun Khalifa, ini kan cuma belajar aja. Gak usah terlalu dibuat serius jug