“Berhenti Al! Kau harus tanggung jawab!” Seru anak gendut mengejar anak kecil. “Aku benar-benar gak sengaja, Din, sumpah!” teriaknya sambil terus berlari menghindar dari amukan Dion. “Adikku menangis karenamu! Alby” teriak Dion murka. Anak berusia 8 tahun itu mengejar Alby, sayangnya karena badannya yang gendut membuat ia kesusahan dibuatnya. Sedang Alby yang memiliki tubuh kecil sangat cepat dalam berlari. “Kejar aja kalo bisa sih,” seru Alby yang malah tertawa. Alby melakukan kesalahan, ia tak sengaja merusak boneka milik adiknya Dion. Karena kerusakan itu membuat Dion marah padanya, berakhir mengejar dirinya. Dan sekarang Dion pasti akan membalas perbuatannya. Alby terus berlari tak tentu arah, laki-laki mungil berusia 8 tahun itu berlari menuju sebuah hutan. Di belakang Dion masih mengejar dirinya, benar-benar sial! Jika sampai Dion menangkapnya sudah dipastikan tubuhnya akan habis babak belur. Untuk itu Alby terus berlari tanpa tahu ke mana ia menuju. Mata Alby jatuh pada s
Kedua pasutri yang sudah resmi suami-istri itu sudah sampai di rumah kediaman Bara. Mobil mewah yang dihias berbagai bunga itu berhenti di halaman rumah bercat cream. Di belakangnya mobil Bara ikut berhenti, membuat orang yang ada di dalamnya keluar dari mobil. Khalifa dengan sifat malunya, perempuan itu meremas ujung gaunnya tatkala Alby lebih dulu keluar. Resah bercampur grogi ia rasakan saat ini. “Lho, di mana Khalifa?” tanya Laila kala semua orang yang ada sudah keluar. Dengan malas Alby menjawab. “Sepertinya dia betah di dalam mobil, biarkan saja,” jawab Alby santai. “Suruh Khalifa masuk, Bunda gak mau kamu mengacuhkannya,” ucap Laila memperingati. “Setelah ini datanglah ke kamar Ayah, ada suatu hal yang ingin Ayah bicarakan denganmu.” Kini Bara yang membuka suara. Pria itu begitu kentara sosok seorang Ayah, membuat Alby mau tak mau menurut. “Kalian, cepet masuk dan segera bersihkan badan kalian,” ucap Bara pada anak kembarnya—Nazeeva dan Zeevan. Dua anak itu sedari tadi ha
“Untuk 30 hari ke depan, Ayah ingin kau tidak menyentuh Khalifa sedikitpun!” ucap Bara penuh penegasan. Pria yang tampak penuh wibawa itu menatap putra sulungnya dengan serius. “Kau tau kan bahwa pernikahan ini hanyalah sebagai formalitas? Khalifa hanya sebatas pengantin pengganti yang nanti akan di tukar kembali jika Khanza kembali,” lanjutnya lagi. “untuk itu Ayah ingin kau menjaga batasanmu. Perlakukan dia dengan baik, tapi jangan sampai menghancurkannya dengan kau menyentuhnya.”“Ayah kira aku menginginkannya?” tanya Alby membuka suara. “aku memang pria normal, tapi bukan berarti aku melakukan hal dibatas wajar dengan orang yang tidak aku cinta!”“Alby, bukan itu maksud Ayah kamu—”“Ayah seakan mencurigaiku bahwa aku akan menodainya, Bunda pikir perkataan Ayah tidak menyinggungku? Lalu untuk apa pernikahan ini terjadi? Kenapa tidak kalian batalkan saja?” Alby mulai kesal. Ia kira pertemuan dalam pembicaraan bersama Ayah dan Bundanya hanya menyangkut Khanza, taunya hanya Khalifa!
“Ini pakaian ganti kamu, pakaian lainnya nanti diberesin sama pembantu di sini,” ucap Laila memberikan sebuah pakaian kepada Khalifa. “Ini pakaian Khalifa, Bunda?” tanyanya. “Bukan, ini pakaian sengaja dibeli, tapi belum pernah dipakai.”“Lah, kalau gitu—”“Udah, pakai aja, pakaian kamu kan masih diantar sama Mama kamu, paling besok kan datangnya? Jadi pakai ini saja dulu,” ucap Laila tersenyum. “Ya udah, Bunda ke bawah dulu ya. Alby pasti bakal pulang, nanti biar Bunda yang langsung bicara sama Alby.”Ya, malam ini Khalifa dipaksa Laila agar tidur di kamar Alby, membuat Khalifa pada akhirnya menurut saja. Asalkan satu, tidak disatukan dengan Alby maka ia akan menyetujuinya. “Terima kasih ya, Bunda. Terima kasih banyak,” ucap Khalifa sebelum akhirnya Laila pergi dari hadapannya. Khalifa tersenyum tipis lantas masuk ke dalam kamar Alby, mengunci pintunya kemudian berjalan menuju bibir ranjang. Sekarang ia tidak perlu khawatir ada Alby, pasalnya Laila pasti akan berbicara pada pria
“Kau tak jauh berbeda dengan wanita murahan di sana, bermaksud menggodaku, heh?” Alby terkekeh, bukannya mendorong Khalifa yang berada di atasnya justru ia gunakan dengan menahan gejolak pergerakannya yang hendak bangkit. “Lepas! Aku tidak mengerti apa yang kau bicarakan!” Khalifa berusaha bangkit, namun karena bath up yang muat satu orang ditambah Alby yang menahannya membuat ia tak bisa bangkit. “Kau berpura-pura, Khalif? Setelah apa yang kamu lakukan, kau masih mau berpura-pura?” Alby menahan geram, dia sedikit mencengkram pinggang Khalifa. “Pernikahan ini … aku tau pernikahan ini hanyalah sebatas menggantikan, tapi kau jangan lupa Kak, kau tidak diperbolehkan melewati batas!” ujar Khalifa dengan marah. “Bukan pernikahan yang aku maksud Khalif, melainkan kau yang menggagalkan pernikahan ini! Kau sendiri kan yang sengaja melakukan semua rencana ini? Heh, kau kira aku tidak tau?”Khalifa menatap Alby dengan penuh kesal, hendak mengelak namun Alby dengan cepat berkata. “Kau lupa
“Terserah apa yang kamu katakan, Kak. Tapi … saat itu yang aku lakukan bukan atas inginku, aku dipaksa! Dan yang melakukannya kemarin tidak lain ….” Khalifa menggantung ucapannya. “Kau tidak akan tahu! Percuma aku menjelaskannya.” Khalifa tidak jadi memberitahukan, percuma, tidak ada gunanya. “Aku tau apa tujuanmu, Khalifa! Kau tidak lebih perempuan tak tahu diri tanpa memiliki rasa malu. Sekarang lihat hari ini saja, tanpa tahu malu kau datang ke kamarku, padahal sudah tau bahwa ini kamarku, yang artinya di isi oleh aku! Tapi apa yang kau lakukan? Datang ke sini dengan pakaian yang dibuka? Bermaksud menggodaku, benar bukan? Namun sayang, aku tidak tergoda sedikitpun karenamu!” Alby sedikit mendorong tubuh Khalifa di atasnya. Membuat Khalifa tersentak karena punggungnya terasa membentur ujung bath up. “Jangan berpikir bahwa suatu hari nanti aku akan berpaling dari Khanza! Ingat ini Khalifa, sampai kapanpun kau tidak bisa menggantikan posisi Khanza dihatiku. Beribu usaha yang kau l
Khalifa mengutuk dirinya sendiri saat ia menerima tawaran dari Yuza tanpa pikir panjang. Hanya karena ingin tenang ia bertekad melakukan apa yang di suruh Yuza. Ya, sebuah pernyataan cinta yang tak lain pada Alby! Saat itu, Khalifa memberanikan diri menyatakan cinta pada Alby, berharap bahwa Alby mau menerimanya. Karena saat ucapan yang keluar di bibir Alby maka harapan yang diinginkan Khalifa akan terpenuhi yang mana ia tak akan diganggu lagi oleh Yuza. Tapi sayang seribu sayang, Alby menolaknya dengan ucapan yang cukup frontal, membuat Khalifa pada saat itu benar-benar dimalukan. “B0doh! Kau b0doh Khalif!” umpat Khalifa menggeleng keras. Ingatan itu tidak ingin Khalifa ingat-ingat, namun sayang … kejadian itu justru sering menghantuinya, masuk ke dalam mimpi hingga berhasil membuat Khalifa membuka kembali luka yang belum sempat terobati. Khalifa menangis. “Ke mana kamu pergi, Ka? Andai kamu ada di sini, mungkin … aku gak bakal sendiri kayak gini.” Lirih, Khalifa bergumam dengan
Khalifa menarik napas dalam-dalam. Pelukan yang Alby beri padanya membuat pasokan oksigen sedikit berkurang. Dengan pelan Khalifa mengangkat lengan kiri Alby, berharap Alby tidak bangun supaya ia terlepas dari pelukannya ini. Mana mau Khalifa tidur dengan seorang pria! Mana orang yang membencinya lagi, tidak, tidak! Itu tidak boleh sampai terjadi! Khalifa menyipitkan matanya tatkala mengangkat pelan lengan itu, sampai tiba-tiba… “Kau?” Alby berucap dengan mata menyipit, terlihat setengah sadar. Khalifa menggeleng, refleks menepuk-nepuk rambut Alby dengan pelan. “Tidurlah … tidurlah ….” Seakan ucapan Khalifa sebuah hipnotis, Alby kembali memejamkan matanya tatkala ditepuk-tepuk begitu. “Huft, selamat!” Khalifa bernapas lega, lantas ia kembali menjalankan misi dalam melepaskan diri dari kurungan Alby. Pelan namun pasti, Khalifa berhasil mengangkat lengan Alby dengan gerakan pelan, menjadikan ia terlepas dari pelukan itu. Khalifa bernapas lega. Merasa takut apabila Alby bangun
“Assalamu'alaikum…?” Khalifa mengucap salam saat ia masuk ke dalam rumah, ah, bukan hanya Khalifa, Alby juga ada. Keduanya masuk dengan raut muka terlihat capek. “Kak, eum … aku mau mandi dulu ya, seharian kerja bikin aku gerah,” ucap Khalifa pada Alby. Alby tersenyum. “okke, tapi jangan lama-lama ya, udah malam soalnya. Ah iya, pake air hangat biar nggak kedinginan.”Khalifa terkekeh. “Aku bukan kamu yang harus pake air dingin kali, aku kan nggak alergi dingin,” timpal Khalifa menjawab. “Masalahnya kan udah malam, nggak baik buat kesehatan.”“Enggak bakal kak. Udah, lagian aku mandi bakal cepet kok. Dah ya, aku mau mandi dulu!” ucap Khalifa gegas berlari namun dengan cepat Alby menahannya lebih dahulu membuat Khalifa kembali berbalik menatap Alby. “Kalo udah mandi nanti turun ke bawah ya? Aku mau masakin kesukaan kamu. Kita makan bareng,” ucap Alby. Kebetulan sekali keduanya belum makan membuat Khalifa mengangguk antusias. “Cium dulu sini.” Alby menampilkan pipi kanannya. Ia men
Seminggu berlalu…Seorang wanita berjalan dengan menyeret kopernya. Tergesa-gesa sebab terlambat,bahkan saking tergesa-gesanya, wanita itu tanpa sengaja menabrak bahu seseorang membuat wanita itu menyeru minta maaf. “Ya ampun maaf, Mas. Saya enggak sengaja!” ucapnya sedikit menundukkan kepala, detik berikut kepala wanita itu mendongak. Namun… “Lho?” Sesaat pandangan keduanya bertemu. “Gama?”“Khanza?” Keduanya berseru secara berbarengan. Gama dengan pandangan mata menelisik, sedang Khanza menatap dengan tarikan napas. “Kukira siapa, taunya kamu,” ucapnya merubah raut wajah. Khanza menghela napas, tanpa sepatah kata apapun perempuan itu pergi begitu saja. Gama menaikan alisnya, namun sedetik kemudian ia mengedikkan bahu, ikut pergi dengan menyeret kopernya. Ia tahu yang dirinya tabrak, untuk itu tidak peduli baginya.Gama memilih duduk setelah melakukan check up,melalui maskapai yang telah memberitahukannya kini ia duduk menunggu antrian untuk masuk ke dalam pesawat. Gama menghel
Pagi ini Khalifa bangun lebih awal, melihat sosok suaminya yang tertidur pulas. Ah, mungkin efek cairan infus yang masuk ke dalam tubuhnya, membuat pria itu terjaga dari tidurnya. Merasa pegal dibagian lengannya, Khalifa merenggangkan otot-ototnya. Tidur seranjang dengan Alby jelas membuatnya tak bergerak sana-sini, menjadikan ia merasakan pegal. Khalifa menghela napas, ia menunduk melihat pakaiannya yang kotor nan penuh darah, lupa, bahwa memang ia tak mengganti baju. Ah, jangankan untuk mengganti baju, justru hatinya saat itu resah memikirkan Alby. “Aku harus memberitahukan Bunda. Jika tidak mereka pasti khawatir.” Khalifa menatap terlebih dahulu Alby, mumpung pria itu masih tertidur membuat Khalifa gegas pergi. Selain merasa tak nyaman dengan pakaiannya ia juga tak nyaman dengan keadaan ini. Sungguh, walau ada perasaan lega melihat Alby selamat namun ada sisi lain yang membuatnya resah. Mengenai Khanza … Ia belum berani untuk menghadap padanya dan mengatakan yang sejujurnya. *
Lihatlah, wajah Alby yang dulunya tampan kini banyak dipenuhi luka. Beberapa luka itu diperban, entah bagian kepala, rahang, maupun anggota tubuh lainnya. Tak kuasa melihat keadaannya seperti ini, Khalifa menunduk dengan hati penuh sesal. “Maafin, Alifa Kak… maaf ….” Khalifa terduduk di kursi yang berada di pinggir ranjang tersebut, menggenggam tangan Alby yang begitu kekar. Dulu, tangan inilah yang selalu siap siaga menggenggam tangannya. “Andai aku tidak menurutinya, andai kita kabur saat itu mungkin keadaan kamu enggak bakal separah ini Kak. Bodoh, harusnya aku menolak ajakanmu untuk melawan mereka. Bodoh!” Khalifa merutuk dirinya, menarik tangan Alby untuk ia kecup. “Sekarang aku baru menyadarinya, Kak. Kalau aku … benar-benar takut kehilangan kamu. Aku takut ….” Khalifa tak bisa lagi membendung tangis yang kian jatuh menimpa pipinya, bengkak sudah kedua matanya sebab terus menangis. “Setelah kehilangan Mama dan Papa, aku enggak mau kehilangan kamu, Kak. Boleh aku egois? Aku i
Khalifa menunduk, semakin menangis tertahan dengan tangan yang masi menyentuh kepala Alby. “Kak … tolong … jangan tinggalin aku kayak gini … tolong bangunlah….”“Uhuk!”Sebuah semburat darah tiba-tiba keluar di bibir Alby tatkala pria itu terbatuk. “Kak Al?” Terkejut, Khalifa mendapati Alby membuka matanya dengan ringisan kecil yang keluar. “Khalifa….”Sudah menangis deras kini Khalifa menambah tangisnya tatkala suara lembut itu terdengar. Bergetar hatinya mendengar hal itu. “Kak Al….” Khalifa menangis, memeluk kepala Alby. “maafin aku, Kak. Maaf….”Alby memejamkan matanya menahan rasa sakit, ia menggeleng. “aku kembali untuk kamu, Alif….”Khalifa mengangguk, entah harus bagaiamana tapi ia benar-benar senang tatkala Alby kembali. Terbangun untuk menepati janjinya. Menggenggam erat tangan yang amat dingin itu Khalifa berucap, ““Kita harus ke rumah sakit dulu, Kak. Secepatnya luka kakak harus diatasi,” ucap Khalifa melihat keadaan Alby yang kian parah. “Kakak masih sanggup berdiri?
“Kau akan mati ditanganku!” Bugh! Alby langsung menghindar saat orang itu hendak menendang, belati yang dirinya pegang ia tusukkan ke depan untuk mengenal tubuh Alby, namun dengan gesit, Alby menghindar secara agresif. Memilih melawan dari belakang, Alby bisa menghajarnya dari belakang tersebut. Seseorang itu terjatuh, mukanya makin memerah. Satu diantara mereka berjalan maju, membuat Alby harus melawan dua orang sekaligus. Ah tidak, bahkan satunya lagi ikut-ikutan maju, menambah orang yang harus Alby lawan. Cukup kewalahan sebab mereka memiliki senjata masing-masing, sedang Alby hanya menggunakan tangan kosong sebagai tameng dirinya. Satu kali dua kali ia mendapat pukulan yang tak bisa ia hindari, bahkan goresan belati pula harus terkena sampai kulitnya saking keagresifan mereka. Murka, mereka murka sebab merasa terkalahkan oleh Alby. Alby mengatur napasnya dalam-dalam. Melawan 10 orang sekaligus benar-benar menguras tenaganya. Apalagi tidak diberi jeda untuk berhenti se
Khalifa berlari dan langsung memeluk Alby. Ia menangis dengan tubuh bergetar hebat. “Kak Al, makasih, makasih telah kembali….” Alby menelan salivanya pelan, bergetar hatinya kala melihat keadaan Khalifa seperti ini. “Maaf, maafkan aku baru datang Alif. Maaf telah meninggalkan kamu seorang diri.” Khalifa menggeleng, ia melerai pelukannya, mendongak untuk melihat wajah Alby. “Mereka … mereka ingin melecehkan aku, Kak. Aku--aku takut ….” Alby melihat wajah ketakutan itu, ia pegang tangan Khalifa untuk menenangkan gadisnya. Namun, yang ia lihat justru gurat merah dari pergelangan tangannya. Khalifa menunduk, ia masih terisak. “Mereka pegang tangan aku dengan keras Kak… mereka kasar dan menyeramkan….” Mendengar lirihan itu rahang Alby mengeras, menoleh ke kanan, ia dapati 11 orang itu yang tampak tertawa saja. “Ayo kabur, Kak. Mereka bukan tandingan kita,” ucap Khalifa kembali. Alby menatap Khalifa, memilih kabur? Itu bukan dirinya. “Tidak Alif, mereka harus membayar at
Nyatanya bukan sehabis magrib Khalifa pulang, melainkan sehabis isya baru ia bisa pulang. Jangan tanyakan kenapa, karena saat ini Khalifa ingin sendirian, menjadikan ia habiskan beberapa waktu sendirian di kantor. Dan sekarang waktunya ia pulang beberapa security yang jaga pula sebagian sudah pulang, paling hanya beberapa yang tetap berjaga karena bekerja sesuai shif. Khalifa berjalan terburu-buru menuju mobilnya, lantas melaju membelah jalan tanpa menunggu lama. Takut kemalaman Khalifa makin mempercepat lajunya. Sebuah dering ponsel terdengar namun tak Khalifa gubris untuk mengangkatnya. Memilih abai Khalifa terus melajukan mobilnya di tengah keramaian. Namun, kala ia berbelok ia harus di hadapkan dengan jalan yang cukup sepi. “Huft, semoga tidak terjadi apa-apa.” Khalifa mengucap doa dalam hati. Mau bagaimana pun ia perempuan, dan jelas ia takut jika tiba-tiba ada hal aneh yang melintas. Suara bisingnya motor terdengar dari arah belakang, memusat perhatian Khalifa untuk m
Khalifa menangkup kedua pipi di atas meja, bosan melanda hatinya. Hari ini tugas yang diberikan Aavar dalam mempelajari berbagai perbisnisan cukup menguras pikiran dan tenaga. Ternyata susah sekali untuk memahami berbagai persoalan dalam perbisnisan ini. Jika bukan karena otak yang encer mungkin Khalifa memilih tidur saja di atas kasur. Hari ini jam sudah menunjukan pukul empat sore. Tidak terasa, dari pagi sampai saat ini Khalifa menghabiskan waktu hanya di kantor saja, tentunya dengan Khanza. Namun, saat ini perempuan itu entah pergi ke mana, katanya izin keluar sebentar. “Khalifa, Om pulang lebih dulu ya, istri Om kasihan di rumah sendirian.” Tiba-tiba suara Aavar terdengar setelah pintu terbuka. “Kamu pulang lah, besok bisa dilanjutkan.” Punggung Khalifa berdiri tegap. “Nggak deh, Khalifa mau lembur. Soalnya masih banyak banget yang belum dikerjakan Om.” Aavar menoleh. “lembur?” Ia tertawa. “ya ampun Khalifa, ini kan cuma belajar aja. Gak usah terlalu dibuat serius jug